Oleh I Komang Suparta
Denpasar (Antara Bali) - Pelanggaran kawasan jalur hijau di Bali semakin tinggi, hal tersebut membuktikan pemerintah kurang tegas menegakkan peraturan daerah sebagai payung hukum untuk melindungi kawasan itu dari pembangunan dan alih fungsi lahan.
Di Pulau Dewata, fenomena alih fungsi lahan untuk daerah pemukiman maupun sarana penunjang pariwisata, seperti untuk perumahan, hotel maupun vila yang berdiri di tengah sawah atau kawasan jalur hijau paling cepat terjadi di Kabupaten Badung, Gianyar, Tabanan dan Kota Denpasar.
Bahkan, pemerintah daerah pun sulit membendung alih fungsi itu, karena masyarakat membangun pemukiman tersebut dengan berbagai alasan. Karena semakin sempitnya pekarangan di rumah asal orang tua, sehingga mereka yang dulunya lahan pertanian maka dialihfungsikan menjadi pekarangan baru.
Selain itu, pemerintah daerah juga tak mampu mempertahankan kawasan jalur hijau tersebut. Karena lahan-lahan yang dulunya dipatok dengan papan plang bertuliskan "Kawasan Ruang Terbuka Hijau" adalah milik pribadi atau individu warga setempat.
Namun seiring zaman reformasi, warga pun mulai berani berbicara dan "melawan" kekuasaan, sehingga mereka berani meminta ketegasan soal kompensasi pembayaran pajak terhadap tanahnya yang dijadikan kawasan jalur hijau.
Karena mereka merasakan lahan yang dijadikan kawasan jalur hijau merasa dirugikan dan tetap juga membayar pajak.
Dilematis seperti ini, jika pemerintah ingin mempertahankan kawasan hijau harus berani memberikan kompensasi, yakni membebaskan dari wajib membayar pajak atau pajak nol persen.
Jika pemerintah sudah melakukan kompensasi seperti itu, masih tetap terjadi pelanggaran, maka harus ditegakkan sanksi hukum yang mengacu pada undang-undang serta perda tata ruang dan kawasan yang ada di masing-masing daerah.
Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia mengatakan, alih fungsi lahan pertanian di Pulau Dewata dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sangat mengkhawatirkan sehingga ruang terbuka hijau akan semakin sempit, bahkan akan hilang sama sekali.
"Alih fungsi lahan pertanian selama lima tahun itu seluas 5.000 hektare, atau setiap tahunnya rata-rata 1.000 hektare," katanya.
Ia mengatakan, alih fungsi lahan pertanian tersebut secara ekonomis memang memberikan keuntungan ekonomi yang besar, namun disisi lain lahan pertanian semakin menyempit.
Windia tak memungkiri kebutuhan akan rumah tinggal di tiga kabupaten dan Kota Denpasar terus meningkat. Akibatnya, lahan yang ditetapkan menjadi kawasan terbuka hijau atau jalur hijau terus tergerus dan semakin menyempit.
Bahkan, tidak sedikit di kawasan jalur hijau di Denpasar muncul pengkaplingan yang akan dijadikan perumahan. Pemandangan ini terlihat di Jalan Tukad Balian Renon, Jalan Suradipa Peguyangan maupun tempat-tempat lainnya di Denpasar. Bahkan di kawasan dekat Desa Budaya Kertalangu, Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur.
Sementara itu, Kepala Dinas Tata Ruang dan Perumahan (DTRP) Kota Denpasar Kadek Kusuma Diputra mengatakan, terkait banyaknya jalur hijau yang dilanggar, pihaknya sudah berupaya keras untuk mencegahnya.
Mulai dari memberikan teguran hingga penertiban yang melibatkan Dinas Tramtib dan Satpol PP Kota Denpasar. Namun, pelanggaran daerah koefisien dasar bangunan (KDB) nol persen tidak bisa dicegah. Hal itu tidak terlepas dari pengkaplingan tanah yang semakin banyak terjadi.
Ke depan pihaknya berupaya untuk mempertahankan jalur hijau dengan membuat kesepakatan bersama dengan Kantor Pertanahan. Mengingat, peran Kantor Pertanahan yang mengeluarkan sertifikat juga mendukung upaya untuk mempertahankan keberadaan jalur hijau di Denpasar.
"Kami akan rintis kerja sama ini, sehingga program yang dimiliki Pemkot Denpasar dengan Kantor Pertanahan bisa nyambung," katanya.
Jalur Hijau Terjepit
Sebelumnya, anggota Komisi II DPRD Provinsi Bali Anak Agung Gde Gerana Putra mengatakan, tantangan untuk pelestarian jalur hijau sangat berat, karena keberadaannya semakin terjepit oleh gencarnya pembangunan, sehingga alih fungsi lahan pun tidak bisa terelakan.
"Untuk mempertahankan keberadaan kawasan tersebut, pemerintah dan pemangku kepentingan harus membantu secara khusus kepada pemilik sawah, khususnya para petani," katanya.
Contohnya untuk mempertahankan kawasan jalur hijau, kata dia, pemerintah harus berani membebaskan dari biaya pajak. Sehingga kawasan tersebut bisa terproteksi dari alih fungsi lahan.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus memberikan bantuan bibit tanaman, seperti padi dan jagung serta pupuk. Disamping juga distribusi air juga harus dipertahankan.
"Kalau kebutuhan tersebut dapat dipenuhi, saya optimistis lahan tersebut dapat dipertahankan dari alih fungsi itu," ujarnya.
Namun bila itu tidak ditindaklanjuti dengan upaya nyata, kata dia, jangan salahkan warga masyarakat mengalihfungsikan lahan dengan menjual tanahnya. Alasannya, karena pajaknya semakin meningkat dan penghasilan tidak mencukupi dari lahan tersebut.
"Kalau sudah lahan tersebut jatuh ke tangan developer atau pengkapling tanah, maka lahan tersebut akan menjadi perumahan. Contohnya di Jalan Drupadi, kawasan Panjer, jalan Suradipa Denpasar, dulu termasuk sawah produktif dan sistem subak (organisasi pengairan tradisional) sangat bagus. Begitu dikapling, dalam waktu tertentu kawasan yang dulunya sawah berubah menjadi perumahan," ucap dia.
Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Komisi II DPRD Bali Gede Kusuma Putra berharap untuk mempertahankan kawasan jalur hijau, keberadaan subak yang dijadikan warisan budaya harus mampu selamanya dipertahankan, karena itu pemerintah diharapkan memberikan subsidi pembayaran pajak, termasuk juga membantu bibit serta pupuk.
"Bila ingin terus bertahan kawasan hijau tersebut, maka subak yang telah mendapat predikat sebagai warisan budaya dunia dari Unesco, maka pemerintah harus membantu kebutuhan yang diperlukan para petani termasuk usaha ke arah untuk pembebasan pajak," katanya.(LHS/T007)
