Oleh Masuki M Astro
"Pak Sutejo ini orang hebat. Buku-buku karya dia saya rekomendasikan untuk dijadikan refrensi mahasiswa di manapun. Tidak hanya mahasiswa S1, tapi S2 dan S3 juga," kata guru besar emeritus sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof Dr Soediro Satoto.
Dr Sutejo adalah Pembantu Ketua I STKIP PGRI Ponorogo yang dikukuhkan sebagai doktor sastra di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Rabu. Akademisi yang telah menghasilkan 20 buku dan ratusan artikel itu menyusun disertasi berjudul "Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto (Kajian Etnosufistik)".
Kalau saat ini karya-karya dan peran Sutejo dikagumi karena kualitasnya, termasuk prestasinya karena telah belasan kali memenangkan lomba penulisan buku dan karya ilmiah tingkat nasional, sebetulnya bukan perjalanan mudah dan instan.
Pencapaiannya hingga bergelar doktor adalah buah dari proses panjang dari keuletan. Kalau karena prestasinya di bidang kepenulisan ia bisa diundang ke istana dan bertemua Presiden BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri juga perkara mudah.
Semua itu ia raih bukan berbekal kecerdasan yang dibawanya sejak lahir. Ia terlahir sebagai anak yang biasa-biasa saja, mulai dari SD hingga menyelesaikan S1. Bahkan ketika awal perkuliahan ia mengikuti tes intelejensi (IQ), kemudian divonis oleh si "psikolog" kampus hanya akan mampu menyelesaikan S1.
Itupun akan sulit diselesaikan dalam waktu empat tahun. Sementara temannya diprediksi akan mampu menempuh hingga S3 dengan bekal intelijensi yang tinggi.
"Hasil tes intelejensi itu justru memantik dendam tak berkesudahan agar prediksi si psikolog itu tidak terbukti. Satu yang terbukti dari prediksi itu, yakni saya benar-benar tidak mampu menyelesaikan S1 dalam waktu empat tahun. Saya molor satu semester. Prediksi yang lain tidak terbukti karena saya bisa menyelesaikan S3. Ini menjadi motivasi bahwa keuletan akan mengalahkan segalanya untuk mencapai sukses, seperti apapun 'basic' kita," ucap lulusan IKIP Malang ini.
Banyaknya karya tulis yang ia hasilkan adalah buah dari istiqomahnya dia dalam menjaga semangat untuk menghasilkan tulisan lewat pembacaan teks maupun alam.
"Ini juga dimaknainya sebagai menjalankan amanah agama agar kita membaca ayat-ayat Tuhan tidak saja yang termaktub dalam kitab suci, tapi juga di alam".
Buah lainnya adalah, kini lelaki berkumis tipis dengan tiga anak ini menjadi pembicara publik dalam seminar-seminar pendidikan, sastra maupun motivasi. Tidak saja di lingkup Jawa Timur, tapi juga nasional, seperti di Universitas Paramadina Jakarta.
Tapi siapa sangka bahwa si doktor ini dulunya adalah seorang penjual plastik kresek dan emping melinjo.
"Iya, hidup saya dari kecil ditempa dalam kemiskinan. Tapi kondisi ekonomi orang tua yang seperti itu menjadikan saya terbiasa hidup dalam tekanan dan harus bekerja keras. Waktu kecil saya biasa menggembala kambing atau membantu ibu jualan di pasar," paparnya.
Ia berjualan plastik kresek dan emping melinjo waktu kuliah di Malang. Ketika orang tuanya terpaksa merelakan ia menuntut ilmu di IKIP Malang, sekarang Universitas Negeri Malang (UM), Sutejo juga masih berjibaku dengan kesusahan hidup.
Berjualan plastik kresek dan emping mlinjo adalah cara ia bisa menyambung hidup dan biaya kuliah. Tak heran jika hampir semua pedagang di pasar-pasar di kawasan Betek, Malang, kenal dengannya.
Pembawaannya yang supel dan suka melucu membuat ia sangat mudah diterima di lingkungan pedagang kecil. Dengan sepeda jengky tua, ia bawa plastik kresek dan emping mlinjo itu ke pasar-pasar, termasuk ke dosen-dosennya.
Pengalaman seperti itu mengajarkan pada Sutejo tentang keuletan menjalani hidup. Ia mengaku beruntung karena orang tuanya mengajarkan dia agar hidup tidak berleha-leha.
Sebetulnya orang tua Sutejo, Sansaimun dengan Mutirah tidak membolehkannya kuliah karena tidak adanya biaya.
"Tapi saya nekad. Karena itu saya harus bisa hidup mandiri selama kuliah. Perjuangan dengan berlelah-lelah itu justru akan menjadi kenangan indah setelah kita menapaki pencapaian-pencapaian," tutur lelaki yang juga praktisi hipnoterapi ini.
Ia bercerita, suatu ketika seorang guru besar yang juga rekannya merenung hingga sekian lama. Tiba-tiba si professor berkata, "Tejo, kamu enak ya, ada yang bisa dibanggakan! Sementara saya, apa yang bisa saya banggakan? Kalau secara akademis dan ekonomi saya berhasil, saya tidak bisa bangga karena semua fasilitas dari orang tua tersedia dari lahir. Sementara Tejo, yang hidup dalam kesusahan bisa berprestasi seperti sekarang justru sangat membanggakan".
Pernyataan si profesor itu terlontar ketika tahu bagaimana kehidupan masa kecil hingga kuliah Sutejo yang penuh dengan kesusahan dan perjuangan. Hidup susah di masa kecil menyebabkan ia harus menggembala kambing di sela-sela sekolah.
Ketika orang tuanya beralih pekerjaan dari buruh tani menjadi penjual sayur di pasar dekat terminal, ia banyak menimba kesadaran bagaiman kerasnya hidup di dunia terminal. Beruntung, lelaki yang di masa kecil sering berkelahi karena dihina sebagai anak miskin itu sempt menimba ilmu di pesantren di Ponorogo.
Dalam hal aktivitas menulis, tak jarang tulisannya di media lokal bersentuhan langsung dengan kegundahan masyarakat kalangan bawah. Suatu ketika ia didatangi perempuan sopir truk yang ternyata merupakan pembaca tulisan motivasi Sutejo di media lokal.
"Saya memang mendisiplinkan diri untuk tidak pernah berhenti menulis. Termasuk hal-hal kecil, tapi bisa menggugah seseorang untuk bangkit dan terus semangat menjalani hidup," ujarnya.
Tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku setebal 916 halaman dengan judul "Senarai Pemikiran Sutejo; Menyisir Untaian Kata Menemukan Dawai Makna".
Lulus dramatis
Perjalanan Sutejo dalam menyelesaikan studi doktornya boleh dibilang super dramatik. Pada Januari 2012, dia baru tahui jika ada pembatasan studi S3 pada semester 12. Padahal ketika itu ia belum melakukan kegiatan awal seminar proposal.
"Artinya, dalam waktu satu semester saya harus menyelesaikan empat tahapan penting, yakni ujian proposal disertasi, ujian kualifikasi, ujian kelayakan dan ujian tertutup. Nantinya akan diakhiri dengan ujian terbuka," paparnya.
Molornya studi Sutejo karena lebih banyak aktif menghadiri undangan seminar di berbagai tempat, termasuk kesibukan mengajar di kampusnya yang tidak bisa ditinggalkan.
Apalagi, untuk desertasinya beberapa kali ia harus berganti judul dan beberapa kali pula harus ganti teori yang dipergunakan sebagai landasan teoritik penulisan desertasinya.
Ketika promotor utama Prof Dr Setya Yuwana mendesaknya untuk segera menyelesaikan desertasi maka proses karya ilmiah lewat penelitian itu ia rampungkan dalam waktu sangat singkat, tidak sampai satu semester.
Salah satu dosen penguji dari luar Unesa Prof Dr Soediro Satoto memuji disertasi Dr Sutejo karena mampu memadukan berbagai cabang keilmuan dengan menggunakan pendekatan yang baru, yakni etnosufistik.
"Dalam disertasi harusnya seperti karya Pak Tejo ini, yakni ada penemuan baru, seperti etnosufistik. Disertasi ini tidak hanya berbicara hal-hal yang sudah ada. Metode etnosufistik ini merupakan pendekatan yang integratif antara sufisme dengan etnografi untuk melihat hal-hal yang berkaitan dengan sastra," kata guru besar emeritus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini.
Menurut dia, kajian tentang sufisme yang dikaitkan dengan etnografi ini tergolong kajian berat, namun Sutejo mampu melakukan karena dianggapnya sekaligus sebagai pelaku dari dua aspek penelitian tersebut. Karenanya dalam disertasi ini wajar kalau bahasannya sangat detil.
"Tujuan pendidikan itu kan bukan hanya pengetahuan. Ada pengetahuan, pemahaman kemudian pengamalan," katanya. (*/T007)
Penjual Tas Kresek Itu Raih Doktor Sastra
Minggu, 10 Februari 2013 16:19 WIB