Oleh I Komang Suparta
Denpasar (Antara Bali) - Keberadaan stasiun televisi swasta nasional belum mampu mengangkat kebudayaan lokal di Tanah Air, walau amanat UU Nomor 32/2002 dan PP Nomor 50/2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, sejak akhir 2007 mewajibkan menyiarkan muatan lokal.
Padahal misi keberadaan televisi tersebut ada tiga fungsi, yaitu sebagai hiburan, edukasi, dan kontrol sosial. Namun kenyataannya TV swasta nasional yang menyiarkan hingga ke daerah-daerah muatan konten lokal tidak lebih dari 10 persen saja.
Karena keberadaan lembaga kontrol penyiaran, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) belum mampu berbuat banyak, terbukti selama kurun waktu lima tahun sejak ditetapkan PP Nomor 50/2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, belum menunjukkan hasil yang maksimal untuk merubah stasiun TV swasta nasional untuk meningkatkan konten siaran bernuansa lokal.
Bahkan, kini kecenderungan siaran TV swasta nasional menayangkan sinetron, "infotainment" selibritis, dibanding dengan hiburan budaya, seperti wayang maupun hiburan lokal lainnya.
Menurut anggota Komisi I DPRD Bali Ni Made Sumiati SH mengatakan, harapan publik untuk menikmati siaran tv swasta nasional Jakarta dengan muatan lokal masih jauh panggang dari api.
Kendati beberapa TV swasta nasional mulai memproduksi siaran lokal, tetapi siaran tersebut hanya artifisial untuk sekadar memenuhi ketentuan 10 persen dari kewajiban minimal isi siaran lokal.
Muatan lokal TV nasional juga belum ada kemajuan yang cukup signifikan. Mereka masih belum beranjak dari siaran sejam dari total siaran 20 jam. Bahkan, siaran produksi lokal tersebut juga tidak tayang di jam "primetime".
"Siaran lokal TV nasional masih ditempatkan pada jam tayang nonekonomis (siang hari) yang tidak banyak penontonnya," kata srikandi PDIP ini.
Ia mengatakan, padahal progres muatan lokal dari TV nasional dalam perspektif demokratisasi penyiaran menjadi penghubung ke publik.
Hal tersebut tidak saja menjadi bemper bagi pertahanan budaya lokal, tetapi juga akan membawa dampak multi efek bagi pertumbuhan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) penyiaran di daerah.
"Kami berharap dengan produksi siaran lokal maka potensi ekonomi dan SDM di daerah akan dapat digarap secara serius," ucap wanita pegiat LSM anak dan perempuan ini.
Dengan demikian, kata Sumiati, ke depan diharapkan siaran maupun bisnis televisi tidak lagi berpusat di Jakarta saja, tetapi bisa menyebar ke berbagai daerah sehingga siaran tersebut lebih adil bagi kepentingan masyarakat lokal.
Kearifan lokal
Sementara itu, Koordinator Bidang Perizinan KPID Bali Nyoman Mardika mengakui, TV swasta nasional hingga kini belum menerapkan acuan UU Penyiaran, terkait menyajian konten kearifan lokal (local genius).
TV tersebut masih berkutat mengejar rating tertinggi untuk kepentingan bisnis dibanding memenuhi harapan masyarakat, dalam hal ini sebagai media edukasi bangsa Indonesia.
"Memang beberapa TV swasta nasional untuk melakukan kerja sama berjaringan dengan TV lokal, bahkan membuat perwakilan studio di daerah. Namun konten siaran lokal hanya sekadar memenuhi persyaratan saja," katanya.
Bahkan, kata dia, durasi siaran atau konten lokal yang ditayangkan tidak lebih 10 persen itu, bukan produksi murni edukasi.
"Mereka masih mempersepsikan dengan membuat siaran atau membuat sinetron, misalnya di Bali sudah dianggap memenuhi konten lokal tersebut. Padahal tidak itu yang dimaksudkan dalam UU Penyiaran tersebut," katanya.
Mardika juga mengatakan, jam "primetime" juga banyak yang tidak tepat, misalnya penayangan film kartun pada pagi hari. Ini juga tidak tepat karena pada jam ini anak-anak mau berangkat sekolah, tapi disuguhkan hiburan. Ini jelas kurang mendidik.
"Begitu juga pada jam 'primetime' anak-anak nonton televisi, disuguhkan hiburan sinetron bercinta. Padahal hiburan semacam ini semestinya ditayangkan diatas pukul 21.00 waktu setempat," ucap mantan aktivis KNPI Bali itu.
Artinya, kata dia, televisi swasta nasional lebih mengejar kepentingan bisnis dari pada memikirkan bagaimana nasib generasi muda ke depan, jika menayangkan siaran semacam sinetron bercinta pada jam "primetime" saat anak-anak lagi menonton.
Mardika menyadari stasiun TV swasta nasional kini berada pada persimpangan, menaati UU berarti mengancam kapitalisasi bisnis atau berjaringan demi demokratisasi penyiaran.
Namun demikian kata dia, publik harus terus mengawal agar siaran lokal tidak menjadi pemanis (lipservice) kebijakan penyiaran.
Pemerintah harus terus mendorong stasiun TV swasta nasional untuk mengembangkan produksi lokal.
"Durasi siaran produksi lokal harus ditingkatkan agar terjadi pelibatan SDM lokal dan memberi kontribusi bagi pertumbuhan industri kreatif dan ekonomi daerah," ujarnya.
Industri kreatif
Ketua DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Bali Nyoman Gede Antaguna mengatakan, TV swasta nasional berjaringan diharapkan dapat memicu lahirnya "production house" dan industri kreatif di daerah.
"Dengan tumbuhnya "production house' di daerah diharapkan mampu membuka peluang bagi produksi masyarakat lokal untuk bisa tayang di TV nasional tersebut," katanya.
Televisi swasta nasional tidak boleh berdalih bahwa SDM publik lokal belum siap mengingat orang daerah dipaksa tidak siap oleh struktur bisnis tv yang ada saat ini.
Ia mengatakan, TV swasta nasional harus rela bermitra dengan TV lokal. Hal ini akan menjadi benteng media persatuan nasional dan demokratisasi penyiaran di daerah.
"Kalau ini mampu diterapkan sepenuhnya, maka TV yang berpusat di Jakarta justru akan tampil lebih impresif menjadi TV lokal berjaringan yang dekat dengan pemirsa lokal," ucap Antaguna.
Oleh karena itu, kata dia, kini saatnya publik untuk turut serta mengawal agar stasiun TV swasta nasional mau berjaringan demi kepentingan yang lebih luas.
"Perlu kita kawal siaran TV swasta nasional yang ditayangkan secara selektif bila ingin mempertahankan budaya bangsa dalam gempuran budaya yang dinamis di era globalisasi," katanya.(I020/T007)
Siaran TV Nasional Belum Angkat Budaya Lokal
Sabtu, 26 Mei 2012 16:42 WIB