Pemandangan batang bambu yang dipanggul di pundak atau diangkut menggunakan mobil, sudah tidak asing bagi warga Bangli, Bali.
Bambu sudah lama menjadi denyut penggerak perekonomian warga, untuk dijadikan bahan baku kerajinan atau sarana upacara keagamaan.
"Berlimpahnya bahan baku bambu di Bangli, membuat saya terinspirasi membuat usaha berbasis bambu sejak tahun 1998. Berbagai macam kerajinan seperti keben, bokor atau lainnya, telah saya produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal," ujar I Wayan Karmen, salah seorang pelaku usaha kerajinan bambu dari Desa Jehem Kaja, Tembuku, Bangli.
Menurut Karmen, potensi berlimpahnya pohon bambu di Bangli sudah selayaknya diolah menjadi produk yang bernilai, dan dapat memberdayakan masyarakat. Tak heran dirinya memilih usaha berbahan baku bambu, sekaligus demi mengangkat citra tanaman ini.
Ketika mengawali usaha, Karmen menyatakan langkah itu dilakukan berdasarkan eksperimen semata. Sebelumnya, dirinya bekerja di hotel selama 10 tahun sampai akhirnya berhenti dan banting setir menjadi pedagang keliling. Ketika menjalani pekerjaan sebagai pedagang keliling ini, ide untuk membuat usaha berbasis bambu mencuat begitu saja di benaknya.
Apalagi, lanjut dia, kebutuhan masyarakat terhadap produk keben, bokor, sokasi dan lainnya, tergolong tinggi sebagai sarana upacara. Kebutuhan terhadap produk ini, dilihat Karmen sebagai prospek bisnis yang menjanjikan peluang, sehingga dirinya terpikir untuk mencoba menerjuninya dengan mengusung merek usaha "Sekar Madu".
Saat ini, produk keben Sekar Madu terbagi atas tiga ukuran, yakni S (diameter 15 cm), M (20 cm) dan L (28 cm). Harga yang ditawarkan mulai dari Rp5 ribu sampai Rp250 ribu.
Mengenai motif produk, selalu berubah-ubah mengikuti tren zaman. Dahulu motif yang digemari adalah jenis keben berlukis, setelah itu berganti model berlapis tisu decoupage, hingga akhirnya baru-baru ini Karmen berinovasi menciptakan produk dengan motif pegerinsingan.
"Motif pegerinsingan ini dikerjakan tanpa mesin, murni kerajinan tangan. Produk ini juga lebih dulu direbus, sehingga ada garansi warna sampai lima tahun tidak akan luntur," katanya.
Karmen mensyukuri sampai kini usahanya selalu diminati masyarakat. Selain untuk sarana upacara, belakangan produk keben atau sokasi pun banyak digunakan sebagai wadah parsel.
Tak heran jika peminatnya pun meluas dari kalangan pengurus koperasi, supermarket, perbankan hingga hotel berbintang. Tingginya daya serap pasar, membuat Karmen belum terpikir untuk melakukan ekspor produk, karena untuk melayani konsumen lokal pun dirinya sampai kewalahan.
Eksplorasi Kerajinan
Putra Wisatawan, pelaku usaha kerajinan bambu lainnya dari Bangli menyatakan, terdorong niat yang besar untuk memperbaiki kehidupan, pada tahun 2000 dirinya memulai usaha bambu dengan mendirikan art shop bernama Ade Prima Bambu. Usaha ini didirikan dengan modal antara Rp3 juta-Rp5 juta.
Berbagai model kerajinan pun mulai dibuat oleh Putra, menyesuaikan selera konsumen. Menggunakan beragam jenis bambu, lelaki tamatan sekolah menengah atas ini mengeksplorasi bahan baku menjadi barang kerajinan berupa lampu hias, bingkai foto, cermin, meja dan bermacam-macam hiasan dinding.
Produk yang paling menyita perhatian konsumen adalah jenis lonceng bambu berbentuk burung. Lonceng ini bisa mengangguk-anggukkan kepala menyerupai tingkah laku burung di alam bebas yang sedang mematuk makanan.
"Kalau produk saya sedang diikutkan pameran, lonceng ini paling diminati pengunjung. Harganya terjangkau, yaitu Rp50 ribu," kata lelaki berusia 45 tahun ini, seraya menambahkan produk lain yang tidak kalah digemari adalah vas bunga gantung, frame kaca, lampu hias dan meja laptop.
Meski optimistis produk kerajinan dari bambu masih memiliki peminat, namun Wisatawan berusaha realistis jika usahanya mengalami pasang dan surut.
Ketika lagi ramai, Wisatawan menyatakan tidak jarang mendapatkan pesanan kerajinan bambu dari "agent" untuk dikirim ke luar negeri. Khususnya ke Eropa dan Amerika Serikat. "Buyer" di luar negeri cenderung suka memesan barang dengan beragam fungsi dan berbentuk minimalis.
"Kalau untuk pasar lokal, saya memiliki pelanggan dari Jakarta dan Medan, yang secara kontinyu memesan kerajinan bambu khas Bangli. Pelanggan lokal ini melihat kerajinan saya ketika datang ke Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diadakan setahun sekali," ujar lelaki dari Banjar Nyalian, Bangli ini.
Pelanggan lain yang setiap bulan memesan adalah sejumlah art shop atau toko seni dari Tegalallang, Gianyar. Masing-masing art shop, rata-rata memesan beragam jenis kerajinan dengan jumlah berkisar 50-100 pieces produk per bulan. Pemesanan dari art shop di Tegalallang ini menjadi salah satu andalan Wisatawan untuk meneruskan laju kelangsungan usaha.
Wisatawan menyebutkan, dalam sebulan omzet yang didapatkan bisa mencapai Rp10 juta-Rp15 juta. Kalau mengikuti pameran, misalnya PKB (Pesta Kesenian Bali, red) yang rutin diadakan setiap tahun, maka omzetnya bisa meningkat drastis hingga 200 persen. Meski usaha ini menghasilkan omzet pasang surut, namun Wisatawan tetap ingin menggeluti dan tidak ingin berhenti menjadi perajin bambu.
Tahun lalu, Bali memperoleh devisa dari ekspor kerajinan berbahan baku bambu sebesar 7,59 juta dolar AS selama sembilan bulan, periode Januari-September 2016, naik 23,41 persen dari 6,15 juta dolar AS pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, Made Suastika menyatakan, pengapalan aneka jenis kerajinan berbahan baku bambu dari segi perolehan devisa jauh lebih besar dibandingkan peningkatan volume itu menunjukkan hasil sentuhan tangan-tangan terampil perajin Bali dihargai semakin mahal.
Kerajinan anyaman berbahan baku bambu itu mampu memberikan kontribusi 1,87 persen dari total nilai ekspor Bali sebesar 406,31 juta dolar AS selama sembilan bulan pertama 2016, meningkat 13,75 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya tercatat 357,199 juta dolar AS. (WDY)
-----------------------
*) Penulis buku dan artikel lepas, tinggal di Bali.
Denyut Kerajinan Bambu Bangli Tak Pernah Terhenti
Selasa, 25 April 2017 13:36 WIB
Berlimpahnya bahan baku bambu di Bangli, membuat saya terinspirasi membuat usaha berbasis bambu sejak tahun 1998. Berbagai macam kerajinan seperti keben, bokor atau lainnya, telah saya produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal