Denpasar (Antara Bali) - Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengingatkan pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan zonasi menara telepon selular atau "base transceiver station" (BTS) jangan sampai membatasi hak komunikasi masyarakat.
"Pemerintah daerah harus memahami PMB (Peraturan Menteri Bersama) dalam menerapkan kebijakan itu," kata Ketua Dewan Pengawas ATSI Sutrisman di Denpasar, Senin.
Ia mengemukakan dalam PMB yang ditandatangani Menkominfo, Mendagri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal telah diatur pendirian BTS bersama.
"Pemerintah daerah dalam PMB itu diberi keleluasaan memungut retribusi dari BTS tanpa harus melakukan pungutan lain dengan mempertimbangkan tingkat pengembangan BTS dan kemampuan masyarakat. Tapi, sampai sekarang masih ada daerah tertentu yang sulit mengeluarkan izin pendirian BTS," katanya dalam diskusi tentang Peranan Telekomunikasi Dalam Mendukung Industri Pariwisata Di Bali itu.
Ia mempersilakan pemerintah daerah membongkar BTS ilegal, apalagi yang dibangun setelah disahkannya Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
"Namun, BTS lama yang sudah berdiri, jangan ikut dibongkar. Kami memahami RTRW. Makanya, kalau membahas RTRW tolong kami juga dilibatkan sehingga bisa kami sesuaikan dengan keberadaan BTS dan kami bisa melarang anggota kami untuk membangun BTS baru yang tidak sesuai dengan RTRW," kata pengawas organisasi yang sebelumnya bernama Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) itu.
Sutrisman mengemukakan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi itu telah disebutkan bahwa penyelenggaraan usaha jasa telekomunikasi itu di antaranya bertujuan untuk membangun perekonomian nasional, memperlancar tugas pemerintah pusat dan daerah, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Dari waktu ke waktu pertumbuhan pengguna jasa telepon seluler terus mengalami peningkatan. Bahkan hingga 2011 jumlanya telah mencapai 210 juta jiwa. Bisnis telekomunikasi pun tidak hanya sebatas layanan SMS dan telepon, melainkan sudah beranjak pada layanan data," katanya.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Infokom Kota Denpasar I Ketut Mister menegaskan bahwa dalam waktu dekat pihaknya segera menertibkan bangunan BTS.
"Tentu yang kami tertibkan yang keberadaannya tidak prosedural. Ada BTS yang dibangun di atas balai banjar (dusun adat) dan ada juga di atas rumah warga," katanya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh operator telepon seluler PT XL Axiata Tbk itu.
Meskipun demikian, dia akan bersikap arif dalam mengambil tindakan. "Oleh sebab itu kami banyak menerima masukan melalui seperti diskusi ini," katanya dalam diskusi yang digelar di Vila Mahagiri itu.
Ia juga meminta operator telepon seluler tidak egois untuk memudahkan realisasi BTS bersama. "Kami sadar usaha jasa seperti ini ada investasi besar dan 'profit oriented', tapi kami minta mereka tidak egois," katanya.
General Manager Infrastruktur dan Akuisisi Lahan PT XL Axiata, Stefanus Julianto, menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik kebijakan pemerintah tentang pembangunan BTS bersama.
"Sebagai provider, tentu kami juga sangat menghargai penataan menara. Kami juga telah mengantisipasi keterbatasan lahan itu dengan memperbarui dan menambah kapasitas jaringan," katanya.
Selain tiga narasumber tersebut, diskusi itu juga menghadirkan Ketua Asosiasi Angkutan Wisata Bali Ida Bagus Sudiana dan pemilik Vila Mahagiri Sanur Giri Supriyatna.
Kedua pelaku usaha tersebut menginginkan operator telepon terus memperbaiki kualitas pelayanan namun dengan mempertimbangkan faktor lingkungan.
"Akan lebih baik, kalau BTS itu diatur sedemikian rupa tanpa mengganggu keindahan kota," kata Giri Supriyatna yang berlatar belakang arsitektur itu.(M038)
Zonasi Jangan Batasi Hak Komunikasi
Senin, 21 Mei 2012 16:47 WIB