Denpasar (Antara Bali) - Dinas Pendidikan Provinsi Bali mengirim surat kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meminta arahan terkait pengelolaan dana bantuan operasional sekolah bagi para siswa dari Kabupaten Karangasem yang terpaksa mengungsi karena peningkatan aktivitas Gunung Agung.
"Siswa yang menyebar ke sejumlah sekolah, tentu dana BOS tidak mungkin bisa dipertanggungjawabkan seperti sekolah berjalan normal. Ini yang kami mohonkan, ada nggak kebijakan, jangan sampai kami melenceng dari juklak dan juknis," kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali Tjokorda Istri Agung (TIA) Kusuma Wardhani, di Denpasar, Kamis.
Menurut dia, selama ini pembelajaran memang tetap berjalan karena siswa yang mengungsi tetap bersekolah di lembaga pendidikan terdekat dengan pengungsian. Tetapi menyangkut dana BOS, pihak sekolah asal tidak berani mencairkan.
Dia mencontohkan jika dana BOS untuk setiap siswa SMP selama tiga bulan (Oktober, November, Desember) besarnya Rp250 ribu, dan ada 20 siswa yang dititipkan di sekolah lain. "Apa berani memberikan uang Rp250 ribu x 20 siswa pada sekolah di tempat siswa pengungsian dititipkan?," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, harus ada kebijakan tertulis dari Kemendikbud yang menjadi dasar bagi pencairan dana BOS tersebut.
Di samping itu, dalam surat ke Kemendikbud itu juga ditanyakan mengenai mekanisme dimana siswa SD, SMP, dan SMA/SMK yang akan mengikuti Ujian Nasional pada 2018 harus didaftarkan.
Apalagi bulan Desember 2017, Dinas Pendidikan harus sudah mengkompilasi anak-anak yang mengikuti UN tingkat SD, SMP, SMA/SMK dan ada agenda dari Kemendikbud bahwa 2018 akan menggunakan ujian berbasis komputer.
"Bagaimana dengan daerah yang tidak bisa berjalan normal. Di Karangasem jumlah SMP 50, yang tidak aktif 17 dan tidak boleh ada aktivitas, bagaimana mereka terdaftar? Di sekolah tempat dititipkan, ataukah sekolah asal ada yang lokasinya dipindahkan? Ini yang perlu pencermatan Kemendikbud," ucapnya.
TIA menambahkan, kondisi seperti ini juga tidak bisa diprediksi akan berlangsung sampai kapan, apakah waktunya satu bulan, akhir tahun, atau sampai beberapa tahun seperti halnya di Gunung Sinabung.
Persolan lainnya, kata dia, juga dari sisi kewajiban guru untuk mengajar 24 jam dalam seminggu agar mendapatkan tunjangan profesi. Namun, dengan kondisi seperti ini, guru-guru dari sekolah di kawasan rawan bencana tidak mungkin dapat memenuhi kewajiban mereka karena harus mengungsi juga.
"Sekarang kalau tidak sampai 24 jam, jangan sampai kami salah. Kami meminta arahan dari Kemendikbud dan rencananya mereka akan menjawab surat itu," ujar TIA. (WDY)