Oleh I Ketut Sutika
Kepiawaian dan kharisma di atas pentas merupakan modal bagi I Gusti Putu Mungkreg (67) dalam melakoni peran sebagai punakawan dengan panggilan Gangsar.
Dia berpasangan dengan temannya, Komang Apel, dalam sekaa drama gong Putra Jenggala Banjar Bindu, Desa Mekar Bhuana, Abiansemal, Kabupaten Badung.
Pria kelahiran Banjar Bindu, Mekar Buana, Abiansemal, 31 Desember 1944 itu memang mewarisi darah seni. Dalam penampilannya itu setiap gerak dan ucapannya penuh daya humor, sehingga mampu mengundang gelak tawa penonton hingga pementasan berakhir pada pagi hari.
Pementasan seni drama gong merupakan salah satu jenis kesenian trdisional Bali yang pernah menjadi primadona Pesta Kesenian Bali (PKB).
Kreasi baru hasil kolaborasi dari hampir semua jenis kesenian, termasuk seni musik yang menonjolkan lelucon itu menjadikan sosok I Gusti Putu Mungkreg cukup dikenal secara luas di kalangan masyarakat Pulau Dewata pada era 1970-1985.
Ayah dari empat putri itu selalu tampil bersahaja. Semangat berkeseniannya tidak pernah pudar, bahkan noleh dikatakan tidak ada yang menandinginya. Upaya itu dilakukan dengan memahami dan memiliki kemampuan tentang pementasan dunia seni, khususnya drama gong.
Sosok seniman serba bisa itu memiliki modal keahlian dalam mementaskan berbagai jenis tabuh dan tari Bali, sehingga cukup mudah baginya untuk menarik perhatian penonton.
Ayah dari Gusti Ayu Rumasni, SE, I Gusti Ayu Mastrini, I Gusti Ayu Yudiani dan Gusti Ayu Nuriyati itu bergelut dalam seni drama sejak 1968, dengan berpentas ke berbagai pelosok pedesaan di Pulau Bali, dan beberapa kali pernah di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selain itu, dia juga pernah bergabung dalam pementasan drama gong Ksatria Swastika Budaya (KSB) pimpinan Cok Bagus Suyoga, ayah kandung dari Wakil Gubernur Bali AAN Puspayota selama tiga tahun periode 1973-1975.
Dia juga pernah memperkuat drama Dewan Kesenian Denpasar (DKD) pimpinan Brata Subawa selama sepuluh tahun, 1980-1990 dan bergabung dengan drama gong Bali Dwipa dari tahun 1991-2004.
Bahkan, sampai sekarang dia masih aktif dalam pementasan kesenian prembon, bondres, calonarang, topeng, parwa dan basur.
Banyak penggemar, bukan semata-mata karena kepintaran pentas di atas panggung, namun merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, karena awalnya pentas suatu keterpaksaan, meskipun akhirnya menemukan kesenangan, katanya.
Masa kejayaan
I Gusti Putu Mungkreg lewat pementasan di berbagai pelosok Pulau Dewata itu mampu menjadikan dirinya sebagai sosok yang dikenal masyarakat luas, bahkan pernah mengalami masa kejayaannya antara tahun 1970-1980 bersama grup drama gongnya.
Ia mendapat pesanan pentas hampir setiap malam untuk menghibur masyarakat di berbagai plosok desa, bahkan sampai kewalahan, karena jadwal pentasnya sangat padat.
Selain pentas untuk menghibur masyarakat, dia juga menerima banyak pesanan untuk membina dan melatih sekaa Drama Gong di berbagai tempat di Bali, dan semua permintaan itu dapat dipenuhinya agar tidak mengecewakan masyarakat.
Dalam perjalanan waktu itulah, I Gusti Putu Mungkreg menggeluti aktivitas sebagai seniman drama gong, tanpa mengenyampingkan tugasnya dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Drama gong merupakan kesenian kreasi baru hasil kolaborasi dari hampir semua jenis kesenian yang berkembang di Pulau Dewata.
Bahkan setiap penmpilan pementasan, drama gong di arena PKB mendapat perhatian dari mayarakat, tidak kalah dengan kesenian kreasi baru lainnya, termasuk parade gong kebyar.
Sosok I Gusti Putu Mungkreg, seorang seniman andal itu ikut berperan serta dalam memberikan warga terhadap perkembangan seni drama di Bali. Berkat andil dan peranserta itu dia pernah mendapat penghargaan Seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali.(**)
Mungkrek Pancing Gelak Tawa Lewat Seni Drama
Senin, 31 Oktober 2011 19:14 WIB