Jakarta (Antara Bali) - Kementerian Perindustrian memandang potensi
pengembangan industri gasifikasi batu bara di dalam negeri masih cukup
besar.
Apalagi Indonesia memiliki begitu banyak batu bara yang berkalori rendah dan perlu dikonversi agar menjadi gas sintetis.
“Batu bara dengan kalori rendah dapat dikembangkan untuk memproduksi gas dimetil eter yang bisa menggantikan gas liquefied petroleum gas
(LPG) sehingga impor bahan baku gas tidak lagi diperlukan,†kata Dirjen
Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit
Dwiwahjono lewat keterangan pers di Jakarta, Minggu.
Sigit menilai, dibutuhkan investasi sebesar Rp13 triliun untuk
menghasilkan sebanyak 1.000 metrik ton turunan gasifikasi batu bara.
“Jika dihitung, dalam masa pengujian, bisa dilakukan pengubahan 100.000 ton batu bara menjadi 3.600 million metric british thermal unit (mmbtu) gas per hari," ungkapnya.
Lebih lanjut, jika gas yang dihasilkan tidak digunakan, bisa dipakai
untuk industri dalam negeri dengan harga sekitar USD4-5 per mmbtu.
"Selain potensial, investasi ini juga akan menghasilkan nilai tambah
yang besar bagi industri dalam negeri karena gasnya bisa dimanfaatkan,
tinggal perlu dibangun infrastrukturnya," ujar Sigit.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa
pengembangan usaha pada bidang gasifikasi batu bara di Indonesia sangat
diperlukan guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri pupuk dan
petrokimia.
"Dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pupuk dan metanol. Bahkan,
gasifikasi merupakan salah satu energi alternatif yang bisa digunakan
untuk industri,†tegasnya.
Terkait pertemuannya dengan CEO Zemag Clean Energy Technology GmBh, Fu
Minyan beberapa waktu lalu, Airlangga mengatakan, perusahaan asal Jerman
tersebut akan melaksanakan proyek percontohan fasilitas gasifikasi batu
bara di Indonesia.
“Mereka menyatakan ingin berinvestasi di sini untuk mengembangkan
turunan dari gasifikasi batu bara," tuturnya.
Untuk itu, lanjut Airlangga, pihaknya mendorong Zemag agar bisa bekerja
sama dengan perusahaan lokal dalam membangun industri gasifikasi batu
bara di Indonesia. Mengenai lokasi pabriknya, ditawarkan di wilayah
Kalimantan dan Sumatera Selatan.
"Pengembangan industri ini di Indonesia sebenarnya masih menarik bagi
investor asing di tengah perlambatan ekonomi global,†paparnya.
Sementara itu, Fu mengatakan, Indonesia memiliki sumber batu bara rendah
kalori yang cukup besar. Hasil pertemuan dengan pihak pemerintah,
menjadi masukan untuk mengembangkan investasi di Indonesia.
"Diskusi dengan pemerintah sangat interaktif, Indonesia membutuhkan
produk turunan gasifikasi batu bara bagi industri manufaktur. Saat ini,
kami masih menjajaki investasi metanol dengan bahan baku rendah kalori,"
jelasnya.
Fu menambahkan, pihaknya sudah berdiskusi dengan pemerintah untuk
mencari mitra lokal di Indonesia demi mengembangkan pabrik gasifikasi
batu bara.
"Pemerintah akan bantu mencarikan perusahaan lokal di Indonesia jika
investasi kami terealisasi. Teknologi yang dihasilkan, nantinya akan
memberikan nilai tambah bagi industri di Indonesia," terangnya.
Fu juga mengklaim teknologi Zemag saat ini sudah diterapkan oleh 180
pabrik pengolahan batu bara di seluruh dunia, termasuk pabrik pertama
yang beroperasi sejak tahun 2000 di Jerman.
“Kami memiliki teknologi untuk mengurangi kelembaban batu bara berkalori
rendah, memproses batu bara menjadi briket, hingga proses gasifikasi
batu bara. Pengolahan tersebut bisa menghasilkan berbagai jenis produk
turunan seperti metanol, amonia, minyak, hingga gas sintetis,â€
pungkasnya. (WDY)
Kemenperin Nilai Industri Gasifikasi Batu Bara Potensial
Minggu, 15 Januari 2017 13:55 WIB