Jakarta (ANTARA) - Sejak diumumkannya perang terbuka menghadapi Covid-19 (virus corona baru) pada tanggal 20 Januari 2020, Presiden China Xi Jinping mengerahkan segala kekuatan dan potensi negaranya.
Tiga hari kemudian, Kota Wuhan "dikorbankan" agar sebaran wabah pnuemonia akibat Covid-19 yang diduga berujung pangkal di pasar hewan di Distrik Huanan tidak makin meluas.
Tak peduli Ibu Kota Provinsi Hubei itu memiliki produk domestik bruto (GDP) hingga 224,28 miliar dolar AS, bahkan terbesar kedelapan di China.
Torehan sejumlah prestasi internasional atas kesuksesannya sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Militer Dunia (7th CIMS Military World Games), Kejuaraan Tenis Putri WTA, dan sederet pergelaran olahraga dunia lainnya diabaikan.
Sekitar 11 juta jiwa warganya dan mungkin jutaan warga negara asing yang berada di wilayah tengah daratan Tiongkok itu juga dibiarkan terkurung.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak menampik jika penutupan akses ke Wuhan dan kota-kota lain di Hubei berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia.
Namun, demi alasan perlindungan kesehatan umat manusia secara menyeluruh di berbagai penjuru dunia maka hal-hal yang menyangkut HAM untuk sementara dikesampingkan.
Dan, yang bisa melakukan hal sedemikian rigid-nya itu hanya China karena memang sistem pemerintahan republik sosialis dengan kekuasaan partai tunggal tersebut sangat mendukung.
Bukan hanya Wuhan, beberapa kota lain di China, khususnya yang perannya sangat vital dan strategis secara ekonomi dan politik, seperti Shanghai dan Beijing, juga tidak luput dari perhatian.
Memang tidak sampai dilumpuhkan (lockdown) seperti Wuhan, namun bentuk perlindungan terhadap warga Shanghai dan Beijing terbilang super ketat.
Shanghai sejak 7 Februari lalu telah meluncurkan daftar hitam yang berisi nama-nama warga yang tidak mematuhi protokol pengendalian dan pencegahan Covid-19.
Kebijakan yang juga diadopsi oleh Pemerintah Kota Xiangyang, Provinsi Hubei, itu mencakup pencabutan subsidi, penghentian fasilitas kebutuhan sehari-hari yang memadai, penutupan akses perbankan, dan penghentian layanan transportasi publik, khususnya pesawat dan kereta api cepat.
Baca juga: Konsul China : Tingkat kematian COVID-19 di Tiongkok sudah terkendali
Hukuman mati
Parahnya lagi warga yang namanya masuk dalam daftar hitam itu juga tidak mendapatkan akses jaminan sosial dan bekerja di instansi publik.
Bahkan otoritas China tidak segan-segan menghukum mati orang yang menentang perang Covid-19 seperti yang menimpa seorang pria di Provinsi Yunnan.
Ma Jianquo (24), warga Desa Luomeng, Kabupaten Honghe Hani dan Yi, tinggal menunggu ajal setelah pengadilan tingkat banding setempat memperberat putusan pengadilan tingkat pertama.
Kasus itu bermula pada 5 Februari saat pemerintah kabupaten setempat mengeluarkan instruksi agar setiap desa di wilayah barat laut China itu memasang barikade guna mencegah meluasnya wabah Covid-19.
Sehari kemudian Ma bersama seorang warga lainnya mengendarai mobil lalu menerobos barikade tersebut.
Aksi ugal-ugalan Ma itu direkam oleh petugas pos penjagaan, Zhang Guizhou, dengan menggunakan telepon selularnya.
Ma marah, terjadilah pertengkaran yang berbuntut penikaman terhadap Zhang hingga tewas. Seorang petugas patroli lainnya, Li Guomin, yang mencoba melerai juga mati bersimbah darah oleh sasaran amukan Ma yang membabi buta itu.
Dalam sidang di pengadilan tingkat pertama, Ma hanya dikenai hukuman penjara dalam masa tertentu akibat perbuatan yang disengaja hingga hilangnya nyawa orang lain.
Dalam KUHP Republik Rakyat China, hukuman dalam waktu tertentu dijatuhkan kepada terdakwa berdasarkan ringan atau beratnya tindak pidana dengan masa hukuman tidak boleh kurang dari 12 bulan dan tidak boleh lebih dari 12 tahun. Namun, jika pelaku melakukan kejahatan berulang kali, maka dapat ditambah 25 tahun lagi asalkan total masa hukuman tidak lebih dari 35 tahun.
Hukuman Ma diperberat menjadi vonis mati karena sebelumnya terdakwa telah melakukan kejahatan lain dalam kurun waktu selama lima tahun terakhir, demikian salinan putusan majelis hakim yang beredar di kalangan media setempat pada 1 Maret.
Baca juga: Konjen China siap bantu promosikan Pariwisata Bali lewat medsos
Reward-Punishment
"Kalau Xi Jinping sudah turun tangan, maka tidak akan lama lagi virus bisa dikendalikan," demikian sebuah pesan singkat yang diterima ANTARA beberapa hari setelah inspeksi mendadak Xi di sebuah fasilitas kesehatan di Distrik Chaoyang, Beijing, pada 10 Februari 2020.
Melalui kekuasaan tangan besinya, Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (CPC) itu tidak segan-segan menjatuhkan hukuman terhadap siapa saja yang menentang kebijakannya tanpa pandang bulu.
Tiga hari berselang, jajaran pejabat daerah termasuk pengurus CPC di Kota Wuhan dan Provinsi Hubei dirombak total.
Wali Kota Shanghai Ying Yong ditunjuk sebagai Sekretaris CPC Provinsi Hubei menggantikan Jiang Chaoling. Sekretaris merupakan jabatan tertinggi partai di berbagai level kepengurusan.
Masih pada hari yang sama, Sekretaris CPC Kota Jinan, Provinsi Shandong, Wang Zhonglin, diangkat menjadi pimpinan tertinggi partai itu di Kota Wuhan menggantikan Ma Guoqiang.
Ying dan Wang tercatat memiliki reputasi dan pengalaman panjang di bidang politik dan hukum di partai pemerintah tersebut.
Namun tidak ada informasi yang pasti, ke mana Jiang dan Ma selepas dari jabatan tertinggi partai di daerah episentrum Covid-19 itu.
Sejak wabah mematikan itu berjangkit, pemerintah pusat di Beijing telah mengirimkan tim inspeksi untuk memandu upaya pengendalian di Provinsi Hubei.
Beberapa pejabat dan pengurus partai di daerah itu diinterogasi dan dikenai sanksi hukum atas kegagalannya dalam menjalankan tugas pencegahan dan pengendalian wabah penyakit.
Sekretaris Komisi Politik dan Hukum Komite Sentral CPC Chen Yixin dipulangkan ke Provinsi Hubei untuk mengisi jabatan wakil ketua tim pencegahan dan pengendalian penyakit menular bentukan pemerintah pusat per 10 Februari 2020.
Chen pernah menjabat Wakil Sekretaris CPC Provinsi Hubei dan Sekretaris CPC Kota Wuhan selama periode Desember 2016-Maret 2018 sebelum mendapatkan posisi strategis di kesekjenan.
Sementara mantan Wakil Kepala Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) Wang Hesheng telah ditunjuk sebagai Direktur Komisi Kesehatan Provinsi Hubei.
Berikutnya, Wali Kota Dali, Provinsi Yunnan, Du Shugan, dan wakilnya Lou Zenghui dicopot dari jabatannya karena dianggap menghambat pengiriman masker.
Pemecatan juga dilakukan terhadap Ketua CPC Cabang Kota Dali Gao Zhihong sebagaimana keputusan Komisi Disiplin CPC Wilayah Provinsi Yunnan yang berkantor di Kota Kunming pada 24 Februari.
Dua pengurus CPC Kota Dali dan tiga pengurus di bawahnya dikenai sanksi peringatan keras dari internal partai penguasa di China itu.
Beberapa paket masker yang hendak dikirim ke Kota Chongqing (kota setingkat provinsi yang bertetangga dengan Provinsi Yunnan) dicegat oleh para pelaku saat transit di Kota Dali.
Kemudian di Beijing terdapat empat instansi pemerintahan dimintai pertanggungjawaban atas penyusupan pasien positif Covid-19 dari Wuhan.
Keempat instansi itu adalah kepolisian lalu lintas jalan raya, kantor kecamatan Chongwai, Pusat Pengendalian Penyakit Menular (CDC) Beijing, dan pengelola apartemen.
Baca juga: Gubernur : Program "We Love Bali Movement" buktikan ketangguhan Bali
Huang yang melenggang
Tentu Beijing tidak sendirian karena pelarian seorang perempuan bermarga Huang (64) itu tidak terlepas dari keteledoran otoritas di Provinsi Hubei.
Sembilan pejabat di provinsi itu tidak bisa lolos dari kejaran aparat penegak disiplin China terkait kasus tersebut.
Tim investigasi gabungan di bawah koordinasi Kementerian Kehakiman China tidak memerinci nama kesembilan pejabat tersebut.
Media resmi di China hanya menyebutkan dua dari sembilan pejabat itu adalah Kepala Departemen Kehakiman Provinsi Hubei Tan Xianzhen dan Kepala Biro Pemasyarakatan setempat Hao Aimin.
Huang yang dinyatakan positif terinfeksi Covid-19 dengan leluasa melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi bersama keluarganya ke Beijing begitu bebas dari penjara di Kota Wuhan, Provinsi Hubei.
Pihak Lembaga Pemasyarakatan Wuhan jelas mengetahui kalau Huang punya riwayat kontak langsung dengan penderita Covid-19 karena menunjukkan gejala demam.
Namun, pihak Lapas tidak melapor kepada otoritas karantina agar yang bersangkutan dikarantina terlebih dulu selama 14 hari setelah bebas dari penjara.
Anehnya, Lapas menghubungi keluarga terpidana di Beijing agar membantunya meninggalkan Wuhan yang diisolasi sejak 23 Januari 2020.
Dari hasil investigasi Kementerian Kehakiman China terungkap pula bahwa Huang dibebaskan pada 17 Februari setelah menjalani penahanan selama 10 tahun atas kasus suap di Biro Konservasi Air Kabupaten Xuan’en, Hubei.
Sebelumnya, kedua anak Huang tidak diizinkan menjemput ibunya lantaran semua akses transportasi menuju Wuhan ditutup.
Pihak Lapas berinisiatif memerintahkan Huang menjalani karantina di dalam kompleks penjara selama 14 hari.
Namun, dalam tempo empat hari pada 13-17 Februari, suhu badan Huang relatif stabil dengan rata-rata 37,3 derajat Celcius.
Belum genap 14 hari, Lapas sudah mengontak kedua anak Huang bahwa permintaan pulang disetujui.
Keluarga Huang menindaklanjutinya dengan menghubungi CDC Beijing untuk menanyakan kemungkinan berkendara dari Wuhan yang dijawab oleh petugas operator telepon bahwa jika sudah mendapat izin dari Wuhan, maka tidak diperlukan pemeriksaan di jalan raya.
Memang Huang bersama kedua anaknya diperiksa suhu badan di pos pemeriksaan jalan raya ruas Daqing-Guangzhou, tapi sayang petugas tidak mencatat nama ketiganya.
Parahnya, saat memasuki kompleks permukiman Xinyijiayuan, Distrik Dongcheng, Beijing, pada 22 Februari pukul 02.00 waktu setempat (01.00 WIB), Huang dan kedua anaknya tidak dicek suhu tubuhnya.
Baru dua hari kemudian dia memeriksakan diri karena flu yang tak kunjung sembuh.
Baca juga: Corona luar biasa, tapi tak seberbahaya SARS-MERS-CoV
Apresiasi muslim China
Di balik fakta-fakta menyedihkan tersebut ternyata masih ada hal-hal menggembirakan yang menyertai optimisme kemenangan melawan wabah yang hingga 6 Maret telah merenggut 3.045 nyawa warga China itu.
Sejumlah warga Shanghai dan Xiangyang mendapatkan penghargaan dari pemerintah atas partisipasinya dalam melawan virus tersebut.
Penghargaan berupa insentif dan keistimewaan dalam mengakses pelayanan publik juga diberikan kepada para petugas medis, tenaga sukarelawan, dan donatur.
Sertifikat penghargaan juga didapat para pengurus masjid dan komunitas Muslim di China atas partisipasinya dalam menghimpun dana pemberantasan Covid-19.
"Kami bersama seluruh umat Islam di seluruh pelosok negeri ini memberikan perhatian dan dukungan penuh terhadap berbagai upaya pencegahan wabah penyakit di Provinsi Hubei," demikian pernyataan Asosiasi Islam China (CIA) di laman resminya pada 26 Februari setelah berhasil mengumpulkan dana sedikitnya 93,56 juta yuan atau sekitar Rp185,4 miliar.*
Pencabutan subsidi hingga hukuman mati di China dalam "perang" Covid-19
Sabtu, 7 Maret 2020 10:11 WIB