Berbagai benda sakral itu diusung ke pantai berjalan kaki dengan iringan alunan instrumen musik tradisional Bali (gong blaganjur) yang bertalu-talu, serangkaian Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1940.
Ribuan masyarakat dengan mengenakan busana adat Bali nominasi warna putih dan kuning itu ikut ambil bagian dalam kegiatan ritual tersebut yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara yang sedang menikmati liburan di Pulau Dewata.
Masyarakat Desa Pakraman Tembau, Kelurahan Penatih, Denpasar timur ikut melakukan ritual di Pantai Sanur yang berbaur dengan desa adat lainnya.
"Ritual melasti tersebut bertujuan menyucikan unsur-unsur `Bhuana Agung` atau alam semesta dan `Bhuana Alit` atau unsur dalam kasar (diri sendiri)," kata Ketua Desa Pakraman Tembau, Made Merta di sela-sela mengikuti kegiatan tersebut.
Kegiatan tersebut melibatkan seluruh warga setempat, termasuk mereka yang selama ini merantau di berbagai tempat di Bali maupun luar Bali.
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu di Bali telah menetapkan waktu tiga hari, 14-16 Maret 2018 bagi seluruh desa pekraman untuk melaksanakan Melasti.
Masing-masing desa pekraman dapat memilih salah satu dari tiga hari baik yang telah ditetapkan itu atau disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan (desa kala patra) desa adat bersangkutan.
Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi menjelaskan, kegiatan melasti itu dipimpin dan diatur oleh prajuru (pengurus) desa adat masing-masing, dengan menekankan ketertiban, kelancaran dan keamanan di jalan raya.
Melasti selain dilaksanakan ke pantai juga ada desa adat yang melakukan ke danau bagi masyarakat yang bermukim di pegunungan atau sumber mata air terdekat bagi desa adat yang jauh dari pantai maupun danau.
Ngurah Sudiana menambahkan, setelah "Melasti", masing-masing desa adat melakukan "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat masing-masing, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Jumat (16/3), sehari menjelang Nyepi.
"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.
Kegiatan ritual tersebut bermakna untuk meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama umat manusia dan manusia dengan lingkungan.
"Tawur Kesanga" itu berakhir pada petang hari dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna untuk menetralisir alam semesta.
Keesokan harinya, Sabtu (17/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1940 dengan melaksanakan "Catur Brata" Penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.
Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (amati lelanguan). (WDY)
Video oleh Krishna Arisudana