Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Forum Negara Pulau dan Kepulauan (AIS) memiliki keunikan tersendiri sebagai wadah kerja sama yang dibentuk di Indonesia melalui Deklarasi Manado pada pertemuan Tingkat Menteri AIS Forum, 1 November 2018.
Jika forum internasional tertentu mengumpulkan negara berdasarkan skala ekonomi, misalnya negara-negara maju, kemudian berdasarkan regional atau memiliki kesamaan pandangan politik, maka tidak demikian dengan Forum AIS.
Forum AIS ini menyatukan negara-negara dalam konteks geografi dan tantangannya, sehingga, baik negara maju, negara berkembang, atau negara kurang berkembang yang tersebar di belahan Bumi, berkumpul dalam satu wadah kerja sama bernama Forum AIS.
Sebut saja Jepang, Inggris, Selandia Baru, sebagai negara maju hingga negara pulau, dengan luasan yang kecil dan kemungkinan terdengar asing di telinga masyarakat, di antaranya Niue, negara di Pasifik hingga Sao Tome and Principe yang berada di kawasan Afrika Tengah.
Sementara Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan terbesar dan anggota G20, dengan memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, tentunya memiliki peran dan pengalaman yang perlu dibagi kepada negara lainnya.
Jadi Forum AIS merangkul semua negara dari beragam latar belakang untuk duduk bersama membahas solusi dan dikerjakan bersama untuk masa depan negara pulau dan kepulauan.
Inilah yang menjadikan Forum AIS sebagai wadah yang unik, dengan tujuan yang jelas memperkuat kolaborasi negara pulau dan kepulauan terkait tantangan isu kelautan yang menjadi masalah global.
Permasalahan global itu, di antaranya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ekonomi biru, penanganan sampah plastik di laut dan tata kelola maritim.
Untuk itu, diadakan KTT Forum AIS yang pertama di Bali pada 10-11 Oktober 2023 untuk menguatkan peran forum itu sebagai pusat solusi cerdas dan inovatif.
Selain itu, forum dengan jumlah partisipasi 51 negara itu juga menjadi wadah gotong royong dalam mendorong agenda masa depan, yakni tata kelola laut secara global.
Kontribusi nyata
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mencatat Forum AIS bukan merupakan pertemuan bincang-bincang formalitas.
Bukan juga forum yang mempertemukan sejumlah negara dengan janji-janji besar, namun tidak terealisasi dan belum menyentuh akar secara langsung.
Namun, Forum AIS lebih menekankan kontribusi konkret dalam menyelamatkan masa depan negara pulau dan kepulauan dari ancaman perubahan iklim yang menjadi permasalahan global.
Upaya itu dilakukan dengan praktik ramah lingkungan untuk mendukung ekonomi biru yang bijak memanfaatkan laut, memberi dampak positif kepada masyarakat, dengan tidak merusak ekosistem laut.
Contoh sederhana dari aksi nyata itu, di antaranya dilakukan melalui Forum AIS, yakni memberikan pelatihan membuat keramba apung di Fiji.
Keramba apung, sesuatu yang biasa di sektor perikanan Indonesia untuk budi daya ikan, ternyata merupakan peralatan pertama di kawasan Pasifik.
Begitu juga pembuatan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan, ternyata menjadi hal yang baru di Madagaskar.
Tak hanya itu, soal komitmen keberlanjutan Forum AIS mendengarkan dan mengimplementasikan kebutuhan negara pulau dan kepulauan.
Kantor regional pun sudah didirikan di Barbados untuk kawasan Karibia, Amerika Tengah, kemudian di Madagaskar untuk wilayah Samudera Hindia dan di wilayah Pasifik ada di Fiji.
Sebagai salah satu negara inisiator Forum AIS, Indonesia memberikan komitmennya mengucurkan pendanaan 5 juta dolar AS, rencananya untuk periode 2022-2025 bagi forum itu.
Pada 2019, Indonesia sudah terlebih dahulu mengucurkan kontribusi sebesar 1 juta dolar AS untuk mendirikan sekretariat Forum AIS di Jakarta, implementasi kerja sama dan memperkuat kolaborasi antarnegara.
Membangun inovasi
Forum AIS juga menekankan perannya dalam membangun kapasitas sumber daya manusia dan inovator muda.
Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) mengungkapkan Forum AIS mendukung ekspansi 500 startup atau pelaku UMKM rintisan berbasis digital.
Bantuan itu disalurkan melalui pendanaan maupun pengembangan kapasitas, seperti pelatihan, lokakarya, hingga mempertemukan pelaku bisnis dengan calon mitra.
Dukungan kepada usaha mikro kecil, dan menengah (UMKM) dengan memfasilitasi lebih dari 1.500 penggerak UMKM, mulai dari perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas dalam mengembangkan wirausaha.
Ada juga pemberian program beasiswa yang telah mencapai sekitar 430 ribu dolar AS, bantuan riset kepada peneliti dan akademisi mencapai 204.500 dolar AS dan modal awal sebesar 185 ribu dolar AS kepada berbagai startup mengembangkan solusi inovatif yang bisa menjadi percontohan antarsatu negara partisipan kepada negara lainnya.
Guna menguatkan peran Forum AIS sebagai pusat solusi cerdas dan inovatif, serta sebagai wadah gotong royong untuk agenda masa depan tata kelola laut, keterlibatan anak muda menjadi salah satu bagian terpenting di forum itu.
Melalui AIS Youth Conference yang diikuti 26 delegasi dari 26 negara pulau dan kepulauan, ide dan inovasi anak muda itu dibutuhkan sebagai agen perubahan dalam upaya konservasi karena mereka merupakan generasi penentu masa depan.
Misalnya untuk solusi penangkapan ikan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan energi baru terbarukan atau inovasi pengelolaan sampah.
Tak hanya itu, melalui Forum AIS lahir inovasi pemberdayaan dengan memanfaatkan aplikasi digital untuk pemantauan kesehatan mangrove (MonMang), konversi karbon padang lamun (SCC) dan juga pengembangan alat pemantauan kondisi kesehatan lautan, yakni Advanced Drifter GPS Oceanography (ARHEA).
Sebagai bagian kebersamaan, penemuan inovasi itu pun tidak hanya dinikmati sendiri, tapi dikenalkan kepada otoritas pesisir negara lain, misalnya aplikasi MonMang di Suva, Fiji untuk diujicobakan memantau lahan mangrove.
Sesuai data pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), selain di Fiji, inovasi MonMang itu juga digunakan di Jerman, Jepang, Uni Emirat Arab dan sejumlah negara lainnya.
Forum AIS yang memasuki usia lima tahun itu sejatinya memiliki potensi menjadi kekuatan besar, karena sebanyak 51 negara partisipan itu menguasai sepertiga wilayah laut dunia di bawah yuridiksi nasional negara pulau dan kepulauan itu.
Suara dari 51 negara tersebut memiliki daya tawar, daya dukung, dan pastinya didengar dalam forum dunia, misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk masa depan negara pulau dan kepulauan.
Ke depan kerja sama di Forum AIS perlu ditingkatkan dan dilanjutkan serta eskalasinya yang dibesarkan.
Seperti pernyataan Presiden Joko Widodo yang bersama negara-negara Forum Archipelagic and Island States (AIS), Indonesia menyerukan pentingnya keterkaitan antara laut dan perubahan iklim.
Melelui berbagai forum inilah, Indonesia bersama komunitas internasional, termasuk negara-negara di bawah AIS, memiliki kontribusi besar untuk ikut memberikan solusi bagi berbagai persoalan global.