Denpasar (Antara Bali) - Guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia, MS menilai, Peraturan Daerah (Perda) No.9 tahun 2012 bisa membahayakan masa depan organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali.
"Definisi subak dalam perda itu tidak operasional, akibat adanya bantuan hibah dari Pemprov Bali sehingga banyak munduk/tempek dikembangkan menjadi subak," ujar Prof Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, pengembangan "munduk" atau "tempek" menjadi subak bisa saja dilakukan jika syarat (definisi) terpenuhi dan tetap ada koordinasi dengan subak-induknya (subak gde).
"Kecaman saya yang lebih tajam adalah tentang substansi perda yang mengatur wadah koordinasi subak berdasarkan wilayah administratif, disamakan dengan wadah koordinasi desa adat, yakni dengan membentuk majelis alit (di tingkat kecamatan), majelis madya (tingkat kabupaten/kota) dan majelis utama (tingkat provinsi)," ujar Prof Windia.
Padahal kawasan batas desa (adat) dan subak sangat berbeda. Desa (adat) dibagi berdasarkan batas-batas administratif, namun subak batas-batasnya adalah batas alamiah, berdasarkan hidrologis.
"Artinya, sampai di mana air dari suatu sumber dapat dialirkan untuk mengairi kawasan sawah, maka di sanalah batas kawasan subak itu," tutur Prof Windia yang juga Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana. (*/ADT)
Perda 2012 Bahayakan Masa Depan Subak
Sabtu, 23 Maret 2013 9:49 WIB