Mangupura (ANTARA) - Sanggar Seni Wredaya Muni, Desa Adat Tanjung Benoa, Kabupaten Badung, Bali, membawakan tema heterogenitas pada penampilan kesenian Janger rangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 tahun 2025.
“Penampilan ini terinspirasi dari kehidupan sehari-hari mengenai heterogenitas suku dan keyakinan yang hidup saling berdampingan di Tanjung Benoa,” ujar Ketua Sanggar Seni Wredaya Muni I Ketut Aditya Putra di Mangupura, Rabu.
Ia mengatakan pihaknya mengusung tema akulturasi budaya, keberagamaan di Desa Adat Tanjung Benoa yang masyarakatnya hidup rukun berdampingan antar tiga perbedaan suku dan keyakinan, yakni Hindu Bali, Islam Bugis, dan China Konghucu.
“Karena heterogenitas ini sepengetahuan saya, sejak saya lahir sudah ada. Tentunya dengan kolaborasi antar suku Hindu-Bali, Islam-Bugis, dan China-Konghucu, kami mencoba untuk membuat kreativitas baru,” kata dia.
Ketut Aditya Putra menjelaskan tema besar itu ditampilkan melalui gerak senada seirama dari muda-mudi melalui pertunjukan bertajuk “Napak Tetamian”.
Menurut dia, Kata “Tetamian” merujuk pada warisan atau peninggalan. Di Desa Adat Tanjung Benoa, terdapat sebuah tapakan berupa Rangda yang merupakan warisan atau peninggalan dari sekelompok masyarakat Hindu hingga saat ini.
Ketika masolah, tapakan rangda ini diiringi dengan lagu-lagu janger, menari bersama penari janger saat upacara Piodalan berlangsung.
“Keberlangsungan kegiatan upacara yang dilakukan saat itu juga tidak terlepas dari campur tangan masyarakat Islam Bugis dan China Konghucu yang menggambarkan Jagat Kerthi, Loka Hita Samudaya,” jelas dia.
Ia menambahkan pada penampilan itu Sanggar Seni Wredaya Muni terdiri dari 29 penari dan 22 orang penabuh.
“Proses kreatif kami berjalan selama hampir tiga bulan, karena gending-gending itu juga merupakan tetamian yang ada di Tanjung Benoa. Kemudian kolaborasi kesenian dari tiga suku ini, kami berusaha agar menjadi satu kesatuan,” pungkas Ketut Aditya Putra.
