Tim Hukum Rektorat Universitas Udayana menjelaskan dasar hukum pungutan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) setelah Kejaksaan Tinggi Bali menetapkan Rektor Unud Prof. I Nyoman Gede Antara sebagai tersangka keempat kasus dugaan korupsi di perguruan tinggi yang dipimpinnya.
Ketua Tim Hukum Rektorat Universitas Udayana Bali Dr. I Nyoman Sukandia dalam keterangannya di Denpasar, Bali, Rabu, menyatakan pertimbangan untuk memberlakukan SPI sepenuhnya didasarkan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketua Tim Hukum Rektorat Universitas Udayana Bali Dr. I Nyoman Sukandia dalam keterangannya di Denpasar, Bali, Rabu, menyatakan pertimbangan untuk memberlakukan SPI sepenuhnya didasarkan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selanjutnya, guna menjamin kepastian hukum pada tingkat universitas maka dasar hukum pemberlakuan SPI juga diatur dalam Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor 476/UN14/HK/2022 tentang sumbangan pengembangan institusi mahasiswa baru seleksi jalur mandiri Universitas Udayana tahun akademik 2022/2023.
Baca juga: Unud: pengelolaan dana SPI selalu diawasi dan tidak ada masalah
Mengenai pengenaan SPI di Unud, Sukandia mengatakan kebijakan itu sudah dijalankan berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam keputusan Rektor Universitas Udayana disebutkan yang dapat dikenakan SPI hanya mahasiswa yang mengikuti jalur masuk mandiri, kecuali mahasiswa tersebut terbukti masuk kualifikasi tidak mampu.
Sukandia menambahkan pungutan SPI di Universitas Udayana sudah berlangsung sejak tahun 2018.
"Untuk mekanisme perhitungan SPI sejatinya ada di masing-masing fakultas. Perhitungan SPI turut mempertimbangkan biaya operasional masing-masing fakultas. Namun demikian, penentuan besaran nominalnya juga sudah disesuaikan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," jelasnya.
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (4) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020, maka SPI tidak menjadi dasar dalam penentuan penerimaan atau kelulusan mahasiswa.
"Seperti halnya di Unud, bahwa ada calon peserta didik yang berasal dari jalur mandiri dinyatakan lulus dengan nilai SPI Rp0 (nol rupiah), mengingat kelulusan tersebut memang murni didasarkan atas perolehan nilai tes dari yang bersangkutan," katanya.
Baca juga: Rektor Unud bantah dana SPI mengalir ke tiga stafnya
Dia juga menjabarkan berdasarkan data rekening koran, diketahui bahwa perolehan SPI Unud dari tahun 2018 hingga 2022 sebesar Rp335.251.590.691.
"Total nilai SPI ini seluruhnya dibayarkan melalui rekening negara oleh mahasiswa yang telah dinyatakan lulus dan dipastikan tidak ada yang masuk ke rekening pribadi," tegas Sukandia.
Dia menambahkan dana SPI yang terkumpul dalam rekening negara selanjutnya terakumulasi dengan pendapatan lain Unud yang sah sehingga dana SPI dapat digolongkan sebagai komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Akumulasi dana yang ada dalam rekening negara inilah yang dikelola secara akuntabel dan transparan untuk seluruh kebutuhan Universitas Udayana, termasuk fasilitas sarana dan prasarana.
"Unud senantiasa akuntabel dan transparan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk dana SPI yang masuk rekening negara. Sebagai bentuk kehati-hatian, Unud juga melibatkan beberapa lembaga audit untuk melakukan pengawasan dan penilaian terhadap pengelolaan keuangan negara," tambahnya.
Di Universitas Udayana, lanjutnya, pengawasan keuangan sangat ketat dengan melibatkan beberapa pihak, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal dari kementerian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Bali, Satuan Pengawas Internal (SPI) Universitas Udayana, dan Kantor Akuntan Publik.
Dengan demikian, Sukandia memastikan bahwa Unud selalu berupaya untuk terhindar dari segala bentuk kekeliruan dalam konteks pengelolaan keuangan negara, termasuk dana SPI yang ada di dalamnya.
"Unud mengingatkan agar semua pihak menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah. Lebih daripada itu, Unud berkomitmen untuk menghormati proses hukum yang berjalan," katanya.
Nyoman Sukandia selaku Ketua Tim Hukum Unud juga mempertanyakan perihal besaran kerugian negara yang dinilai masih simpang siur.
"Sebagaimana dimuat dalam press release yang dibuat pihak Kejaksaan Tinggi Bali tertanggal 10 Maret 2023, dan/atau materi yang termuat dalam siaran berita pada beberapa media, baik cetak, online, maupun elektronik. Besaran nominal yang dicantumkan tidak sesuai dengan fakta pengelolaan keuangan negara oleh Unud," ujarnya.
Sebelumnya, pada Senin 13/3, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bali Agus Eko Purnomo membeberkan data Rektor Universitas Udayana Gde Antara diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp105,39 miliar dan Rp3,94 miliar.
Selain itu, pimpinan Unud yang kini menjadi tersangka keempat dalam kasus dugaan korupsi dana SPI juga diduga merugikan perekonomian negara hingga mencapai Rp334,57 miliar.
Jumlah tersebut membengkak dari sebelumnya hanya berjumlah Rp3,9 miliar.
"Jumlah Rp105 miliar itu kami temukan dalam penyidikan. Kemarin kan pasal pertama yang kami sangkakan kan pasal 12 huruf e. Itu yang kerugiannya Rp3,9 miliar. Setelah kami lakukan pendalaman, pemeriksaan dengan alat bukti, dan audit dari auditor, ada juga penerimaan lain yang besarnya tidak sesuai dengan peraturan. Kami temukan tidak hanya pasal 12 huruf e, pasal 2 dan pasal 3 ayat (1) pun sudah kami temukan. Jadi, ada penambahan pasal, penambahan kerugian dan penambahan tersangka," kata Eko Purnomo.