Yogyakarta (Antara Bali) - Pemerintah diminta untuk menerbitkan peraturan dan undang-undang yang mengatur sanksi dan hukuman bagi praktik korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga asing dan lembaga swasta yang ada di Indonesia.

"Hingga saat ini UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) belum mengatur sanksi dan hukuman bagi praktik korupsi yang dilakukan oleh lembaga asing dan lembaga swasta yang ada di Indonesia," kata Kepala Laboratorium Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradipto di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, lembaga tersebut adalah lembaga internasional di Indonesia, swasta nasional, swasta internasional di Indonesia, dan organisasi non-profit.

Padahal, sesuai isi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) atau konvensi internasional antikorupsi yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ada delapan poin terkait perilaku korupsi yang harus diatur.

Pertama, penyogokan kepada PNS, pegawai negeri asing, dan di sektor swasta. Kedua, penggelapan di sektor publik dan swasta.

Ketiga, memperjualbelikan pengaruh/kekuasaan. Keempat, penyalahgunaan kekuasaan. Kelima, "ellicit enrichment".

Keenam, pencucian hasil korupsi. Ketujuh, penyembunyian hasil korupsi. Kedelapan, mempengaruhi proses pengadilan.

Sementara itu, lanjut dia, UU Tipikor hanya mengatur empat poin yaitu penyogokan kepada PNS dan staf pengadilan, penggelapan di sektor publik, memperjualbelikan pengaruh/kekuasaan, dan penyalahgunaan kekuasaan.

"Padahal potensi korupsipun kemungkinan terjadi pada empat lembaga tersebut. Namun, UU Tipikor hanya mengenal korupsi di sektor publik, sementara di sektor swasta dan lembaga asing tidak dikenal. Akibatnya terluput dari pengamatan, karena cakupan UU Tipikor lebih sempit daripada cakupan korupsi versi UNCAC," kata Rimawan. (WDY)

Pewarta: Pewarta: RH Napitupulu

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016