Denpasar (ANTARA) - Hampir satu abad, Nahdlatul Ulama (NU) berkiprah sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan di bumi Nusantara atau berusia 95 tahun dalam hitungan kelahiran NU secara kalender Masehi pada 31 Januari 2021 M. Kalau hitungan kalender Hijriyah berusia 98 tahun pada 16 Rajab 1442 H.
Tidak jauh dari hari kelahiran NU pada 31 Januari itu ada komedian bernama Pandji Pragiwaksono yang menyambutnya dengan komentar "lucu" yang meramaikan jagat maya, baik YouTube, WhatsApp, Facebook, Twitter, maupun Line pada 20 Januari 2021.
Intinya, Pandji menyebut NU dan Muhammadiyah itu jauh dari masyarakat, sedangkan FP* (FPI/Front Pembela Islam) selalu ada saat dibutuhkan masyarakat, karena itu ia menilai langkah pemerintah membubarkan FPI bukan langkah yang tepat.
"Ngebubarin itu percuma, karena nanti akan ada yang lain lagi, Front Pejuang Islam atau lainnya. Ngebubarin percuma, kaya nutup situs bokep, entar juga kebuka lagi ga ada ujungnya gitu," ujar Pandji ketika berdiskusi secara virtual dengan dua mantan anggota FPI, seperti dilansir dari chanel YouTube-nya (20/1/2021).
Selain tidak tepat, Pandji Pragiwaksono mengatakan di masyarakat ada banyak para simpatisan FPI, terlebih lagi di kalangan bawah. "Itu karena FPI selalu ada ketika masyarakat kalangan bawah meminta bantuan. FPI itu dekat dengan masyarakat. Ini gue dengar dari Pak Thamrin Tomagola (sosiolog), dulu tahun 2012," katanya.
Pandji menyebut contoh kalau ada anak mau masuk sebuah sekolah, kemudian tak bisa masuk, maka orang tuanya datangi FPI minta surat. Dibuatkan surat oleh FPI, lalu dibawa ke sekolah, maka anak itu bisa masuk, terlepas isi surat itu menakutkan atau tidak, tapi menolong warga.
Baca juga: Resensi - Buku "KontraNarasi Khilafers" untuk kado Hari Santri 2020
"FPI itu hadir gara-gara dua ormas besar Islam (NU dan Muhammadiyah) jauh dari rakyat. Mereka elit-elit politik. Sementara FPI itu dekat. Kalau ada yang sakit, ada warga yang sakit mau berobat, ga punya duit, ke FPI, kadang-kadang FPI ngasih duit, kadang FPI ngasih surat. Suratnya dibawa ke dokter, jadi diterima," kata Pandji.
Masih mengutip Tamrin Tomagola, komedian berusia 41 tahun itu menilai pintu ulama-ulama dari kalangan FPI selalu terbuka untuk membantu masyarakat yang sedang kesusahan.
"Kata Pak Tamrin Tomagola, pintu rumahnya ulama-ulama FPI kebuka untuk warga, jadi orang kalau mau datang bisa. Nah, yang NU dan Muhammadiyah yang terlalu tinggi dan elitis, warga tuh ngga ke situ, warga justru ke FPI. Makanya mereka pada pro FPI, karena FPI ada ketika mereka butuhkan," katanya.
Oleh karena itu, Pandji menyebut langkah Pemerintah membubarkan FPI pada 30 Desember 2020 dengan melarang segala bentuk aktivitas FPI sebagai kegiatan ilegal. (Idem, HTI dibubarkan pemerintah pada 19 Juli 2017 melalui pencabutan status badan hukum ormas HTI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017).
"Makanya gue bilang, bubarin FPI itu gampang tapi ga menyelesaikan masalahnya karena FPI menyediakan bantuan ketika rakyat lagi butuh selama elu ga kasi bantuan ketika rakyat lagi butuh, maka rakyat akan cari ormas lain untuk dapat bantuan. Yang gampang adalah bubarin ormas, yang susah adalah peduli sama masyarakat sekitar," ucapnya.
Pandangan "lucu" Pandji itu agaknya menunjukkan satu faktor penting yakni informasi yang diserap Pandji dapat dipastikan dominan didapat dari media sosial, sehingga "ilmu" Pandji tentang NU dan Muhammadiyah sangat sedikit, karena dunia maya memang didominasi FPI, HTI, dan sebagainya.
Bahkan, FPI dapat dibilang sangat aktif di dunia maya, karena kegiatan bakti sosial yang sangat kecil saja sudah dipotret, lalu di-share dan diviralkan di medsos, sehingga kelihatan banyak, sedangkan NU dan Muhammadiyah dapat dibilang tidak sok menunjukkan "kebaikan" di dunia maya.
Padahal, tidak sekadar peran baksos kecil di tengah banjir yang diviralkan, namun NU di Jawa Timur saja 12.347 sekolah/madrasah, apakah hal itu bukan membantu masyarakat dan sekaligus membantu pemerintah? Apalagi, peran NU secara nasional yang berdasarkan survei LSI sudah lebih dari 100 juta umatnya yang tersebar pada 30 Pengurus Wilayah NU, 339 Pengurus Cabang NU, 2.630 MWC NU, 37.125 Ranting NU, dan 44 PCI di Luar Negeri.
Baca juga: Milenial dalam "jebakan" Khilafah-Syariah
Hal itu belum termasuk peran NU dalam Pertempuran 10 November 1945 yang baru diakui Pemerintah sebagai "Hari Santri" pada 2015, atau 70 tahun setelah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Santri itu ditorehkan dalam sejarah NKRI. Pengakuan itu pun ada karena penelitian sejarah dari peneliti asing dan nasional, meski NU tidak perlu "pengakuan" itu, termasuk pengakuan medsos yang dibangga-banggakan komedian sekelas Pandji.
Kehadiran Negara
Tentu, fakta-fakta tentang kiprah NU yang belum diketahui komedian Pandji atau warga-net karena tidak ada di medsos itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan FPI yang dideklarasikan pada tahun 1998 atau 20 tahun, sedangkan HTI baru terdaftar di Kesbangpol Kemendagri tahun 2006 atau 12 tahun.
Apalagi, fakta sejarah mencatat sebelum dilahirkan pada 1926 itu, NU sudah memiliki peran kemasyarakatan, karena beberapa tahun sebelum kelahirannya sudah ada pertemuan para ulama NU di Langgar Gipo, Langgar Pondok Kebondalem GG VII (KH Dahlan Achyat), dan Langgar H Muso Kertopaten (mertua KH Wahab Chasbullah), jadi peran FPI-HTI itu sesungguhnya "tidak selevel" bila dibandingkan NU atau Muhammadiyah yang usianya "Seabad" itu.
"Saya sebenarnya mengingatkan, menyentil dan menyinggung rasa superioritas yang mengendap dalam jiwa sebagian aktivis FPI dan HTI. Endapan perasaan superior menjadi sedimen sikap keras, campuran dari semangat keagamaan yang meluap-luap, namun tidak diiringi dengan semangat pencari ilmu yang menggebu-gebu dan disiplin adab yang longgar, sehingga 'agama' menjadi bencana daripada solusi," kata pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, Ayik Heriansyah.
Sebagai fungsionaris NU yang memiliki pengalaman dengan HTI, ia menilai masalah dasar yang dialami para aktivis FPI dan HTI yang dapat disimpulkan pada suatu krisis adalah kehilangan adab (the loss of adab). Hilangnya adab menyiratkan hilangnya keadilan, yang pada gilirannya menampakkan kebingungan atau kekeliruan dalam ilmu.
"Dalam hubungannya dengan masyarakat dan umat, kebingungan dalam ilmu tentang Islam dan pandangan alam (worldview) Islam menciptakan keadaan yang memungkinkan pemimpin-pemimpin palsu muncul dan berkembang serta menimbulkan ketidakadilan," katannya. (Islam dan Sekulerisme, 2010: 131-132).
Menyamakan NU dengan FPI dan HTI, tentu saja tidak adil. Apalagi, menganggap NU sebagai ormas baru, lalu seenaknya bersikap "kurang ajar" kepada NU adalah perbuatan biadab. "NU itu ormas sepuh. NU menyimpan segudang pengalaman, ilmu dan hikmah. Mengakui semua ini membutuhkan keikhlasan dan kejujuran tingkat 'dewa'. Ikhlas dan jujur merupakan adab batiniah paling asasi bagi pembela Islam. Adab ini juga menjadi wadah bagi ilmu dan orang berilmu," katanya.
Sebaliknya, ada fakta tentang FPI yang justru mencoreng "marwah" Islam dan belum diketahui orang sekaliber komedian Pandji. "Sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme, bahkan 29 diantaranya sudah dijatuhi sanksi pidana," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar di Kemenkopolhukam, Jakarta(30/12/2020).
Selain tindak terorisme, terdapat 206 anggota FPI yang terlibat tindak pidana umum. "Dari jumlah tersebut 100 diantaranya telah dijatuhi pidana," ujar Omar. Fakta lain, aktivitas FPI juga mengganggu ketertiban, karena anggota FPI sering melakukan sweeping/razia yang sebenarnya menjadi wewenang penegak hukum.
Baca juga: Pengamat: Polri harus ungkap dana asing yang masuk ke FPI
Belum lagi, temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa ada transaksi lintas negara dalam rekening milik orang-orang yang terafiliasi dengan ormas FPI. Bahkan, ketika penelusuran secara digital semakin ketat, maka jalur non digital digunakan bertransaksi, seperti temuan uang dari kotak amal untuk mendanai kegiatan teroris. Di sinilah, kehadiran negara dalam memantau gerak ormas radikal itu menjadi sangat strategis.
Sementara HTI merupakan ormas yang suka promosi Khilafah, padahal data sejarah dalam berbagai kitab tarikh Islam (dalam buku "Islam Yes, Khilafah No?" karya Prof Nadirsyah Hosen) justru menjelaskan Khilafah Umayyah, Abbassiyah, dan dinasti lain menunjukkan jejak berbagai perilaku pemimpin yang baik, adil, terdidik, urakan peminum, sadis, raja tega, nepotisme, dan pergantian kepemimpinannya berujung pada pertumpahan darah. Itulah jejak Khilafah dalam sejarah.
Di luar fakta hukum itu, ada fakta lain terkait persepsi keagamaan dari FPI/HTI yang juga mencoreng "marwah" Islam. Hal itu diungkap ulama NU KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dengan menarik garis pembeda antara FPI/HTI dengan NU. Intinya, NU itu mementingkan Islam dalam persepsi substansial, sedangkan FPI/HTI mementingkan Islam dalam persepsi formalitas.
"NU beda dengan FPI (HTI), karena NU itu mementingkan hal-hal mendasar seperti shalat itu bisa dengan mudah dilaksanakan. Bagi NU, bisa shalat dengan bebas itu sudah cukup, karena formalitas dengan Negara Islam justru mengundang perpecahan umat, padahal shalat yang lebih diutamakan," kata Gus Baha' yang juga salah seorang anggota jajaran Syuriah PBNU itu dalam akun YouTube-nya.
Ulama ahli tafsir Alquran asal Rembang, Jawa Tengah itu justru mengajak umat untuk melihat "globalisasi" dakwah agama. "Kalau kita jahat kepada pemeluk agama minoritas di Indonesia, maka secara global akan bisa dibalas oleh pemeluk agama lain di negara di mana Islam menjadi minoritas, misalnya di Barat," katanya.
Jadi, NU berperan penting dalam memandang agama dalam "jejak" Rasulullah, diantaranya mengajarkan substansi/intisari agama lebih penting daripada formalitas/simbol, akhlak lebih utama daripada teori agama, kekufuran non-Islam itu dibenci tapi kemanusiaannya dihargai, perbedaan/demokrasi itu bukan dianggap musuh tapi dijadikan unsur saling hormat, akomodatif terhadap budaya lokal untuk mengembangkan konsep Islam rahmatan lil alamin (ramah, bukan marah), seimbang dalam dunia-akhirat (lahir-batin, hak-kewajiban, pikir-zikir), serta moderat dan bertanya kepada ahlinya dalam agama.
Baca juga: PBNU: Pemerintah bubarkan FPI bukan berarti anti-ormas Islam
"Ibarat buruh, buat apa kita bekerja pada perusahaan milik orang Islam yang ternyata urusan shalat menjadi ribet, tentu lebih baik menjadi buruh dari orang non-Islam tapi mempermudah kita dalam shalat. Jadi, kita pilih substansi yang lebih bermanfaat untuk agama dan tidak menjadi masalah di tengah masyarakat," kata Gus Baha' memberikan contoh.