Badung (ANTARA) - Pariwisata menjadi penggerak utama perekonomian Bali sejak Indonesia masih dijajah kolonialisme dan imperialisme Belanda. Catatan sejarah menunjukkan industri pariwisata di Bali mulai berkembang pesat pada 1930-an terbukti dari kunjungan para pesohor, salah satunya Charlie Chaplin, kemudian para pelukis ternama dunia seperti Walter Spies, Miguel Covarrubias, Rudolf Bonnet, yang pada akhirnya menetap lama di Bali dan menjadikan Pulau Dewata sebagai inspirasi karya-karya mereka yang mendunia.
Kemasyhuran Bali pada akhirnya semakin dikenal warga dunia kala Pemerintah Hindia Belanda memasang replika bangunan rumah tradisional Bali dan menampilkan sekitar 50 penari dan pemusik di The Paris Colonial Exhibition, Paris, Prancis, pada 1931.
Pameran itu, yang menampilkan kebudayaan dan kekayaan alam negara-negara jajahan dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin, berlangsung selama 6 bulan dengan jumlah pengunjung sampai 33 juta orang.
Dari pameran itu, ditambah adanya kantor urusan wisata pemerintah Hindia Belanda (VTV) di Batavia (sekarang Jakarta), Bali menjadi salah satu destinasi wisata yang populer di kawasan Asia.
VTV saat itu mempopulerkan Bali dengan sebutan “The Lost Paradise”.
Situasinya tidak jauh berbeda selepas Indonesia merdeka. Pariwisata masih menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara. Perbedaannya, Indonesia dan masyarakat Bali selepas masa kemerdekaan tidak sekadar menjadi “objek tontonan” yang dijual oleh wisatawan asing.
Masyarakat Bali pun tampil sebagai yang memiliki usaha dan mereguk keuntungan dari pariwisata. Berbagai dinamika politik, konflik di akar rumput yang terjadi akibat transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, kemudian bencana alam, juga tidak menyurutkan antusiasme wisatawan mancanegara terhadap Bali.
Namun, derasnya kunjungan dan menjamurnya industri berbasis pariwisata di Pulau Dewata itu juga menimbulkan dampak, tidak hanya hubungan antarwarga Bali, kebudayaan, tetapi juga pada pelestarian alam.
Banyak lahan persawahan, yang menjadi penopang ketahanan pangan di Bali bahkan Indonesia, pun beralih fungsi menjadi hotel, vila, resor-resor mewah, restoran, kafe, dan tempat-tempat hiburan.
Akibatnya, masalah demi masalah mulai membayangi Pulau Dewata, dari tergesernya masyarakat asli dari tempat tinggalnya diganti oleh para pendatang (gentrifikasi), timbunan sampah, beberapa kebudayaan dan tradisi yang punah atau tidak lagi dipraktikkan oleh masyarakat, masalah ketersediaan air, sampai kriminalitas.
Dari berbagai persoalan itu, ada keinginan terutama dari pelaku wisata Bali untuk mengembalikan kembali “keseimbangan” di Pulau Dewata. Langkah yang dilakukan salah satunya mengembalikan pariwisata Bali ke “akar” yang sejalan dengan falsafah hidup masyarakat Bali Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana
Tri Hita Karana sebagai falsafah hidup masyarakat Bali, sederhananya, dapat dipahami sebagai keseimbangan hubungan antara manusia dan Sang Pencipta, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.
Sejak 2020, terutama sejak diterbitkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali, pemerintah daerah di Bali menjadikan Tri Hita Karana dan kearifan lokal Sad Kerthi menjadi acuan dalam praktik-praktik pariwisata di Bali.
Dalam peraturan itu, yang diteken oleh Gubernur Bali I Wayan Koster, praktik-praktik pariwisata berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal Tri Hita Karana dan Sad Kerthi, juga berorientasi pada prinsip-prinsip keberlanjutan.
Ketua Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali W. Puspa Negara saat dihubungi di Bali bulan ini menjelaskan pada dasarnya pariwisata di Bali telah mengedepankan keseimbangan alam yang berlandaskan Tri Hita Karana.
“Jika berbicara destinasi, sebagian besar yang ada di Bali ini adalah destinasi alam yang di dalamnya ada kehidupan budaya. Jadi, memang itulah destinasi yang kami miliki di Bali, yaitu yang berdasarkan dengan budaya dan alam karena budaya Bali itu sumbernya adalah pertanian. Jadi, kalau tidak ada pertanian, tidak ada budaya Bali. Alam memegang peranan penting dalam perspektif destinasi pariwisata Bali,” kata Puspa Negara.
Oleh karena itu, praktik pariwisata di Bali tidak mungkin terlepas dari falsafah Tri Hita Karana, sebab hal itulah yang menjadikan alam Bali lestari sehingga pariwisata pun ikut lestari.
Pelestarian lingkungan dan budaya akan terjadi jika pertanian dilestarikan atau alam dilestarikan. Oleh karena itu, pihaknya ingin agar terjadi keseimbangan antara pembangunan pertanian dan pembangunan pariwisata.
Pembangunan pertanian yang kuat, secara otomatis akan menghasilkan produksi pangan, pelestarian ekosistem dan lingkungan hidup, serta pelestarian budaya.
Oleh karena itu, langkah yang harus dilakukan saat ini, menurut Puspa Negara, antara lain, melindungi bentang alam Bali, termasuk persawahan yang masih tersisa karena alih fungsi lahan masih menjadi ancaman utama, serta memperbaiki tata kelola tata ruang di Bali.
Contoh dari Nusa Dua
Di kawasan Nusa Dua, ITDC (PT Pengembangan Pariwisata Indonesia), yang merupakan perusahaan pelat merah, berkomitmen terus menerapkan falsafah Bali Tri Hita Karana dalam mengelola kawasan The Nusa Dua.
General Manager The Nusa Dua I Gusti Ngurah Ardita menyampaikan Tri Hita Karana menjadi konsep yang tidak terlepas dari kawasan The Nusa Dua sejak masa perencanaan, pembangunan, sampai pengelolaan dan pemeliharaan.
“Kami punya masterplan yang menerapkan tata letak bangunan sesuai dengan konsep Bali Tri Hita Karana. Di kawasan The Nusa Dua, ada palemahan, pawongan, dan parahyangan. Palemahan itu adanya di lahan penghijauan, kemudian pawongan tempat tinggal itu hotel-hotel, dan parahyangan ada di ujung dua pulau, ada tempat ibadah yg kami pertahankan,” kata Ardita.
Hotel-hotel yang dibangun di dalam kawasan The Nusa Dua pun tidak dapat sembarang membangun, karena harus sesuai dengan masterplan dan rencana blok dari ITDC selaku pengelola kawasan The Nusa Dua.
“Kami punya community design di sini, bangunan hotel di sini secara kental, secara kuat mengimplementasikan tata bangunan Bali, mulai dari aturan ketinggiannya, dan gaya arsitekturnya juga mengombinasikan arsitektur modern dan arsitektur Bali,” kata dia.
Terakhir, untuk konsep parahyangan, yang menjadi bagian dari Tri Hita Karana, Ardita menyampaikan ITDC juga mempertahankan sembilan pura milik masyarakat setempat dalam kawasan The Nusa Dua.
Ada sembilan tempat ibadah di dalam pura di dalam kawasan, dan yang unik satu pura ada di tengah-tengah hotel yang pengemponnya (pengurus, red.) masyarakat. Pura itu ada di Grand Hyatt, letaknya di tengah-tengah hotel. Itu tidak diubah, tetap dipertahankan, dan ditata. Jadi, misalnya, saat upacara melasti nanti masyarakatnya masuk ke pura di dalam hotel itu.
Pariwisata dapat berjalan beriringan dengan kehidupan masyarakat Bali yang berakar pada falsafah Tri Hita Karana. Bahkan, falsafah hidup itu yang menjaga kelestarian alam, dan merawat hubungan harmonis antara masyarakat dan wisatawan, juga kepada Sang Pencipta.