Denpasar (Antara Bali) - I Ketut Budiana (60), seniman yang sukses menggelar pameran seni lukis ke mancanegara, menerbitkan buku otobiografi dalam tiga bahasa, yakni Jepang, Inggris dan Indonesia.
"Buku tersebut sudah selesai digarap oleh dua penulis, masing-masing Agus Dharmawan dan John Catau, asal Prancis yang sejak beberapa tahun menetap di Bali," kata Ketut Budiana di Ubud, Jumat.
Ia mengatakan, naskah buku yang digarap dua penulis kawakan itu segera memasuki proses percetakan yang diharapkan bisa rampung dan akan diluncurkan saat menggelar pameran tunggal di Jakarta tahun 2012.
Buku yang menguraikan tentang proses berkesenian yang digelutinya sejak usia sekolah dasar itu, digarap secara apik dan profesional serta dicetak dengan kertas bermutu, sehingga mutu buku tidak kalah dengan buku-buku yang diterbitkan di negara-negara maju.
Hal itu dilakukan untuk mengimbangi pameran lukisan yang dilakukan ke sejumlah negara, khususnya ke Jepang yang dilakukan hampir setiap tahun, tutur pensiunan guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Batubulan, Gianyar.
Lukisan sentuhan tangan terampil Ketut Budiana selama ini banyak menjadi koleksi pencinta karya seni, kolektor, museum dan galeri di dalam maupun mancanegara.
"Buku dengan dicetak dengan tebal lebih dari 300 halaman itu diharapkan mampu memperkuat dan menambah kepercayaan terhadap karya-karya seni yang dihasilkan," harap Ketut Budiana yang terus beraktivitas dalam karya kanvas.
Sosok seniman andal kelahiran Padangtegal, perkampungan seniman Ubud, itu berasal dari keluarga berlatar belakang seni, karena orang tua dan kakeknya adalah seniman serba bisa, baik dalam bidang tabuh, tari Bali dan membuat patung.
Dalam proses berkreativitas yang digeluti lebih dari 50 tahun itu mampu menjadikan dirinya menjadi seorang seniman kanvas, mewakili dari hakekat ketimuran, seperti yang diungkapkan Dr Jean Couteau, pengamat seni rupa dan budaya Bali asal Prancis yang selama 22 tahun menetap di Bali.
Sosok Ketut Budiana dalam karya-karyanya, menurut Jean Couteau, berangkat dari tradisi Bali telah melampaui batas hingga menjadi renungan filsafat modern, sehingga sanggup meneruskan tradisi seni religius Pulau Dewata.
Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) itu juga mampu membuat patung untuk dekorasi pura, termasuk "membidani" lahirnya perangkat upakara pengabenan (kremasi jenazah khas Bali) seperti lembu, bade dan lain-lain.
Dalam proses karya seni, ayah dari empat putra dan putri itu mengaku, selalu mengawali dengan "meditasi" yakni pemusatan pikiran, dilanjutkan dengan proses tangannya menari lincah di atas kanvas.
Media yang digunakan juga unik dan langka yakni berupa pelepah pisang, namun mampu merubahnya menjadi sebuah karya seni yang bermutu dan memiliki ciri khas tersendiri.
Meskipun sanggup membuat lukisan maupun puluhan rangda yang disakralkan umat sejumlah desa di Gianyar, pria yang pernah berguru kepada Rodolof Bonnet itu tidak pernah menempatkan dirinya sebagai pencipta.
Bahkan dalam beberapa tahun bekalangan bahan yang digunakan selain pelapah pisang dipadukan dengan kertas yang secara khusus didatangkan dari Jepang (wasi) dan Eropa, ujar Ketut Budiana.(*)