Negara (Antaranews Bali) - Objek wisata kawasan Kelurahan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali tidak serta merta menjadi seperti sekarang, tapi melewati masa panjang yang tidak selalu mulus.
Sebelum tahun 2003, di lokasi yang kini berdiri Patung Mahadewa berikut taman yang tersambung ke objek wisata Teluk Gilimanuk, adalah kawasan kumuh dengan warung-warung bedeng di sekitarnya.
Menjadi rahasia umum, kala itu warung-warung bedeng semi permanen adalah tempat mangkal laki-laki hidung belang, dengan pelayan warung yang diduga kuat juga menjalankan praktek prostitusi.
Berlokasi di pintu keluar Pelabuhan Gilimanuk, sebutan "plengsengan" untuk kawasan ini cukup dikenal masyarakat Kabupaten Jembrana maupun luar daerah yang sering melintas, seperti dikenalnya kawasan prostitusi lainnya.
Sisi hitam kelam kawasan yang sekarang menjadi objek wisata andalan Pemerintah Kabupaten Jembrana ini berlangsung puluhan dan bahkan belasan tahun, yang seperti kawasan prostitusi lainnya, seolah-olah mereka akan terus berada di lokasi tersebut, meskipun sesekali ada penertiban dari aparat.
Titik balik "plengsengan" terjadi beberapa waktu setelah bom bali pada tahun 2002 meledak, yang dibarengi kesadaran intsitusi terkait termasuk Pemerintah Kabupaten Jembrana, bahwa mobilitas manusia, kendaraan dan barang yang masuk ke Bali harus diawasi, dan lokasi paling strategis serta efektif adalah di pintu keluar Pelabuhan Gilimanuk yang merupakan lintasan utama dari arah Pulau Jawa.
Berbekal strategi itu, pada tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Jembrana mulai menyosialisasikan pembersihan kawasan "plengsengan" karena akan dibangun pos pemeriksaan KTP. Seperti lazimnya penggusuran, perlawanan muncul dari pengelola warung-warung di kawasan tersebut, meskipun secara hukum tanah yang mereka tempati adalah milik negara.
Tarik ulur pembersihan kawasan ini sempat terjadi antara pemerintah dengan pedagang, yang dalam beberapa kesempatan nyaris ricuh, meskipun tidak sampai terjadi bentrok fisik.
Untuk mengakhiri keberadaan kawasan yang membuat pintu keluar Pelabuhan Gilimanuk yang juga menjadi pintu masuk Pulau Bali ini terkesan kumuh, Pemerintah Kabupaten Jembrana nekat mengerahkan ratusan Satpol PP dengan bantuan aparat keamanan lainnya membongkar ratusan warung yang ada di kawasan tersebut.
"Bukan hal yang mudah untuk membersihkan kawasan itu. Banyak kendala yang kami hadapi, karena pengelola warung merasa mereka juga memiliki hak untuk tetap tinggal disana," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jembrana Ketut Kariadi Erawan, yang saat itu menjabat sebagai Lurah Gilimanuk.
Sulitnya pemerintah untuk membersihkan kawasan "hitam" Gilimanuk ini, dianggap wajar oleh budayawan Jembrana DS Putra, yang menilai sama seperti daerah pelabuhan lainnya, masyarakat yang tinggal disana memiliki karakter keras dengan kultur sosial yang sama. Apalagi, keberadaan warung-warung di sekitar pelabuhan sudah berlangsung sangat lama, yang dalam banyak sisi turut mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat yang terkesan permisif dengan keberadaan kawasan tersebut.
"Tapi sebenarnya sama dengan manusia lainnya, pada intinya mereka ingin lingkungan sosial yang sehat jauh dari maksiat. Namun sebuah kawasan, meskipun dengan citra negatif, yang keberadaannya sudah sangat lama bisa membuat masyarakat setempat secara lahiriah menerimanya," katanya.
Penataan Objek Wisata
Setelah kawasan "plengsengan" bersih, Pemerintah Kabupaten Jembrana segera membangun pos pemeriksaan KTP yang diisi petugas gabungan dari Satpol PP, Dinas Kependudukan maupun unsur TNI dan Polri.
Saat itu, meskipun sudah ada, penataan masif terhadap kawasan Teluk Gilimanuk yang berada tepat di belakang pos tersebut belum dilakukan. Teluk Gilimanuk masih seperti apa adanya, meskipun pemerintah mulai memfasilitasi kelompok masyarakat untuk mengelola objek wisata tersebut. Fasilitas-fasilitas penunjang masih sangat minim, sehingga wisatawan yang datang hanya disuguhi sarana yang sederhana.
Potensi Teluk Gilimanuk sebagai objek wisata unggulan Kabupaten Jembrana sudah terlihat, namun belum dikelola dengan standar yang memadai.
Beberapa tahun belakangan, Pemerintah Kabupaten Jembrana membuat terobosan dengan memindahkan pos pemeriksaan KTP ke dalam Terminal Gilimanuk, dengan tujuan melakukan penataan total terhadap objek wisata tersebut.
"Kesan pertama yang harus ditampilkan adalah saat orang dari Jawa masuk ke Gilimanuk, mereka merasa sudah berada di Bali. Selama ini, karena suasana yang tidak mendukung, mereka baru merasa berada di Bali setelah jauh melintasi wilayah Kabupaten Jembrana," kata Wakil Bupati Jembrana I Made Kembang Hartawan, saat memaparkan rencana pembangunan Patung Mahadewa, yang akan menjadi ikon kawasan wisata tersebut.
Setelah Patung Mahadewa yang berdiri menjulang tinggi selesai, lokasi di sekitarnya dibangun taman tembus di pinggir jalan raya pintu keluar pelabuhan, yang membuat seluruh orang yang masuk Bali melihat kawasan tersebut.
Secara keseluruhan, Teluk Gilimanuk ditata total dengan penambahan berbagai fasilitas seperti areal parkir, dermaga kayu, warung kuliner serta fasilitas lainnya untuk membuat pengunjung nyaman di kawasan ini. Setelah lima belas tahun sejak pembersihan "plengsengan", wajah Gilimanuk sebagai pintu gerbang Bali berubah total.
"Secara sosial, pemerintah berhasil mengubah Gilimanuk dari kawasan dengan image negatif menjadi kawasan yang indah dengan objek wisatanya," kata DS Putra.
Namun, menurutnya, untuk mempertahankan kawasan itu sebagai objek wisata dengan iklim sosial yang positif hingga anak cucu, juga dibutuhkan kebijakan dan kearifan dari pemerintah setempat. Ia menilai, pengelolaan harus melibatkan masyarakat setempat, karena jika seluruhnya dilakukan pemerintah hal itu akan membuat kawasan ini kurang produktif, serta secara sosial tidak ada berpengaruh terhadap masyarakatnya.
"Jangan pemerintah mengambil semua. Partisipasi masyarakat setempat harus ditumbuhkan, karena perubahan perilaku sosial sangat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Ingat, kultur Gilimanuk sebenarnya sangat dinamis, yang jika strategi sosial dari pemerintah salah, bisa jadi kawasan itu akan kembali seperti zaman dulu," katanya.
Sebagai masyarakat Jembrana, ia mengatakan, kawasan Gilimanuk sangat menjanjikan sebagai objek wisata, dengan catatan pemerintah memiliki arah yang jelas untuk mengembangkan kawasan ini. Upaya komprehensif harus dilakukan, tidak cukup hanya membangun fasilitas wisata, tapi juga memperhatikan pemberdayaan masyarakat setempat yang berkaitan dengan kawasan ini.
Melihat wilayah Gilimanuk secara keseluruhan, apa yang disampaikan DS Putra benar adanya, karena potensi objek wisata di kawasan ini tidak hanya Teluk Gilimanuk dengan pemandangan bawah lautnya saja. Pulau-pulau kecil di Selat Bali, berikut hutan Taman Nasional Bali Barat juga menyimpan daya tarik wisata alam yang luar biasa. Wisatawan yang datang bisa menikmati beberapa objek wisata sekaligus saat datang ke Gilimanuk.
Bahkan, khusus untuk Teluk Gilimanuk, ada sejumlah objek wisata yang lokasinya berdekatan seperti hutan bakau dan Pantai Karangsewu. Meskipun sampai saat ini belum terealisasi, cita-cita Bupati Jembrana I Putu Artha untuk menyambungkan Teluk Gilimanuk dengan hutan bakau, museum manusia purba dan pantai Karangsewu, terus dirintis karena harus melibatkan Taman Nasional Bali Barat.
Informasi terakhir, pengembangan wilayah ini sebagai objek wisata direspons positif pihak Taman Nasional Bali Barat, dengan juga mempromosikan kawasan itu untuk kunjungan wisatawan.
Festival Teluk Gilimanuk
Promosi yang gencar juga dilakukan Pemerintah Kabupaten Jembrana, yang beberapa waktu lalu menggelar Festival Teluk Gilimanuk, yang menarik kehadiran ribuan pengunjung. Dalam festival ini, pengunjung dikenalkan dengan keindahan wisata Teluk Gilimanuk dan sekitarnya, kuliner khas Kabupaten Jembrana hingga keseruan lomba jukung.
Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Pariwisata Dan Budaya Jembrana I Nyoman Wenten mengatakan, cukup banyak wisatawan asing yang datang, termasuk mereka yang menginap di wilayah Kabupaten Buleleng. "Kami memang menggandeng banyak pihak, khususnya agen perjalanan pariwisata, untuk menginformasikan adanya festival Teluk Gilimanuk ini," katanya.
Harapannya, dengan melihat langsung objek wisata di ujung barat Kabupaten Jembrana ini, mereka akan datang lagi.
Agar terus bergaung di kalangan pecinta perjalanan wisata, ia mengungkapkan, festival ini akan rutin dilakukan, selain melakukan promosi lewat berbagai lembaga dan media termasuk media sosial. Karena masih bersifat promosi, menurutnya, pengunjung yang datang tidak dipungut biaya apapun termasuk ongkos parkir untuk kendaraan mereka.
"Ada kelompok masyarakat yang mengelola kawasan wisata ini, tapi mereka hanya menyewakan sampan atau alat selam kepada wisatawan. Untuk parkir, kami belum berpikir untuk memungut biaya dari pengunjung. Yang penting objek wisata ini dikenal dulu," katanya.
Sejumlah anggota kelompok masyarakat yang mengelola kawasan ini saat ditemui mengatakan, meskipun belum ramai, namun ada peningkatan pengunjung yang otomatis juga meningkatkan pendapatan mereka. Kepada pengunjung, mereka menawarkan perjalanan keliling Teluk Gilimanuk dengan melintasi sejumlah pulau kecil, dengan tarif sekitar Rp150 ribu untuk menyewa satu sampan.
Untuk memberikan keadilan bagi seluruh angggotanya, kelompok masyarakat ini menerapkan sistem bergiliran dalam membawa wisatawan berkeliling. Selain sampan, anggota lainnya ada yang mengelola penyewaan alat selam untuk diving di spot-spot dengan ekologi dan habitat ikan yang unik.
Hingga saat ini, jika dilihat sehari-hari, sasaran agar Teluk Gilimanuk menjadi kunjungan pertama wisatawan domestik dari arah Jawa yang masuk ke Bali sudah mulai terlihat, meskipun belum seluruhnya singgah.
Pengunjung yang rata-rata satu keluarga ini beristirahat sejenak, dengan beberapa diantaranya melakukan swafoto di dermaga kayu teluk. Dengan perjalanan yang masih panjang ke Denpasar, Teluk Gilimanuk menjadi oase untuk sejenak beristirahat.
Selain berkembang menjadi objek wisata, yang tidak kalah penting adalah terlihatnya perubahan wajah Gilimanuk dari kawasan yang kumuh saat keluar dari pelabuhan menjadi kawasan yang indah.
Dengan membangun objek wisata di lokasi ini, pemerintah juga sudah menyelamatkan masyarakatnya dari perilaku dan pergaulan negatif, yang jika dibiarkan akan mempengaruhi kualitas mental generasi-generasi selanjutnya. Meskipun berdekatan dengan pelabuhan, yang identik dengan kultur sosial yang keras, bukan berarti segala sesuatu yang bersifat negatif harus dibiarkan.
Dengan hilangnya lokasi-lokasi "hitam", suasana Kelurahan Gilimanuk sekarang terlihat lebih kondusif dan asri, karena pemerintah memandang wilayah ini sangat penting bagi citra Bali karena merupakan pintu gerbang utama pulau ini.
Dalam menata Gilimanuk, pemerintah tidak hanya melulu membangun fasilitas pariwisata, tapi juga sarana lainnya yang disesuaikan dengan Gilimanuk sebagai daerah lintasan kendaraan, orang dan barang. Namun pembangunan di luar objek wisata, diarahkan sebagai penunjang objek wisata, sehingga ada keterkaitan dari berbagai sarana yang ada di wilayah ini.
Jalan raya Denpasar-Gilimanuk di wilayah ini lebih diperlebar dengan penataan taman, pembangunan terminal barang yang juga menganut konsep keindahan, serta taman-taman kecil di beberapa titik adalah sebagian upaya Pemerintah Kabupaten Jembrana yang didasari keinginan kuat menghapus citra negatif Gilimanuk.
Hotel-hotel yang sudah ada sejak zaman dulu, juga mulai mengikuti arah dengan menyasar wisatawan dibandingkan pengunjung lokal, yang sudah terbukti saat Festival Teluk Gilimanuk seluruh kamar hotel di wilayah ini terisi penuh. "Dalam beberapa tahun terakhir, kunjungan wisatawan asing maupun domestik ke Gilimanuk terus meningkat. Kami optimis, wisatawan akan semakin ramai kesini," kata Wenten.
Dengan berbagai ikhtiar dalam bentuk sinergi pemerintah dengan masyarakat ini termasuk instansi lain seperti Taman Nasional Bali Barat, waktu yang akan menentukan, apakah kelak Gilimanuk benar-benar akan menjadi objek wisata unggulan Kabupaten Jembrana, yang menarik kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara. Yang jelas, wisata alam pantai, laut dan hutan dengan sensasi tersendiri ada di kawasan objek wisata Gilimanuk. (ed)