Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Sosok seniman Bali dengan gayanya khas dan unik secara intens merefleksikan lokalitas tradisi Bali dalam karya seninya, yang diberi judul "Ritus Kepala Digoreng-goreng" Refleksi Atas Manipulasi Pasar Seni Rupa.
Nyoman Erawan (54), seniman kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang sukses menggelar pameran di tingkat lokal, nasional dan internasional tampil dalam pertunjukan kritis di Tony Raka Galeri, Desa Mas, perkampungan seniman Ubud.
Penampilannya di hadapan publik itu serangkaian pelaksanaan pameran tunggal yang diberi tajuk Mukti menyuguhkan sekitar 50 karya kanvas, 50 sket dan tujuh karya instalasi berlangsung selama sebulan hingga 25 September 2012.
Penampilan sosok seniman serba bisa yang diiringi alunan instrumen musik kontemporer itu seakan ia lahir kembali, setelah jeda yang cukup panjang setelah performance art bertajuk Gong Gang di Darga Gallery, Sanur tahun 2004.
Suami dari Ni Wayan Juniasih itu mulai memantik perhatian jagad seni rupa ketika tampil dalam performance art Cak Seni Rupa Latta Mahosadi (1997), Ruwatan Seni Erawan (1998), Pralayamatra (1999) dan Kremasi Waktu (2000), Surya Sewana Bumi (2000) dan Sikat Gigi (2001).
Dalam `"Ritus Kepala Digoreng-goreng", itu Erawan yang baru saja menerbitkan buku dalam dua bahasa yakni Indonesia dan Inggris, tampil dengan perabotan menggoreng, minyak mendidih, cetakan wajah, tepung yang telah dilegitkan, sembilan nampan yang nantinya jadi tempat memajang "kepala yang telah digoreng".
Ia menggoreng "kepala" itu secara atraktif dan benar-benar "performing". Perabot seperti kuali besar dengan minyak mendidih, kompor gas yang "mendengus" keras, cetakan dan tepung legit yang dibanting-bantingnya di talenan, menghasilkan efek suara yang menggambarkan keriuhan dan kesibukan dari ritual menggoreng jajanan Bali untuk kelengkapan ritual.
Dengan properti yang diambil dari tepung pepecikan yang lazim dalam pembuatan "sarad", salah satu kelengkapan ritual dalam agama Hindu di Bali. Nampan dan kepala yang berjumlah sembilan, menurut Erawan sedang mengangkat nilai-nilai yang membentuk cara berpikir masyarakat tradisional Bali dalam aneka konsep.
Ia mencontohkan Dewata Nawa Sanga (dewata di sembilan penjuru semesta), konsep pangider bhuana, yakni bahwa kesembilan dewata itu menjaga sekeliling semesta, dan menggoreng juga memang berarti mematangkan persembahan tersebut agar menjadi kuat.
Selain itu juga memiliki nilai keindahan dan sesuai dengan kebenaran yang diyakini dalam konsep "Satyam Siwam Sundaram".
Sindiran Terhadap Pasar
Penampilan ritus Nyoman Erawan, dalam konteks yang lebih aktual pada dunia seni rupa, arti kata `"menggoreng-goreng" merupakan sindiran terhadap pialang pasar seni rupa yang melakukan serangkaian kegiatan "pasar hitam" dengan cara menggoreng harga karya perupa tertentu, demi menangguk keuntungan finansial secara cepat dan mudah.
Perilaku "goreng-menggoreng" harga lukisan mulai disorot pada akhir tahun 1990-an ketika kritikus Adi Wicaksono dari Yogyakarta mengungkap masalah ini secara gamblang, dengan menyebut beberapa nama yang lukisannya disebut digoreng-goreng, dan siapa nama pialangnya.
Meskipun demikian apakah Erawan memang bermaksud menyindir perilaku para pialang karya seni yang diungkap oleh Adi Wicaksono tersebut. Seperti lazimnya perupa, Nyoman Erawan tidak mau menanggapi persepsi masyarakat.
"Silahkan, apapun penafsiran dan persepsi mereka. Saya hanya berkarya, mengekspresikan diri, dan tradisi serta budaya Bali merupakan ladang emas yang tidak pernah habis untuk saya gali," ujar Erawan yang kehidupannya menyatu dalam lingkungan desa adat.
Erawan memang perupa yang sangat intens menggali khasanah tradisi Bali, sejak kemunculannya dalam karya-karya seni rupa, baik dalam bentuk lukisan maupun karya-karya instalasi, dan terakhir karya-karya performance art.
Ia mempunyai kesadaran dan pemahaman politik yang cukup baik serta sikap yang jelas, dimana ia mau mengkolaborasikan kekuatan dari budaya tradisional dengan aura budaya modern yang tidak mungkin dibendung.
Secara politik Nyoman Erawan tidak mungkin menutup diri dari perubahan sosial, karena interaksi sosial budaya berlangsung sebagai satu keniscayaan, tidak hanya karena Bali membuka diri dalam kepariwisataan, tapi karena teknologi komunikasi dan informasi sudah sedemikian canggih menembus batas-batas negara, etnik, agama dan budaya.
Bagi pengamat seni Dr Jean Couteau, budayawan asal Prancis yang sudah puluhan tahun menetap di Bali, "Ritus Kepala Digoreng-goreng" mau tak mau merupakan refleksi Erawan atas fenomena yang diduga masih berlangsung di Indonesia, yakni goreng-menggoreng lukisan, yang dilakukan oleh pialang-pialang tertentu untuk kepentingan finansial semata.
Meskipun hal itu sejak lama disorot media, diduga permainan ini belum lenyap dari dunia seni rupa Tanah Air.
Pecinta seni Putu Wirata Dwikora, yang malam pembukaan pameran Mukti Erawan mendapat "hadiah khusus" bersama Hartanto dan Putu Suasta dari Nyoman Erawan, menyatakan, eksplorasi Erawan terhadap kekayaan tradisi Bali yang dikolaborasikan dengan khasanah budaya modern, merupakan kekuatan dari perupa kelahiran Sukawati ini.
Erawan melanjutkan seniornya di Sanggar Dewata Indonesia (SDI) yang menjadikan nilai-nilai religius Bali sebagai pijakan berkarya. Namun, dibanding seniornya, Erawan lebih maju dalam hal keberaniannya menggubah karya-karya instalasi serta
performance art yang dilakukannya secara intens dan konsisten.
Ayah dari dua putra putri, masing-masing I Putu Sastra Wibawa dan Ni Made Gita Karisma itu tetap berkarya di tiga wilayah, yakni media dwimatra, trimatra dan performance art, meskipun karya-karyanya bukanlah termasuk yang mengalami "booming" pasar tahun 1980-an.
Selain performance art "Ritus Kepala Digoreng-goreng", sejumlah karya instalasinya pada pameran tunggal Mukti menunjukkan bahwa, Erawan masih menyimpan energi kreatif yang sangat besar.
"Performance art" termasuk karya yang `"tak bisa dikoleksi, jika ingin mengoleksinya dengan hasrat finansial, karena merupakan ekspresi yang murni, seperti masyarakat Hindu di Bali yang dalam upakara Pitra Yadnya mulai ngaben sampai memukur, membuat kelengkapannya berupa bade, singa, lembu, tumpang salu, bale petak, aneka bebanten yang semuanya untuk dilebur dan dikembalikan ke asalnya ibu pertiwi.
Jika dihitung sejak awal 1980-an sampai sekarang, perjalanan kreatif perupa Nyoman Erawan telah melampaui seperempat abad. namun Erawan tetap intens di "jalan sunyi" performance art-nya.
Meskipun demikian tidak pernah merasa termarjinalkan, kendati performance art bukanlah "mainstream" yang bisa ngetrend seperti halnya gaya-gaya karya seni lainnya di media dwimatra dan trimatra.
Menurut Putu Wirata, ketika seorang seniman kuat di "jalan sunyi", itu membuktikan bahwa, pencahariannya memang murni dan tidak dibuat-buat. Dengan kata lain, pencariannya bukanlah sesuatu yang masuk dalam kerangka kreativitas yang digoreng-goreng di kuali pasar seni rupa yang gegap gempita untuk mencoba hadirnya "booming" lagi "booming" lagi. (LHS/T007)
N Erawan Dalam Refleksi Manipulasi Pasar
Kamis, 6 September 2012 17:38 WIB