Jembrana (ANTARA) - Gubernur Bali Wayan Koster mengajak dan Bupati/Wali Kota se-Bali untuk membebaskan daerah setempat dari tengkulak dan memperhatikan nasib petani dengan memberikan kepastian harga dan menyediakan pasarnya, apalagi di tengah pandemi COVID-19
"Sekaranglah momentum yang tepat menyeimbangkan sektor pertanian, pariwisata dengan industri branding Bali. Caranya, kita tangani lebih serius dan lebih terarah. Hasil produksi gabah yang sebelumnya diambil oleh tengkulak, harus dikendalikan sekarang," kata Koster saat melepas Ekspor Biji Kakao Fermentasi Bali khas Jembrana ini ke Jepang di Subak Abian Dwi Mekar, Desa Poh Santen, Jembrana, Kamis.
Koster mengatakan di Jembrana masih ada tengkulak yang mengambil gabah, sehingga hal ini jangan terjadi lagi dan harus berpkir progresif, dengan tidak menjual gabah ke tempat lain atau keluar, karena setelah menjadi beras, maka mereka akan bisa kembali menjualnya ke Bali.
"Padahal, kita di Bali memiliki potensi untuk memproduksi gabah itu menjadi beras, dan kalau ini serius kita lakukan, maka masyarakat Bali tidak akan kehilangan pekerjaan dan kehilangan ekonomi," ucapnya, didampingi Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati di hadapan Bupati Jembrana, I Putu Artha, Wakil Bupati I Made Kembang Hartawan, anggota DPR-RI Komisi IV Made Urip, Sekda Bali Dewa Made Indra dan sebagainya.
Baca juga: BI Bali dorong kakao Jembrana jadi primadona ekspor
Gubernur Bali juga menegaskan kita wajib memberikan untung kepada petani, jangan merugikan petani. Untuk mewujudkannya, penanganan bantuan petani ini akan dibantu di hilir pada tahun 2021.
Sebelum menunggu tahun 2021, Gubernur Bali, Wayan Koster telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Gubernur Nomor 15036 Tahun 2020 tentang Pasar Gotong Royong Krama Bali sebagai upaya terobosan untuk mengatasi kendala pemasaran yang dihadapi petani, nelayan, perajin, dan pelaku usaha mikro kecil & menengah (UMKM) di tengah pandemi COVID-19.
"Keberadaan petani di situasi pandemi COVID-19 adalah pejuang ketahanan pangan Bali yang tidak pernah mengenal waktu, namun kondisinya tertinggal. Sangat tertinggal dunia pertanian kita, belum lagi ada petani kita yang ngambek, karena tidak diberikan kepastian harga," ucapnya.
Menurut Koster, petani kita sudah capek-capek mencangkul, memberikan pupuk, merawat hasil pertaniannya, dan memanen, namun tidak laku hasil panennya.
Baca juga: Jembrana miliki desa devisa sektor kakao
Dia menilai Bali selama ini terlalu asyik di pembangunan pariwisata, sampai kita meninggalkan unsur utama perekonomian Bali yang terkenal akan budaya agraris (pertanian).
Padahal pertanian Bali telah membuktikan diri sebagai salah satu sektor unggulan di Pulau Dewata yang tetap bertahan ketika Bali kehilangan wisatawannya akibat peristiwa Bom Bali, dan pandemi COVID-19 melanda Bali dan seluruh dunia.