"Terlepas dari semua nilainya, diplomasi digital belum dapat menggantikan diplomasi tatap muka, tetapi diplomasi digital tetap ada dan kebutuhannya akan terus meningkat."
Kalimat itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat membuka International Conference on Digital Diplomacy (ICDD) 2021 yang digelar virtual Selasa 16 November lalu.
Retno tentu saja bukan orang yang alergi dengan perubahan dan lingkungan digital. Justru, seperti semua diplomat di mana pun, dia berusaha merangkul perkembangan terbaru di dunia, termasuk cara mengelola kemanfaatan Internet dan aspek digital apa pun dari era di mana Internet diperuntukkan bagi segalanya atau internet of things.
Internet dan diplomasi itu bertautan, namun memiliki karakteristik berbeda dalam hal bagaimana informasi dipandang.
Sejak awal kehadirannya Internet menuntut transparansi total, sebaliknya tak semua hal dalam diplomasi terbuka untuk konsumsi publik karena diplomasi adalah juga alat melalui mana kesepakatan-kesepakatan di belakang layar dibuat.
Retno Marsudi bahkan mengatakan "dalam platform daring, sejak awal harus ada transparansi dan kesepakatan tentang siapa saja yang hadir, jenis data pribadi apa yang dikumpulkan, dan apakah interaksi akan direkam. Hal ini sangat penting jika menyangkut pertemuan rahasia atau diskusi tentang hal-hal yang sulit."
Baca juga: Menkominfo: Infrastruktur digital percepat pemulihan dari pandemi
Dalam realitas politik internasional dan proses kebijakan luar negeri sebuah negara, pasti ada hal yang tak harus dibagi dahulu dengan publik sebelum segalanya pasti dan sudah tertata. Untuk itu diplomasi tak bisa diperlakukan seperti tuntutan transparansi total yang menjadi semangat di balik kelahiran Internet.
Ini karena sekalipun era sekarang menutup segalanya terbuka dan transparan, tetap saja ada pertemuan dan diskusi yang tak boleh dibuka untuk publik, sebelum dikelola dan ditata oleh diplomat dan pemimpin nasional agar sampai kepada masyarakat dalam bentuk yang tidak menciptakan kegamangan.
Namun tak bisa dipungkiri Internet memang telah mengubah praktik diplomasi dan hubungan internasional. Pertama, membuat suara dan kepentingan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan internasional menjadi kian besar dan kian banyak. Dan ini memperumit proses pengambilan keputusan internasional yang dalam perkembangannya bisa menggerus kewenangan eksklusif negara.
Kedua, mempercepat penyebaran informasi mengenai masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa apa pun, entah itu akurat atau tidak, yang pada akhirnya berdampak kepada akibat dan cara informasi itu diperlakukan.
Ketiga, membuat tugas-tugas diplomatik disampaikan lebih cepat dan lebih menghemat biaya, baik itu dalam rangka melayani masyarakat, pemerintah, maupun negara-negara lain.
Ketiga aspek ini memberi dampak positif dan negatif, tergantung bagaimana Internet dipandang oleh pelaku diplomasi. Artinya, tak bisa seratus persen dianggap baik dan tak bisa dianggap seratus persen buruk.
Dua sisi mata uang Internet dalam kaitannya dengan diplomasi dan hubungan internasional seperti ini pernah digambarkan dengan akurat oleh penulis internasional terkemuka Thomas L. Friedman yang kerap menjadi rujukan politisi dunia, dalam buku "The World is Flat" pada 2005.
Lingkungan digital terpercaya
Friedman menyatakan Internet memainkan peran krusial dalam memperluas medan diplomasi karena siapa saja dan di mana saja, memiliki akses yang sama kepada informasi untuk terhubung dan melakukan kontak langsung satu sama lain, termasuk dalam kerangka kontak bisnis.
Di satu sisi hal ini membuat kerja negara menjadi semakin efisien, khususnya dalam menaksir keunggulan komparatif pasar. Dan ini membuat dunia terlihat datar, tidak lagi berliku dan berstruktur rumit seperti sebelumnya dikenal.
Baca juga: LKBN ANTARA dan peran "early warning system" pada era media sosial
Sayangnya Internet juga memiliki sisi gelap yang bisa dilukiskan dari bagaimana Internet digunakan untuk penipuan, pornografi, dan terorisme.
Namun demikian, selama pandemi COVID-19 sulit membayangkan diplomasi tanpa Internet dan platform-platform digital yang tertaut kepadanya. Apa jadinya diplomasi tanpa platform-platform seperti Zoom atau WhatsApp atau konferensi video yang sebangsanya?
Bagi profesi yang terbiasa berbuat apa pun demi meminimalkan kontak langsung antara para pemimpin nasional seperti diplomat, merangkul platform-platform digital seperti itu adalah pilihan yang mesti diambil. Faktanya selama pandemi, berbagai pertemuan puncak dan konferensi internasional termasuk G20 tahun lalu digelar secara online.
Praktik diplomasi pun menjadi efisien namun pada era ketika Big Data dan kerahasiaan lebih dipegang oleh aktor-aktor non negara seperti perusahaan-perusahaan teknologi yang memarkir dan mengendalikan lalu lintas informasi dan data apa pun, efisiensi menjadi terlihat mahal karena pelaku diplomasi dan negara tidak berkuasa penuh atas data tersebut.
Dan ini persoalan yang juga dihadapi pelaku diplomasi di mana pun. Kasus bocornya email Hillary Clinton sewaktu masih menjadi menteri luar negeri Amerika Serikat yang lalu dipakai Donald Trump untuk menyerangnya dalam debat calon presiden AS pada 2016 adalah contoh kuat pemerintah dan negara tak memiliki kuasa digital besar karena ternyata keamanan digital pun dengan mudah dibobol pihak lain.
Ini juga menjadi contoh bahwa praktik diplomasi tak boleh sepenuhnya online, kecuali negara memiliki kontrol luas atas bagaimana data disimpan dan dikelola serta dijaga.
Belum lagi ketika platform digital dimanipulasi oleh tokoh-tokoh seperti Donald Trump untuk memicu xenofobia, prasangka, dan pembangkangan sipil atau menjadikan Internet untuk merobohkan prinsip-prinsip demokrasi dengan menciptakan untuk kemudian menggelarkan troll-troll guna memutarbalikkan fakta dan mengubah opini publik.
Oleh karena itu, seperti diutarakan Retno Marsudi dalam International Conference on Digital Diplomacy 2021 itu, diplomasi digital mutlak mensyaratkan adanya jaminan keamanan siber, privasi data, dan tata kelola internet yang benar demi menciptakan lingkungan diplomasi digital yang terpercaya.
Baca juga: Sosiolog: Era media sosial disebut era matinya ruang privat
Dalam era di mana Big Tech seperti Google dan Facebook memegang data terlalu banyak dan sudah terlalu sulit dikendalikan, menciptakan atmosfer dan ekosistem diplomasi digital yang terpercaya menjadi tugas yang amat berat dan penuh tantangan.
Memang, diplomat masa kini dituntut menjadi juga ahli Internet, tak hanya demi mengetahui di mana mereka bisa mengumpulkan informasi untuk pengambilan keputusan, melainkan juga demi mengetahui bagaimana mempengaruhi secara maksimum narasi publik melalui Internet.
Namun, diplomasi digital tetaplah merupakan gabungan tatap muka dan online, kecuali lingkungan digital global yang tak bisa dikendalikan bersama negara seperti saat ini terjadi. Diplomasi digital pun harus bisa melindungi privasi data dan menghadirkan sistem tata kelola internet yang bertanggung jawab dan terpercaya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Kalimat itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat membuka International Conference on Digital Diplomacy (ICDD) 2021 yang digelar virtual Selasa 16 November lalu.
Retno tentu saja bukan orang yang alergi dengan perubahan dan lingkungan digital. Justru, seperti semua diplomat di mana pun, dia berusaha merangkul perkembangan terbaru di dunia, termasuk cara mengelola kemanfaatan Internet dan aspek digital apa pun dari era di mana Internet diperuntukkan bagi segalanya atau internet of things.
Internet dan diplomasi itu bertautan, namun memiliki karakteristik berbeda dalam hal bagaimana informasi dipandang.
Sejak awal kehadirannya Internet menuntut transparansi total, sebaliknya tak semua hal dalam diplomasi terbuka untuk konsumsi publik karena diplomasi adalah juga alat melalui mana kesepakatan-kesepakatan di belakang layar dibuat.
Retno Marsudi bahkan mengatakan "dalam platform daring, sejak awal harus ada transparansi dan kesepakatan tentang siapa saja yang hadir, jenis data pribadi apa yang dikumpulkan, dan apakah interaksi akan direkam. Hal ini sangat penting jika menyangkut pertemuan rahasia atau diskusi tentang hal-hal yang sulit."
Baca juga: Menkominfo: Infrastruktur digital percepat pemulihan dari pandemi
Dalam realitas politik internasional dan proses kebijakan luar negeri sebuah negara, pasti ada hal yang tak harus dibagi dahulu dengan publik sebelum segalanya pasti dan sudah tertata. Untuk itu diplomasi tak bisa diperlakukan seperti tuntutan transparansi total yang menjadi semangat di balik kelahiran Internet.
Ini karena sekalipun era sekarang menutup segalanya terbuka dan transparan, tetap saja ada pertemuan dan diskusi yang tak boleh dibuka untuk publik, sebelum dikelola dan ditata oleh diplomat dan pemimpin nasional agar sampai kepada masyarakat dalam bentuk yang tidak menciptakan kegamangan.
Namun tak bisa dipungkiri Internet memang telah mengubah praktik diplomasi dan hubungan internasional. Pertama, membuat suara dan kepentingan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan internasional menjadi kian besar dan kian banyak. Dan ini memperumit proses pengambilan keputusan internasional yang dalam perkembangannya bisa menggerus kewenangan eksklusif negara.
Kedua, mempercepat penyebaran informasi mengenai masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa apa pun, entah itu akurat atau tidak, yang pada akhirnya berdampak kepada akibat dan cara informasi itu diperlakukan.
Ketiga, membuat tugas-tugas diplomatik disampaikan lebih cepat dan lebih menghemat biaya, baik itu dalam rangka melayani masyarakat, pemerintah, maupun negara-negara lain.
Ketiga aspek ini memberi dampak positif dan negatif, tergantung bagaimana Internet dipandang oleh pelaku diplomasi. Artinya, tak bisa seratus persen dianggap baik dan tak bisa dianggap seratus persen buruk.
Dua sisi mata uang Internet dalam kaitannya dengan diplomasi dan hubungan internasional seperti ini pernah digambarkan dengan akurat oleh penulis internasional terkemuka Thomas L. Friedman yang kerap menjadi rujukan politisi dunia, dalam buku "The World is Flat" pada 2005.
Lingkungan digital terpercaya
Friedman menyatakan Internet memainkan peran krusial dalam memperluas medan diplomasi karena siapa saja dan di mana saja, memiliki akses yang sama kepada informasi untuk terhubung dan melakukan kontak langsung satu sama lain, termasuk dalam kerangka kontak bisnis.
Di satu sisi hal ini membuat kerja negara menjadi semakin efisien, khususnya dalam menaksir keunggulan komparatif pasar. Dan ini membuat dunia terlihat datar, tidak lagi berliku dan berstruktur rumit seperti sebelumnya dikenal.
Baca juga: LKBN ANTARA dan peran "early warning system" pada era media sosial
Sayangnya Internet juga memiliki sisi gelap yang bisa dilukiskan dari bagaimana Internet digunakan untuk penipuan, pornografi, dan terorisme.
Namun demikian, selama pandemi COVID-19 sulit membayangkan diplomasi tanpa Internet dan platform-platform digital yang tertaut kepadanya. Apa jadinya diplomasi tanpa platform-platform seperti Zoom atau WhatsApp atau konferensi video yang sebangsanya?
Bagi profesi yang terbiasa berbuat apa pun demi meminimalkan kontak langsung antara para pemimpin nasional seperti diplomat, merangkul platform-platform digital seperti itu adalah pilihan yang mesti diambil. Faktanya selama pandemi, berbagai pertemuan puncak dan konferensi internasional termasuk G20 tahun lalu digelar secara online.
Praktik diplomasi pun menjadi efisien namun pada era ketika Big Data dan kerahasiaan lebih dipegang oleh aktor-aktor non negara seperti perusahaan-perusahaan teknologi yang memarkir dan mengendalikan lalu lintas informasi dan data apa pun, efisiensi menjadi terlihat mahal karena pelaku diplomasi dan negara tidak berkuasa penuh atas data tersebut.
Dan ini persoalan yang juga dihadapi pelaku diplomasi di mana pun. Kasus bocornya email Hillary Clinton sewaktu masih menjadi menteri luar negeri Amerika Serikat yang lalu dipakai Donald Trump untuk menyerangnya dalam debat calon presiden AS pada 2016 adalah contoh kuat pemerintah dan negara tak memiliki kuasa digital besar karena ternyata keamanan digital pun dengan mudah dibobol pihak lain.
Ini juga menjadi contoh bahwa praktik diplomasi tak boleh sepenuhnya online, kecuali negara memiliki kontrol luas atas bagaimana data disimpan dan dikelola serta dijaga.
Belum lagi ketika platform digital dimanipulasi oleh tokoh-tokoh seperti Donald Trump untuk memicu xenofobia, prasangka, dan pembangkangan sipil atau menjadikan Internet untuk merobohkan prinsip-prinsip demokrasi dengan menciptakan untuk kemudian menggelarkan troll-troll guna memutarbalikkan fakta dan mengubah opini publik.
Oleh karena itu, seperti diutarakan Retno Marsudi dalam International Conference on Digital Diplomacy 2021 itu, diplomasi digital mutlak mensyaratkan adanya jaminan keamanan siber, privasi data, dan tata kelola internet yang benar demi menciptakan lingkungan diplomasi digital yang terpercaya.
Baca juga: Sosiolog: Era media sosial disebut era matinya ruang privat
Dalam era di mana Big Tech seperti Google dan Facebook memegang data terlalu banyak dan sudah terlalu sulit dikendalikan, menciptakan atmosfer dan ekosistem diplomasi digital yang terpercaya menjadi tugas yang amat berat dan penuh tantangan.
Memang, diplomat masa kini dituntut menjadi juga ahli Internet, tak hanya demi mengetahui di mana mereka bisa mengumpulkan informasi untuk pengambilan keputusan, melainkan juga demi mengetahui bagaimana mempengaruhi secara maksimum narasi publik melalui Internet.
Namun, diplomasi digital tetaplah merupakan gabungan tatap muka dan online, kecuali lingkungan digital global yang tak bisa dikendalikan bersama negara seperti saat ini terjadi. Diplomasi digital pun harus bisa melindungi privasi data dan menghadirkan sistem tata kelola internet yang bertanggung jawab dan terpercaya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021