Denpasar (Antara Bali) - Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Alirman Sori memandang otonomi khusus menjadi salah satu cara untuk melindungi adat dan budaya Bali supaya terhindar dari kepunahan.

"Bali yang telah menjadi milik dunia di tengah tingginya kunjungan wisatawan asing dan pendatang, kalau tidak diatur secara khusus nantinya dapat berdampak menggerus nilai adat dan budaya Bali. Padahal kedua nilai itulah yang menyebabkan Bali unik dan berbeda dibandingkan daerah lain," katanya saat memberikan sambutan pada Uji Sahih Rancangan Undang-Undang Tentang Otsus Bali, di Denpasar, Selasa.

Menurut dia, jika adat dan budaya Bali sampai tergerus, maka yang risau bukan hanya masyarakat setempat, melainkan juga daerah lain di Indonesia.

"Betapa provinsi lain di Indonesia selama ini sangat tergantung dari pengembangan pariwisata Bali. Jika pariwisata di daerah ini surut akibat tersingkirnya adat dan budaya, dampak krisis juga akan dirasakan daerah lain. Istilahnya selama ini Bali untuk Indonesia, dan Indonesia untuk Bali," ujarnya.

Oleh karena itu, tambah Alirman, pembahasan RUU Otsus Bali hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin karena menjadi momentum strategis bagi Pulau Dewata. Keberadaan otsus nantinya dapat menjadi jaminan dan garansi dalam perlindungan budaya Bali.

"Meskipun kami bukan orang Bali, tetapi kami meminta masyarakat untuk mendukung penuh perjuangan supaya otonomi khusus di Pulau Dewata dapat terwujud. Semua anggota DPD yang berjumlah 132 orang dan 33 provinsi juga sudah memberikan dukungan penuh bagi perjuangan otsus Bali," ucapnya.

Alirman menegaskan, otonomi khusus bukan berarti semua kewenangan pemerintah kabupaten/kota menjadi kewenangan provinsi. Otsus pun tidak mengancam eksistensi penduduk luar Bali.

Sementara itu Ketua Tim Kerja RUU Otsus Bali itu Wayan Sudirta mengatakan diperlukannya otonomi khusus karena dalam penyelenggaraan pemerintahan di Bali selama ini telah ditemukan berbagai permasalahan mendasar yang disebabkan tidak diakomodasinya kepentingan Bali dalam perundang-undangan nasional.

Permasalahan itu diantaranya, Bali tidak memiliki sumber daya alam potensial, namun memiliki sumber daya pariwisata yang didukung penuh oleh adat dan budaya Bali yang dijiwai Agama Hindu.

"Hanya saja perkembangan pesat industri pariwisata berjalan di tengah penerapan konsep otonomi luas yang menitikberatkan otonomi di level kabupaten/kota yang memunculkan fenomena egosentrisme kabupaten/kota," ucap senator dari Bali ini.

Di sisi lain, lanjut dia, adat dan budaya Bali yang menjadi nafas kehidupan masyarakat terancam mengalami krisis ketika peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional tidak sensitif atau bahkan tidak mengakomodasi kekhususan Bali dalam hal adat dan budaya.

Sudirta mencontohkan, secara normatif, lembaga adat yang ada dan masih hidup seperti desa pakraman (desa adat), subak, sekaa (perkumpulan adat) belum diakui sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah. "Bali pun belum mendapatkan dana bagi hasil yang berasal dari pendapatan nasional yang diperoleh dari devisa hasil pariwisata," ujarnya.

Dengan adanya RUU Otsus bagi Bali setidaknya berisi kewenangan khusus bagi daerah ini dalam hal kebudayaan, pertanahan, tata ruang, lingkungan hidup, pariwisata, penanaman modal skala besar, kependudukan dan ketenagakerjaan, kelautan serta kehutanan.

Pada uji sahih ini menampilkan narasumber dari berbagai kalangan yakni Ketut Wiana (tokoh agama), akademisi Prof Gde Anggan Suhandana, Prof Wayan Santiyasa, Dr Nyoman Subanda, Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya dan Made Arimbawa (Ketua Tim Otsus DPRD Bali periode sebelumnya). (LHS)

Pewarta: Oleh Ni Luh Rhismawati

Editor : Ni Luh Rhismawati


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013