Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Lonceng itu berbunyi, tanda dimulainya pelaksanaan ujian nasional (UN) bagi siswa sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) yang dilaksanakan serentak secara nasional hari Senin, 16 April lalu.
Siswa yang mengenakan pakaian seragam putih-abu-abu secara tertib duduk di bangku masing-masing, sementara guru pengawas siap membagikan soal ujian kepada seluruh anak didik dalam ruangan itu.
Pelaksanaan UN yang melibatkan instansi terkait, termasuk pihak kepolisian untuk mengamankan soal-soal ujian, sebagai upaya menghindari terjadinya kebocoran, kali ini jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya, tutur pengamat masalah pendidikan di Bali, Prof Dr Sri Darma.
Prof Sri Darma yang juga Rektor Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar itu menilai, pelaksanaan UN kali ini semakin baik, namun belum sempurna sesuai harapan, karena masih saja ada laporan, anak didik tidak kebagian soal akibat kekurangan, sehingga harus digandakan terlebih dulu.
Namun permasalahan yang timbul tidak begitu serius, karena sudah dapat diatasi dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Sementara tahun-tahun sebelumnya ketika awal dimulainya pelaksanaan UN secara nasional, banyak soal yang tertukar.
"Hal itu menunjukkan panitia pelaksana UN di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan sudah mulai baik, meskipun masih belum sesuai harapan," ujar Sri Darma.
Demikian pula kerja sama lintas instansi semakin baik, terbukti bupati, wali kota hingga gubernur melakukan kunjungan mendadak (sidak) ke sekolah-sekolah untuk melihat dari dekat pelaksanaan UN.
Semua pihak yang terlibat telah bekerja dengan penuh tanggung jawab, namun sasaran akhir yang ingin dicapai dari pelaksanaan UN masih belum tersentuh secara maksimal.
"Pelaksanaan UN secara nasional ingin meningkatkan standarisasi mutu pendidikan di tanah air, bukan semata-hari meraih prestasi tertinggi," ujar Prof Sri Darma
Baru 70 persen
Prof Sri Darma menambahkan, kepercayaan terhadap kelulusan UN mulai dari tingkat sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) di Indonesia baru rata-rata sekitar 70 persen.
Hal itu akibat pelaksanaan UN lebih menekankan pada perolehan nilai, dengan harapan siswa dari seluruh sekolah bisa lulus 100 persen, padahal harapan dari siswa, guru pengajar maupun orang tua siswa itu adalah bersifat semu, karena anak didik hanya ingin meraih nilai tertinggi.
Padahal upaya untuk meraih nilai tertinggi itu tanpa diimbangi dengan melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik oleh guru maupun anak didik, serta pemerintah dan orang tua siswa dalam menyiapkan fasilitas pendidikan yang memadai.
Oleh sebab itu ke depan semua pihak harus menyadari, baik guru, siswa dan orang tua untuk melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik dalam aktivitas keseharian, bukan lagi mengejar nilai tertinggi dalam pelaksanaan UN.
Siswa maupun guru dalam melaksanakan aktivitas keseharian proses belajar mengajar harus didukung dengan fasilitas yang baik, disiapkan oleh masyarakat dan pemerintah.
Demikian pula siswa dalam kesehariannya belajar dengan baik serta guru melaksanakan tugas dan kewajibannya serta nilai evaluasi siswa dalam bidang bidang studi sehari-hari memperoleh nilai sempurna (tinggi).
Jika semua itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh siswa, guru, orang tua dan pemerintah tingkat kepercayaan terhadap kelulusan UN akan semakin baik di masa-masa mendatang.
Oleh sebab itu semua pihak harus menyadari bahwa, kelulusan dan memperoleh nilai tertinggi dalam UN tidak menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan di suatu daerah maupun secara nasional.
Lebih cerdas
Prof Dr Sri Darma mengungkapkan, tingkat kecerdasan, ketelitian dan kemauan mahasiswa dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi jauh lebih baik pada era 1990-an sebelum masa reformasi.
Lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) yang melanjutkan ke perguruan tinggi tahun 2000-an sesudah masa reformasi dari segi mutu kemampuan intelektual mengalami kemerosotan.
Semua itu mempunyai kaitan erat dengan cara pandang siswa, bahwa jenjang pendidikan yang ditempuhnya dengan sasaran cepat lulus, tanpa memperhatikan mutu dan proses tahapan pendidikan yang ditekuninya.
Padahal proses pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan atas (SLTA) sangat ditentukan oleh aktivitas belajar mengajar sehari-hari, bukan hanya nilai tertinggi dalam pelaksanaan UN.
Proses pendidikan dalam berbagai jenjang pendidikan yang dihasilkan, mutunya jauh lebih baik pada era sebelum reformasi, dibanding setelah reformasi.
Bahkan dalam beberapa tahun belakangan dengan adanya pelaksanaan UN, semua pihak mulai dari siswa, masyarakat dan guru hanya mengejar untuk meraih nilai tertinggi dan persentase kelulusan 100 persen.
Kelulusan siswa ditentukan oleh beberapa faktor, meliputi nilai yang diperoleh dalam hasil evaluasi pelajaran sehari-hari, perolehan nilai semesteran dan nilai saat UN.
Nilai rata-rata penggabungan itulah yang menentukan kelulusan UN, bukan hanya ditentukan oleh pelaksanaan UN. Oleh sebab itu pelaksanaan proses belajar mengajar dalam aktivitas keseharian harus dapat dilaksanakan dengan baik, termasuk guru dapat melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari, harap Prof Sri Darma.
Peserta UN di Bali dari ketiga jenjang pendidikan sebanyak 174.778 orang berlangsung serentak secara nasional 16 April hingga 16 Mei 2012. Mereka terdiri atas SD/MI 70.016 orang, SDLB 48 orang, SMP/MTs 59.068 orang, SMPLB 36 orang, SMA/MA 25.242 orang, SMALB 22 orang dan SMK 20.346 orang.(IGT)