Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Hari perenungan dosa yang dikenal Umat Hindu sebagai Hari Syiwaratri atau Siwaratri, diperingari setiap 410 hari sekali.
Tahun ini jatuh pada hari ke-14 paruh gelap bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kepitu) 22-23 Januari 2012.
Kegiatan tersebut dipusatkan di Pura Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata yang akan dihadiri Gubernur Made Mangku Pastika dan kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tingkat Provinsi Bali berbaur dengan masyarakat mengikuti rangkaian hari Syiwaratri.
Perayaan Hari Syiwaratri umumnya akan berlangsung di setiap pura yang ada di masing-masing desa adat di Pulau Dewata.
Kegiatan ritual itu sekaligus bermakna mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa agar bangsa dan negara Indonesia terhindar dari bencana alam.
Mulai dari anak-anak, remaja dan orang tua dengan mengenakan busana adat khas Bali, nominasi putih-kuning melakukan rangkaian kegiatan ritual di Pura desa adat masing-masing, hingga dinihari sesuai tradisi yang diwarisi.
Umat dalam melaksanakan rangkaian kegiatan ritual tersebut melakukan "Jagra" yakni tidak tidur, makan maupun minum selama 36 jam, 22-23 Januari 2012 yang mengandung makna sangat mendalam, memburu kebaikan dan melakukan introspeksi diri.
Ketua Program Studi Pemandu wisata Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar I Ketut Sumadi M.Par berharap, melalui perayaan Syiwaratri umat dapat melakukan introspeksi diri mencari penyebab dan jalan keluar dari krisis global dengan menerapkan konsep "Karma Marga", yakni kerja keras dan penuh inovasi.
Aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual tersebut dapat mengendalikan diri dan hidup hemat dalam memenuhi keinginan pada kehidupan sehari-hari.
Jika keinginan tidak dapat dikendalikan kehidupan menjadi boros, padahal itu tidak sesuai kebutuhan.
Hal lain yang tidak kalah penting memberikan pengetahuan kepada umat manusia agar menyadari, bahwa dalam dirinya selalu ada "pertarungan" antara Dewi Sampad (sifat baik) dengan Asuri Sampad (sifat buruk).
Oleh sebab itu, sebaik-baiknya tingkah laku dan perbuatan manusia pasti pernah melakukan dosa (kesalahan) dalam kehidupannya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia pasti pernah berbuat yang baik (benar).
Menyadari hal itu, melalui perayaan Syiwaratri dimaksudkan mampu memberikan motivasi kepada setiap umat manusia, khususnya Hindu, agar sadar dan berusaha maksimal menghindari perbuatan dosa serta memperbanyak perbuatan dharma (kebaikan).
Manusia, menurut Ketut Sumadi yang alumnus Kajian Budaya Universitas Udayana, memang merasa sulit untuk menghindari perbuatan dosa, namun bagaimanapun telah melakukan kesalahan, tidak tertutup kemungkinan menemukan jalan untuk kembali sadar berbuat dharma.
Perayaan hari suci Syiwaratri sekaligus memotivasi manusia agar tidak berputusasa dalam menjalani kehidupan.
Pintu Dharma selalu terbuka lebar-lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya, ujar Ketut Semadi.
Lubdaka
Ilustrasi cerita Syiwaratri yang diuraikan dalam berbagai "Purana", seperti Skandapurana, Siwapurana, Garudapurana dan Padmapurana, semua bertemakan kebangkitan dan kesadaran akan perbuatan dosa yang pernah diperbuat untuk kembali munuju kebenaran (dharma).
Dalam cerita berbentuk kakawin (syair) "Siwaratrikalpa", menyebutkan, seorang pemburu bernama Lubdaka bersama keluarganya tinggal di puncak gunung (tempat dipujanya Dewa Siwa).
Pekerjaan si Lubdaka sehari-harinya adalah berburu binatang ke hutan, membunuh harimau, gajah, kera, badak serta semua binatang yang menghuni kawasan hutan.
Pada suatu hari yaitu saat "Pangelong ke-14 Kepitu (hari ke 14 bulan mati pada bulan ketujuh) yang kini dikenal dengan Syiwaratri, Lubdaka pagi hari sudah meninggalkan rumah untuk berburu ke tengah hutan.
Namun sehari penuh menelusuri hutan rimba dan lembah-lembah gunung, tak satu pun anak panah yang dilepaskan mengenai sasaran binatang buruan, bahkan jaraknya semakin jauh dari rumah tempat tinggal, matahari tenggelam menjelang malam.
Malam yang gelap itu, Lubdaka tidak berani pulang karena takut disergap binatang buas, kemudian menuju ke suatu telaga (kolam) dan di tepi telaga itulah Lubdaka istirahat sambil tetap waspada jangan-jangan ada binatang yang datang untuk minum air ke kolam.
Si Lubdaka takut sendirian tinggal di bawah pohon, lalu memanjat naik pohon kayu (titik tumpu untuk berdiri) pohon bila yang ada di pinggir kolam kebetulan dahannya menjulur ke atas telaga.
Di atas dahan pohon kayu "Bila" itulah si Lubdaka duduk merenungi perbuatannya, semalam suntuk tidak tidur, takut jatuh, guna menghilangkan rasa ngantuknya memetik daun pohon kemudian dijatuhkan ke dalam telaga.
Sambil memetik pohon daun Bila itulah Lubdaka menghitung-hitung perbuatan yang pernah dilakukannya semasa hidupnya.
Tidak terduga olehnya. di dalam telaga itu terdapat sebuah Lingga (tempat pemujaan) yang semula tidak diketahui keberadaannya oleh si Lubdaka.
Lingga tersebut merupakan permukaan Dewa Siwa atau perwujudan lambang Siwa.
Pekerjaan memetik-metik daun pohon Bila itu dilakukann semalam suntuk hingga pagi keesokan harinya, sehingga tidak tidur semalam suntuk.
Keesokan harinya si Lubdaka pulang dengan tangan hampa, karena tidak seekorpun memperoleh binatang buruan.
Sesampainya di rumah dia disambut oleh anak dan isterinya.
Pada suatu ketika si Lubdaka jatuh sakit. sakitnya semakin parah dan akhirnya meninggal dunia. "Atma" (jiwa) Lubdaka mengalami kebingungan dan kegelapan, karena semasa hidupnya banyak membunuh binatang.
Dewa Siwa (KBBI=Syiwa) mengetahui hal itu dan mengenal pemburu Lubdaka tersebut karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan pada "Malam Siwa".
Akhirnya Dewa Siwa mengutus abdinya menyambut "Atma" si Lubdaka untuk dibawa ke "Siwaloka" (sorga), saat bersamaan datang pula laskar Dewa Yamadipati sebagai penguasa neraka.
Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan hebat antara laskar Dewa Siwa dengan laskar Yamadipati memperebutkan atma si Lubdaka.
Dalam peperangan tersebut laskar Dewa Siwalah yang menang dan Atma si Lubdaka dibawa ke Siwaloka (sorga diberikan tempat yang baik).
"Oleh sebab itu umat Hindu hingga sekarang mempercayai perayaan Hari Syiwaratri untuk perenungan dosa, agar tidak mengulangi perbuatan serupa," ujar Ketut Sumadi.(T007)
Perayaan Siwaratri Buru Kebaikan
Sabtu, 21 Januari 2012 17:40 WIB