Amlapura (Antaranews Bali) - Ketua Harian Listibya Provinsi Bali Dr Nyoman Astita meminta masyarakat untuk turut aktif "memberantas" perkembangan kesenian "joged jaruh" dan tidak malah membiarkan jika sampai dipentaskan di lingkungan masing-masing.
"Masyarakat Bali seharusnya `jengah` dan ikut berperan aktif bersama-sama dengan pemerintah, perangkat desa, aparat penegak hukum dan pemangku kepentingan lainnya untuk memberantas joged jaruh (kesenian Joged yang dibawakan secara seronok)," kata Ketua Harian Majelis Pertimbangan Kebudayaan (Listibya) Bali saat menjadi pembicara dalam Pembinaan dan Pemantauan Kesenian Joged di Kabupaten Karangasem, Amlapura, Rabu.
Menurut Astita yang juga akademisi di ISI Denpasar itu, masyarakat Bali sudah merasa sangat dinistakan dengan tayangan video "joged jaruh" yang diviralkan dalam berbagai media sosial. Bahkan, pihak Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, sampai menolak duta kesenian Bali untuk mementaskan kesenian Joged Bumbung.
"Aksi joged jaruh yang berlindung di balik kebebasan berekspresi maupun dengan alasan kebutuhan ekonomi karena permintaan yang `ngupah` atau yang meminta untuk pentas, tidak setara dengan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap citra kesenian dan kebudayaan Bali, tidak saja di mata masyarakat Indonesia, bahkan dunia," ucapnya pada acara yang digagas oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali itu.
Bahkan, Astita mengkhawatirkan Joged Bumbung yang telah diinskripsikan sebagai satu dari sembilan kesenian yang telah diakui oleh UNESCO, statusnya bisa dicabut gara-gara perilaku oknum yang tidak bertanggung jawab mementaskan "joged jaruh".
"Selain itu, generasi muda juga seharusnya perlu disadarkan, jangan sampai `ngupah` joged dari luar daerah atau istilah `joged impor, yang sebenarnya tidak menguasai tarian Bali, namun menggunakan busana Joged Bumbung," ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali Jero Gede Suwena Putus Upadesha yang mengatakan perlunya upaya berkelanjutan dan komprehensif dalam "memerangi" Joged jaruh.
"Tidak hanya untuk kesenian joged, termasuk kesenian lainnya seperti Bondres yang mungkin secara tidak disadari juga menampilkan aksi pelecehan, terutama ketika seniman laki-laki yang membawakan peran perempuan," ucapnya.
Oleh karena itu, Jero Suwena mengajak jajaran "desa pakraman" atau desa adat agar lebih peduli jika sampai ada kesenian yang ditampilkan berpotensi mengotori kesenian Bali yang adiluhung.
"Yang cukup sulit diberantas juga tayangan joged jaruh secara `online`, dan ini perlu dilakukan upaya bersama-sama dengan memanfaatkan teknologi informasi," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Karangasem Putu Arnawa mengatakan sampai saat ini di kabupaten setempat memang belum ada "sekaa" atau sanggar dari daerah itu yang menampilkan "joged jaruh". Tetapi tidak dipungkiri sempat ada kelompok masyarakat yang mencari penari joged jaruh keluar daerah Karangasem.
"Karena disadari efeknya tidak bagus, ada beberapa desa yang sudah membuat perarem (kesepakatan adat tertulis) yang tidak mengizinkan penampilan kegiatan yang berbau erotis," ucapnya.
Selain itu, Arnawa menambahkan, ada juga kelompok pemuda setempat yang memang anti terhadap hal-hal yang dapat merusak kesenian dan budaya daerah.
Apalagi jika dilihat dari visi misi Bupati Karangasem dan tagline Karangasem "Spirit of Bali, Karangasem sebagai hulunya Bali, tentu mengedepankan nilai religius, sehingga nilai religius berpengaruh pada perilaku masyarakat. "Jadi, mari kita berkesenian sesuai pakem dan filosofi seni yang sebenarnya," ucapnya.
Acara Pembinaan dan Pemantauan Joged tersebut dihadiri unsur perwakilan PHDI, Majelis Desa Pakraman, para bendesa (pimpinan desa adat), hingga kalangan dari unsur TNI dan Polri. (WDY)