Denpasar (ANTARA) - Sejak COVID-19 pertama merebak pada akhir Desember 2019 di Kota Wuhan, China, nyaris seluruh sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat dunia terdampak.
Salah satu sektor ekonomi yang terpuruk adalah pariwisata yang berkaitan erat dengan mobilitas masyarakat. Mobilitas itu justru menjadi terbatas tatkala pandemi melanda Bumi.
Daerah yang ekonominya mayoritas mengandalkan geliat pariwisata, seperti Bali, mengalami masa suram, bahkan nyaris mati suri karena banyaknya usaha berguguran.
Padahal, menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Bali menjadi penyumbang devisa negara terbesar bagi Indonesia, terbanyak kedua setelah sektor minyak dan gas.
Sebesar 50 persen dari pendapatan devisa yang mencapai sekitar 20 miliar Dolar AS per tahun disumbang oleh Bali.
Mengingat perannya yang besar sebagai garda paling depan pariwisata Indonesia, berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk membangkitkan sektor plesir di Pulau Dewata, mulai dari gelontoran insentif perjalanan wisata, memperbanyak program wisata hingga perlahan membuka pintu gerbang dalam dan luar negeri.
Kini, setelah hampir 3,5 tahun penyebaran penyakit akibat virus SARS CoV-2 ini mulai melandai, angin segar diembuskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Direktur Jenderal WHO Tedros Adanom Ghebreyesus mencabut status darurat kesehatan COVID-19 di seluruh dunia.
Momentum bangkit
Pencabutan status darurat COVID-19 itu menjadi momentum pariwisata Bali untuk bangkit setelah terpuruk.
Ekonomi Bali, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali pada 2020 mengalami kontraksi parah hingga minus 9,31 persen, pertumbuhan paling rendah dibandingkan seluruh provinsi di Tanah Air.
Kemudian, perlahan ekonomi Bali membaik pada 2021, meski masih tercatat negatif mencapai 2,47 persen dan pada 2022 tumbuh positif 4,84 persen.
Pengamat ekonomi dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Prof Dr Ida Bagus Raka Suardana meyakini pariwisata di Bali bisa tumbuh signfikan setelah adanya angin segar dari WHO.
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk momentum pariwisata Bali bangkit, di antaranya sosialisasi dan promosi guna menjaring turis berkualitas.
Turis yang membelanjakan uangnya lebih besar sehingga berdampak kepada ekonomi Bali.
Paket wisata yang potensial menjaring turis berkualitas, salah satunya memperbanyak wisata MICE atau pertemuan, insentif, konferensi, dan pameran.
Program wisata itu dinilai lebih berkualitas dibandingkan pariwisata massal, meski mendatangkan banyak wisatawan, namun belum diimbangi pengeluaran atau belanja yang signifikan.
Selain itu, usul dalam jangka panjang pembayaran visa kedatangan langsung atau Visa on Arrival (VoA) dipatok lebih mahal hingga perlunya opsi retribusi yang dikenakan kepada wisatawan asing yang datang ke Bali.
Berdasarkan data imigrasi.go.id, biaya visa on arrival sebesar Rp500 ribu yang pembayarannya dapat dilakukan menggunakan mata uang Dollar AS dan Rupiah.
Hingga April 2023, sebanyak 92 negara di dunia mendapatkan fasilitas VoA yang bisa ditunaikan di bandara kedatangan di Indonesia.
Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan selain dari sisi kualitas wisatawan, pemerintah daerah dan pelaku usaha di sektor pariwisata perlu menyiapkan pengembangan infrastruktur agar prima menyambut para pelancong.
Selain itu, memperbanyak rute penerbangan langsung, promosi pariwisata hingga memperbanyak kegiatan internasional yang mendatangkan devisa lebih besar, misalnya pameran hingga musik.
Yang tak kalah penting, peran perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti kantor kedutaan besar juga melakukan promosi pariwisata.
Selain itu, mewujudkan keamanan dan kenyamanan wilayah karena pariwisata memerlukan suasana yang kondusif.
Kuota wisatawan
Pemerintah Provinsi Bali saat ini menyiapkan peraturan daerah mengenai pemberlakuan kuota kedatangan wisatawan mancanegara, yang tujuannya mendorong wisatawan berkualitas.
Menurut Gubernur Bali Wayan Koster, pengendalian pariwisata supaya pariwisatanya tidak massal, seperti yang dilihat pada kasus belakangan, karena itu akan diberlakukan sistem kuota bagi wisatawan mancanegara yang ke Bali.
Saat ini, peraturan sedang digodok untuk menentukan jumlah wisatawan asing di Bali.
Ada pun jumlah wisatawan mancanegara ke Pulau Dewata sebelum pandemi COVID-19 mencapai sekitar 6,3 juta orang pada 2019.
Pemprov Bali memberikan sinyal bahwa peraturan itu nantinya akan mengatur sejumlah kriteria tertentu, termasuk pembatasan jumlah wisatawan asing, hingga minimal jumlah uang di rekening tabungan yang dimiliki turis asing sebelum mereka terbang ke Bali.
Peraturan itu nantinya juga tidak membatasi negara tertentu, namun lebih spesifik terkait jumlah keseluruhan kedatangan wisatawan asing.
Rencananya menerapkan kuota kedatangan turis asing ke Bali itu dinilai menjadi salah satu solusi pariwisata berkualitas dan mencermati fenomena wisatawan asing yang saat ini banyak melakukan aksi tak terpuji dan banyak melanggar hukum.
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Provinsi Bali juga mendukung pariwisata berkualitas di Pulau Dewata.
Kepala Kanwil Kemenkumham Bali Anggiat Napitupulu pun tak ketinggalan memberikan tindakan tegas kepada turis asing yang berulah, yakni banyak melanggar hukum dan tidak menghargai budaya dan kearifan lokal di Pulau Dewata, dengan cara deportasi.
Bersama dengan instansi lain yang tergabung dalam Tim Pengawasan Orang Asing, Kemenkumham menjaring wisatawan asing nakal.
Bahkan, sejak Januari hingga April 2023, Imigrasi di Bali telah mendeportasi 101 warga negara asing (WNA) karena berbagai masalah, seperti melebihi masa tinggal hingga melanggar norma di Indonesia, khususnya Bali.
Sementara sejak pintu internasional dibuka kembali di Bali pada Mei 2022 hingga Desember 2022, tindakan paksa mengeluarkan orang asing atau deportasi dari wilayah Indonesia mencapai 194 orang WNA.
Berdasarkan catatan Kemenkumham Bali, paling banyak warga negara yang dideportasi itu, di antaranya berasal dari Rusia dan ada juga beberapa negara lainnya, di antaranya Nigeria, Ukraina, dan Jepang.
Mendorong pariwisata yang lebih berkualitas di Bali bukanlah hal yang mustahil dilakukan saat ini, apalagi didukung darurat kesehatan dari COVID-19 sudah dicabut.
Hal yang terpenting saat ini, mewujudkan pariwisata berkualitas sudah selayaknya tak disandarkan di “bahu”-nya Bali sendiri. Upaya itu perlu komitmen dan dukungan dari semua pihak, termasuk masyarakat, demi keajegan dan keberlanjutan Pulau Dewata.