Badung, Bali (ANTARA) - Pemerintah Indonesia menggenjot perundingan tentang perjanjian ekstradisi di kawasan ASEAN agar negara-negara anggota asosiasi di Asia Tenggara itu dapat menjembatani perbedaan sistem hukum.
"Kami optimistis perjanjian ekstradisi ASEAN bisa kami selesaikan," kata Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Cahyo Rahardian Muzhar di sela pertemuan pejabat senior ASEAN di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Selasa.
Untuk itu, Indonesia memimpin pertemuan kelompok kerja yang kesembilan para pejabat senior bidang hukum terkait Perjanjian Ekstradisi ASEAN di Bali 29 April hingga dijadwalkan 3 Mei 2024.
Ia menjelaskan sejak pertemuan pertama pada tahun 2021, sebanyak 11 pasal sudah disepakati dari total rancangan perjanjian yang berisi 28 pasal.
Cahyo tidak memberikan rincian pasal per pasal tersebut, namun ia mengungkapkan akibat perbedaan sistem hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara ASEAN maka perundingan diproyeksi dapat berjalan panjang.
Ia memproyeksi ASEAN dapat mencapai kata sepakat untuk perjanjian ekstradisi itu mengingat negara-negara di kawasan tersebut sudah memiliki model perjanjian ekstradisi ASEAN.
Saat ini, model tersebut perlu diformalkan menjadi perjanjian yang resmi meski mengakui hal itu bukan suatu pekerjaan yang mudah.
"Tapi tidak semudah untuk langsung mengubah dari satu model hukum ke perjanjian karena model hukum itu masih mengakomodasi perbedaan sistem hukum," ucapnya.
Apabila sudah menjadi perjanjian maka ekstradisi dapat langsung bisa diterapkan oleh negara anggota ASEAN tanpa memandang kembali hukum nasional negara terkait satu sama lainnya.
Perjanjian ekstradisi ASEAN diharapkan menjadi kerangka hukum dan landasan bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk saling menyerahkan pelaku tindak pidana, terdakwa, dan terpidana yang melarikan diri dari satu negara ASEAN ke negara ASEAN lainnya.
Ia juga menekankan bahwa perjanjian ekstradisi di ASEAN itu tidak untuk menyamakan atau harmonisasi aturan hukum masing-masing negara di Asia Tenggara, namun lebih menjembatani perbedaan hukum tersebut.
Cahyo mengakui kesepakatan ekstradisi tidak bisa disepakati dalam waktu yang singkat karena perbedaan sistem hukum.
Ia mencontohkan perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura memakan waktu hingga 16 tahun, sampai kedua negara akhirnya menyepakatinya.
"Tetapi memang lebih baik panjang negosiasinya tapi kemudian setelah ditandatangani bisa efektif dari pada dipercepat, masih banyak beda pendapat khususnya terkait hukum acara," katanya.
Indonesia saat ini sudah memiliki 12 perjanjian ekstradisi dengan negara Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, Korea Selatan, China, India, Papua Nugini, Vietnam, Uni Emirat Arab (UAE), dan Singapura.
"Rusia juga sedang dalam proses ratifikasi," katanya.
Baca juga: Bali jadi lokasi Indonesia dan Rusia teken perjanjian kerja sama ekstradisi
Baca juga: Menkumham tandatangani perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura
Baca juga: Imigrasi Bali terima "Red Notice" dan permohonan ekstradisi WN Inggris