Di bumi Nusantara, umat Islam (Muslim) memiliki tradisi bergembira untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang merupakan "tamu" selama satu bulan.
Bahkan, tradisi bersuka ria menyambut bulan suci itu pun ada di Bali yang merupakan provinsi berpenduduk mayoritas beragama Hindu, sedangkan jumlah Muslim di Pulau Dewata hanya 2 persen.
Contohnya, tradisi ziarah kubur menjelang bulan Ramadhan 1438 Hijriyah di Pemakaman Muslim Maruti, Wanasari, Denpasar, Bali.
Ratusan Muslim di wilayah itu melakukan tradisi ziarah kubur. Para peziarah itu datang silih berganti untuk berdoa, menabur bunga di pusara keluarga dan kerabatnya, serta membersihkan makam leluhurnya yang ditumbuhi ilalang dan dedaunan.
Banyaknya warga yang melakukan ziarah kubur itu dimanfaatkan sejumlah warga, termasuk anak-anak, untuk mendapatkan upah melalui aksi membersihkan makam dari tumpukan ilalang dan menjual bunga tabur musiman.
"Sehari membantu membersihkan makam bisa dapat sampai Rp30 ribu dari peziarah kalau mau bulan puasa," ujar Ilham yang mengaku masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar.
Selain Ilham, puluhan anak seusianya juga memanfaatkan ramainya peziarah dengan menjadi pembersih makam musiman. Mereka mengaku mendapat upah Rp2 ribu hingga Rp5 ribu untuk setiap makam yang dibersihkan.
Peziarah diperkirakan semakin banyak yang melakukan ziarah kubur di pemakaman yang terletak di Jalan Maruti Denpasar itu pada Kamis (25/5) dan Jumat (26/5) atau selang 1-2 hari dari puasa Ramadhan yang diperkirakan tiba pada Sabtu (27/5).
Hal yang sama juga terjadi di beberapa wilayah pemakaman tingkat kampung di Surabaya dan sekitarnya, seperti Pemakaman Islam Perkampungan Wonocolo, Kelurahan Jemurwonosari, Kecamatan Wonokromo, Surabaya.
"Di sini, tradisi menyambut datangnya puasa Ramadhan cukup banyak, seperti ziarah atau nyekar ke makam leluhur dalam beberapa hari menjelang pelaksanaan puasa," kata warga Wonocolo VI, Chalimy.
Selain itu, sebagian warga juga bergembira menyambut datangnya puasa Ramadhan dengan membersihkan mushalla atau masjid di kampung secara bergotong royong, sebagai pertanda tempat ibadah itu sudah siap dipakai beribadah selama sebulan saat Ramadhan.
"Lain halnya dengan tradisi kaum ibu yang membuat jajanan yang disebut dengan tradisi Megengan, sedang jajanan itu dinamai apem untuk disedekahkan kepada tetangga kanan-kiri atau diantar ke mushalla terdekat untuk konsumsi selepas tahlil (doa untuk arwah leluhur)," katanya.
Istilah megengan itu berasal dari kata megeng yang artinya menahan. "Itu sebagai peringatan kepada kita bahwa sebentar lagi kita memasuki bulan Ramadhan, yang mana kita diwajibkan menahan segala hawa nafsu dengan sebuah ibadah bernama puasa dan segala perangkat pelengkapnya," katanya.
Tradisi megengan itu juga identik dengan kue apem. Nama itu berasal dari bahasa Arab yaitu "afwan" yang artinya maaf atau ampunan. Maknanya simbolik tentang perlunya memohon ampun kepada Allah atas segala dosa selama setahun silam.
"Megeng atau megengan yang bermakna menahan diri dari nafsu yang disebut Rasulullah sebagai `jihad besar` dan apem atau afwan yang bermakna memohon ampunan itu merupakan inti dari datangnya Ramadhan," katanya.
Dalil
Adalah Rais Syuriah PBNU KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) yang menyebut tren adanya orang "pintar baru" dalam menyikapi tradisi bergembira menyambut Ramadhan itu.
"Mereka memiliki dua ciri. Pertama, setiap berbicara menuntut adanya dalil. Sedikit-sedikit berkata, apa ada dalilnya, bahkan ciri kedua mereka adalah menuntut adanya perincian dalil, misalnya ayat berapa, surat berapa, apakah hadis shohih atau dhaif," ujarnya.
Cari dalil "megengan"?
"Ya jelas, nggak ada! Para `ahli dalil` itu tidak mampu mengimplementasikan dalil yang ada. Mereka menganggap megengan itu tradisi sesat, karena tidak ada dalilnya," katanya.
Bahkan, ada pula tokoh Muslim dari Negeri Jiran yang meminta kaum Muslim untuk berpuasa dengan membeli makanan kepada kaum Muslim agar ikhtiar menahan lapar selama sehari akan terisi dengan makanan dari mereka yang taat beribadah.
Mereka lupa bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa "Kamu lebih tahu urusan dunia-mu", karena itu Rasulullah pun berdagang dengan kaum non-Muslim, kecuali untuk makanan yang sudah jelas diharamkan atau dilarang dalam agama.
Begitulah beda yang paling mencolok antara Muslim "tekstualis" dengan Muslim Nusantara yang "kontekstualis".
"Muslim Nusantara justru pandai mengemas pesan-pesan wahyu yang mungkin bisa dikemas. Megengan merupakan salah satu hasil kemasan dari pesan wahyu dalam sebuah hadits," katanya.
Gus Mus pun menyitir Hadits itu, yakni "Barangsiapa yang bersuka ria dalam menyongsong datangnya bulan Ramadhan, maka niscaya Allah haramkan jasadnya dari jilatan api neraka".
"Kemasan dari pesan wahyu agar umat Islam bersuka ria dalam menyongsong bulan Ramadhan itu berupa implementasi wahyu dalam bentuk tradisi megengan itu," katanya.
Awalnya, tradisi megengan itu diperkenalkan pada saat penyebaran agama Islam di Jawa oleh Sunan Kalijogo dengan gaya berdakwah kepada masyarakat yang menggunakan metode alkuturasi budaya.
Metode pendekatan psikologi budaya kepada masyarakat Jawa pedalaman itu menghapus sekat-sekat/pembatas yang dapat mengganggu syiar Islam. Dalam akulturasi budaya itulah, nilai-nilai keislaman dimasukkan ke dalam budaya.
Sesungguhnya, metode akulturasi itu juga sesuai dengan sabda Rasulullah bahwa agama itu mudah, maka mudahkanlah, jangan dipersulit dalam pelaksanaannya.
Dalam tradisi, megengan itu ada dua agenda pokok yakni kaum Muslim laki-laki bekerja bakti membersihkan masjid/mushalla, makam, bahkan bersih-bersih kampung, dengan berucap "Marhaban Ya Ramadhan".
Lain halnya dengan kaum Muslim perempuan yang menandai suka ria menyambut Ramadhan dengan menyiapkan kue apem dan kue lain untuk diantar ke tetangga kanan-kiri dengan berucap "Marhaban Ya Ramadhan".
"Bukankah itu shadaqah yang juga merupakan perintah agama? Berarti kaum tekstualis hanya memahami pesan agama pada teks-teksnya saja, tanpa berkemampuan untuk mengimplementasikan, apalagi memaknai kue apem sebagai ampunan (afwan) dan megengan sebagai jihad besar," katanya. (WDY)