Denpasar (ANTARA) - Publik di tanah air dikejutkan dengan kisah tragis menimpa sebanyak 55 orang awak kapal perikanan (AKP) yang bekerja di salah satu kapal motor dan diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Setelah beberapa hari melaut sekitar April 2024, para korban tersebut kemudian dipindahkan ke kapal asing yang diduga ilegal.
Mereka dipekerjakan secara tidak layak dengan janji gaji besar. Namun, ternyata mereka mendapatkan perlakuan buruk dan gaji yang tidak sesuai informasi sebelum berangkat melaut.
Sebanyak enam AKP di antaranya kemudian melarikan diri dengan cara melompat dari kapal di sekitar perairan Kepulauan Aru, Maluku.
Lima orang yang melompat itu berhasil selamat dan satu orang lainnya ditemukan meninggal dunia.
Para korban kemudian menuntut keadilan dan melaporkan kasus itu di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pada Juni 2024 yang prosesnya masih terus berjalan.
Dugaan TPPO terhadap AKP itu kembali mengingatkan semua pihak termasuk pemerintah baik pusat dan daerah serta instansi untuk memastikan perlindungan terhadap para awak kapal perikanan yang rentan mengalami pelanggaran hukum.
Baca juga: Imigrasi Denpasar tolak permohonan paspor 3 orang terduga TPPO
Memperkuat peraturan
Organisasi Internasional untuk Migran (IOM) Indonesia sejak 2005 mendukung pemerintah Indonesia untuk mencegah dan menangani TPPO dan membantu total 9.708 korban perdagangan manusia yang 25,22 persen di antaranya adalah awak kapal perikanan migran.
Mereka tidak hanya warga negara Indonesia tapi juga warga negara asing dari Myanmar, Kamboja, Laos, dan Thailand.
Menurut IOM Indonesia, mereka mengalami jam kerja berlebihan, jeratan utang, keterbatasan gerak dan komunikasi, serta kekerasan psikologis dan fisik.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkuat perlindungan awak kapal perikanan guna memastikan kesejahteraan dan kepastian hukum pekerja.
Tenaga Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Perlindungan Nelayan dan Awak Perikanan Mohamad Abdi Suhufan saat rapat koordinasi forum daerah perlindungan pekerja perikanan dan nelayan di Denpasar, Bali, pada akhir Januari 2025 mengungkapkan pemerintah akan merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 tahun 2021.
Regulasi itu mengatur tentang log book penangkapan ikan, pemantauan di atas kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan, inspeksi, pengujian, dan penandaan kapal perikanan, serta tata kelola pengawakan kapal perikanan.
Sayangnya tata kelola pengawakan kapal perikanan belum diatur lebih detail terkait proses rekrutmen AKP dalam regulasi tersebut termasuk menyangkut pengawasan sistem pengupahan.
Pasalnya, pengupahan dengan sistem bagi hasil belum memenuhi standar hidup dan keadilan bagi awak kapal perikanan.
Untuk itu, Abdi menambahkan Undang-Undang (UU) Perikanan juga akan direvisi, khususnya yang memuat perlindungan awak kapal, rekrutmen, pengupahan hingga mengatur jaminan sosial.
“UU Perikanan akan direvisi. Nantinya UU akan memasukkan perlindungan awak kapal, rekrutmen, pengupahan, jaminan sosial itu lebih diatur dalam level UU,” ucap Mohamad Abdi.

Rekrutmen AKP
Perekrutan awak kapal perikanan harus melalui agen berizin untuk memastikan proses rekrutmen itu sesuai, terutama menyangkut kontrak kerja yang perlu dipahami dan menjadi perhatian serius.
Mohamad Abdi yang sebelumnya sebagai Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia itu mengungkapkan data KKP hingga 31 Desember 2024 kategori nelayan/awak kapal perikanan yang sudah terlindungi BPJS Ketenagakerjaan mencapai 519.848 orang.
Dari jumlah itu, khusus AKP estimasi jumlahnya mencapai 374 ribu orang pada 2024 berdasarkan ukuran kapal di atas lima gross tonage (GT).
Saat ini, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP dan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah meneken kerja sama sinergi tata kelola ketenagakerjaan bidang perikanan tangkap.
Kerja sama itu mencakup penguatan kelembagaan perekrutan awak kapal perikanan untuk penempatan dalam negeri, sosialisasi dan edukasi, koordinasi penggunaan tenaga kerja asing dan pertukaran data dan informasi.
Baca juga: Pemprov Bali dilema pulangkan PMI asal Buleleng diduga korban TPPO di Myanmar
Kemudian ada juga perjanjian kerja sama antara Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Keselamatan, dan Kesehatan Kerja (K3) Kemnaker tentang pembinaan dan pengawasan untuk meningkatkan perlindungan K3.
Ada pun ruang lingkupnya adalah pelaksanaan pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan pada kapal perikanan dan pelaksanaan pengawasan bersama norma ketenagakerjaan dan K3.
Kepentingan Bali
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali memiliki kepentingan yang besar untuk melindungi awak kapal perikanan termasuk nelayan.
Pasalnya, Pelabuhan Benoa di Kota Denpasar, Bali, merupakan pusat pendaratan, pengolahan dan ekspor perikanan tangkap terbesar kedua di Indonesia setelah Pelabuhan Muara Baru di Jakarta.
Untuk itu, Pemprov Bali tak ingin kecolongan ada kasus serupa terjadi di pulau wisata tersebut.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali Putu Sumardiana menjelaskan pemerintah daerah saat ini sedang membentuk forum daerah perlindungan pekerja perikanan dan nelayan.
Melalui forum itu menjadi wadah semua pihak yang terlibat untuk berkontribusi memberikan perlindungan, untuk berbagi data dan informasi serta bekerja sama mengatasi masalah dan tantangan regional yang dihadapi AKP.
Saat ini, forum tersebut dalam tahap finalisasi regulasi yang rencananya dibentuk berdasarkan surat keputusan gubernur Bali.
Perikanan tangkap Bali
Sebagai gambaran, Dinas KKP Bali mendata nilai ekonomi perikanan tangkap di Bali mencapai Rp3,35 triliun per tahun dengan jumlah produksi ikan pelagis mencapai 123.906 ton per tahun dan ikan damersal serta ikan karang mencapai 23.372 ton per tahun.
Ada pun jumlah pekerja sektor perikanan pengolahan ikan di perusahaan pengolahan ikan (UPI) di Pelabuhan Benoa Denpasar mencapai sekitar 2.000 orang.
Sedangkan jumlah awak kapal perikanan yang bekerja di perusahaan penangkapan ikan di Pelabuhan Benoa diperkirakan mencapai 13 ribu hingga 15 ribu orang dengan 58 perusahaan dan jumlah kapal penangkap ikan mencapai kisaran 600-700 unit kapal.
Sementara itu, dari sisi jaminan sosial awak kapal perikanan di Pelabuhan Benoa, Wakil Kepala Kantor Wilayah BPJS Ketanagakerjaan Bali, Nusa Tenggara dan Papua (Banuspa) Agus Theodorus Parulian Marpaung mengungkapkan pelaku usaha perikanan di pelabuhan itu tergolong patuh.
Rata-rata sebanyak 90 persen dari total usaha perikanan di Pelabuhan Benoa sudah membayarkan iuran jaminan sosial untuk perlindungan kepada awak kapal perikanan.
Di sisi lain perhatian internasional terhadap perlindungan pekerja perikanan kini makin meningkat dengan adanya tambahan indikator aspek sosial dalam penilaian Fishery Improvement Project (FIP).
Tujuannya, untuk mengatasi isu-isu menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) yang bisa saja terjadi di sektor perikanan khususnya perikanan tangkap.
Meskipun industri perikanan memberikan kontribusi penting bagi ketahanan pangan Indonesia dan internasional, namun sejumlah isu seperti kerja paksa dan perdagangan manusia harus mendapat perhatian serius.
Tentunya semua pihak harus berpartisipasi memastikan tidak ada lagi pelanggaran hukum termasuk pelanggaran HAM yang menimpa para awak kapal perikanan.
Yang tak kalah penting calon pekerja juga terus diingatkan agar tidak mudah tergiur iming-iming yang banyak beredar hingga media sosial dan memastikan rekrutmen melalui proses yang benar.
Upaya bersama dalam forum daerah yang dilakukan pemerintah daerah di Bali itu dapat menjadi salah satu percontohan memastikan awak kapal perikanan terlindungi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengawal awak kapal perikanan dari jerat TPPO