Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Keputusan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) untuk menetapkan subak menjadikan salah satu warisan budaya dunia mendorong pemerintah setempat untuk melestarikan sistem pengairan tradisional bidang pertanian.
Salah satu upaya yang dilakukan eksekutif dan legislatif dengan menyempurnakan atau pengganti peraturan daerah (Perda) Subak No.2 tahun 1972 menjadi Perda Subak No. 9 tahun 2012.
Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia mengaku, pihaknya sering diundang oleh panitia khusus (Pansus Perda Subak) untuk membahas dan memberikan masukan.
Masukan yang paling tajam pernah disampaikan, bahwa pihaknya tidak setuju dengan definisi subak dalam perda yang disempurnakan itu, karena tidak operasional.
Hal itu akibat adanya bantuan hibah dari Pemerintah Provinsi Bali kepada subak, sehingga banyak "munduk" atau "tempek" bagian dari subak dikembangkan menjadi subak agar bisa mendapatkan bantuan.
Oleh karenanya harus ada definisi subak yang operasional, sehingga dapat segera ditetapkan apakah pengembangan subak itu dapat disetujui atau tidak, jangan sampai ada pertimbangan politis.
"Asalkan syaratnya atau definisinya terpenuhi silahkannya saja membentuk subak. Bagi saya sah-sah saja kelau tempek/munduk mengembangkan dirinya menjadi subak, namun masih tetap ada koordinasi dengan subak-induknya (bisa dalam bentuk wadah koordinasi subak/subak-gde). Saya pikir, dengan adanya hibah subak, maka perputaran uang di pedesaan akan semakin banyak. Hal ini cukup penting untuk pengembangan ekonomi-pedesaan," tutur Prof Windia yang juga Sekretaris Tim Penyusunan Proposal WBD Subak.
Ia juga pernah memberikan kecaman yang pedas tentang substansi perda yang mengatur wadah koordinasi subak berdasarkan wilayah administratif. Disamakan dengan wadah koordinasi desa adat, yakni dengan membentuk majelis alit (di tingkat kecamatan), majelis madya (tingkat kabupaten/kota) dan majelis utama (tingkat provinsi).
Padahal kawasan batas desa (adat) dan subak sangat berbeda. Desa (adat) dibagi berdasarkan batas-batas administratif, namun subak batas-batasnya adalah batas alamiah, berdasarkan hidrologis.
Artinya, sampai di mana air dari suatu sumber dapat dialirkan untuk mengairi kawasan sawah, maka di sanalah batas kawasan subak tersebut. Tidak perduli kawasan subak masuk dalam satu desa, satu kecamatan hingga dua kabupaten atau lebih.
Dengan demikian jelas tidak relevan kalau subak dipersatukan berdasarkan batas administraitif. Hal itu akibat subak dibentuk berdasarkan pada kebersamaannya terhadap sumber air irigasi. (*/ADT)
Penyempurnaan Perda Tak Jamin Subak Lestari
Minggu, 24 Maret 2013 22:00 WIB