Denpasar (Antaranews Bali) - Mahasiswa Institut Seni Indonesia Denpasar membawakan garapan bertajuk "Bhisama" dalam ajang "Bali Mandara Nawanatya III" di Taman Budaya, Denpasar, dengan menghadirkan sosok pewayangan Tualen, sebagai penengah konflik dalam cerita.
"Kerap kali kita menemui perbedaan paham antara generasi tua dan muda baik dari alur berpikir maupun budayanya, sehingga sosok Tualen-lah yang nantinya akan memberi nasihat bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk bersatu," kata I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra, salah satu penggarap pementasan ISI Denpasar, disela-sela pementasan, Sabtu malam.
Pria yang akrab disapa Gus Bang menuturkan peran Tualen dalam pewayangan yang diketahui sebagai sosok yang bijak sangat cocok menjadi penasihat dalam konflik yang terjadi. Sedangkan para penampil sebagian besar berasal dari mahasiswa semester 1.
"Kami memberikan ruang dan kesempatan kepada mahasiswa semester 1 dulu untuk memberikan pengalaman, tetapi ada juga beberapa mahasiswa semester 5 dan 7 yang membantu," ucap Gus Bang.
Mahasiswa ISI Denpasar yang pentas pun berasal dari prodi pendidikan seni pertunjukkan dramatari yang menghadirkan kolaborasi drama tari dan musik.
Menjalani latihan sekitar 20 kali, mahasiswa ISI tampak bersemangat dalam menampilkan garapan dramatari. Kolaborasi gerakan tari modern dan tradisional sebagai sebuah penggambaran perbedaan budaya antara zaman dulu dengan sekarang. Saat terjadi pertengkaran antara golongan tua dan muda, sosok Tualen pun datang diakhir cerita sebagai pemberi petuah.
Sementara itu, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar yakni I Komang Sudirga mengungkapkan dirinya sangat mengapreasiasi pertunjukkan yang dilakoni anak didiknya. "Saya juga apresiasi antusiasme penonton yang cukup ramai," ujar Sudirga.
Sudirga berharap dengan adanya ruang kreativitas layaknya Nawanatya dapat menambah kerja sama sekaligus pengalaman untuk menciptakan garapan yang lebih baik dan tajam.
Sedangkan budayawan dan pengamat seni Prof Dr I Wayan Dibia tidak menampik bahwa setiap garapan memiliki nilai di dalamnya. "Pesannya memang terakhir bagus, tetapi di tengah itu terlalu dibuka rongganya besar. Sehingga penonton kelelahan menunggu apa pesan yang sebetulnya sudah bisa ditebak bahwa pesannya akan seperti itu, tetapi mengapa harus ditunda-tunda," ucapnya.
Hendaknya, lanjut dia, pementasan tersebut dapat menjadi sebuah cermin bagi ISI Denpasar untuk memperbaiki diri dan mengembalikan wajah ISI yang sejati.
ISI Denpasar bawakan "Bhisma" dalam "Nawanatya"
Minggu, 7 Oktober 2018 22:31 WIB