Dengan segala dinamika yang ada, pers era prareformasi dan pers era pascareformasi agaknya memiliki perbedaan era yang sangat jauh berbeda.

Paling tidak, fungsi early warning system (pemberi peringatan dini) sudah menghadapi "musuh" berbeda karena pers era prareformasi yang kritis itu menghadapi pemerintah yang memberedel.

Kini, pers era pascareformasi justru menghadapi masyarakat/publik yang bisa "memberedel" dengan lebih "anarkis" dengan meninggalkan pers di belantara digital dengan begitu saja.

Era prareformasi yang didominasi Orde Lama dan Orde Baru membuat Majalah Jaya (Oyong PK) diberedel Bung Karno pada tahun 1961, atau Harian Kompas diberedel H.M. Soeharto pada tahun 1978, atau Majalah Tempo yang mengalami pemberedelan oleh Orde Baru terkait dengan dugaan kasus korupsi impor 39 kapal perang bekas Jerman Timur yang diprakarsai Menristek B.J. Habibie pada tanggal 21 Juni 1994.

Saat itu, Harian Kompas pun bisa terbit kembali setelah meminta maaf dengan janji tidak akan mengulangi kritik kepada Pak Harto (sapaan akrab presiden ke-2 RI Jenderal Besar H.M. Soeharto), sedangkan Majalah Tempo bisa terbit kembali karena "diuntungkan" oleh Menpen Junus Josfiah yang menghapus SIT (surat izin terbit) pada era Reformasi (1998).

Fakta itu berbeda jauh dengan era pascareformasi, justru pers tanpa diberedel pun sudah ditinggalkan begitu saja oleh publik di belantara digital, seperti dialami Newsweek yang gulung tikar digulung media-media digital.

Ya, era pascareformasi membuat orang bisa langsung main tunjuk hidung lewat media sosial (medsos) untuk membongkar kasus tanpa basa-basi ala tradisi Orde Lama dan Orde Baru. Setiap hari, konflik internal pun sangat "telanjang" di medsos, termasuk "isi dapur" lingkungan paling sakral, seperti istana atau rumah ibadah.

Jadi, pers kini menghadapi "musuh" yang berbeda jauh dengan sebelumnya karena pemerintah sudah sangat menahan diri di pinggiran dan berganti dengan datangnya "gangguan" dari generasi digital atau warganet yang justru lebih anarkis.

Jika dahulu Kompas dan Tempo mampu membuktikan dirinya sebagai early warning system yang benar dalam kasus korupsi dan KKN karena Ibnu Sutowo akhirnya terbukti dipecat dari Pertamina akibat mewariskan utang 10 miliar dolar AS, atau pemberitaan tentang korupsi yang bermuatan pada krismon bangkrutnya ekonomi RI.

Maka, kini ancaman beredel oleh negara/ pemerintah itu sudah tidak ada lagi. Namun, berganti "beredel" berbentuk ketidakpercayaan masyarakat kepada pers, yang sangat bebas dalam menyalahkan pihak lain, akibat "provokasi" media tanpa redaktur atau medsos.

Celakanya, kebebasan masyarakat itu bukan tanpa risiko. Bahkan, bisa sangat anarkis dengan "menerjang" pada "kelemahan" masyarakat Indonesia berupa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) sehingga sangat bisa memicu konflik horizontal berkepanjangan.

Nah, sejauh mana bangsa ini mampu menahan radikalisme masyarakat dalam isu-isu SARA, apalagi pada tataran masyarakat yang sangat mudah dirasuki kabar bohong (hoaks) yang diyakini benar, padahal palsu.

Di sinilah peran early warning system dari pers bergeser, bukan lagi pada kritik. Prioritas peran pers akan menjadi early warning system dalam bentuk literasi/edukasi pada masyarakat/publik agar cakap bermedsos atau memiliki kesalehan digital sehingga tidak menjadi "bulan-bulanan" medsos tanpa ampun.


Cakap Bermedsos

Bukti dari kerapuhan sebuah bangsa dalam melawan medsos yang "mengaduk" emosi melalui kebohongan fakta dan manipulasi data secara digital sudah dialami Yugoslavia dan bangsa-bangsa di Timur Tengah yang terbukti "kacau" dan bahkan "gaduh" tanpa ujung. Bangsa ini mau begitu?

Jadi, peran early warning system dari pers kini mendidik masyarakat/publik menjadi cakap bermedsos atau masyarakat yang saleh dalam berdigital.

Nah, negara juga harus mendukung peralihan peran pers pada era pascareformasi itu dengan dukungan atau fasilitas penuh kepada pers untuk mendidik masyarakat digital. Masalahnya, negara bersama pers bisa sama-sama "gulung tikar" (tamat) bila diterjang "badai" digital.

Di sinilah negara sangat berkepentingan dengan "peran baru" pers yang strategis dalam menyelamatkan negara dari "gulungan/terjangan" digitalisasi tanpa ampun. Bisa saja negara menggandeng media-media strategis yang sahamnya memang milik republik ini, seperti ANTARA, RRI, dan TVRI.

Hal itu disinggung Direktur Utama Perum LKBN ANTARA Meidyatama Suryodiningrat saat memberikan paparan mengenai model bisnis baru ANTARA pada KTT Media Dunia (World Media Summit) yang digelar secara daring oleh Kantor Berita Cina Xinhua, 22 November 2021.

"Masa depan media sebagai sebuah entitas bisnis bukan pada penurunan kualitas bisnis karena munculnya platform baru, atau kebangkitan media sosial itu justru memberi tempat bagi jurnalis yang cakap meskipun media sosial tumbuh pesat dan konsumsi media pun berubah total," katanya.

Ia menggarisbawahi bahwa kunci perubahan adalah teknologi. "Di ANTARA, kami memperkenalkan sistem redaksional konvergensi berbasis TI (teknologi informasi) dan sistem manajemen baru sejak setahun sebelum pandemi merebak," katanya.

Saat berbicara dalam sesi bertemakan Media Development: New Technology, Better Vision itu, dia menjelaskan bahwa ANTARA memiliki visi untuk melakukan perubahan dengan menerapkan teknologi yang sesuai dengan perubahan itu sendiri.

"Untuk mengubah model bisnis, kami me-rebranding diri sendiri dahulu agar perannya tidak sesederhana kantor berita, tetapi perusahaan penyedia layanan komunikasi dan media terintegrasi kepada berbagai jenis klien kami," ujarnya.

Bahkan, ANTARA sekarang tidak hanya menjual berita, tetapi juga jaringan, keahlian, dan kompetensi di semua sektor komunikasi. "Pada saat semua orang terpikat dengan tampilan halaman, hit, like, viewer, dan jumlah pengunjung, kami menyadari masih ada kekosongan di ruang publik secara fisik," katanya.

Oleh karena itu, Dimas mengaku kantor berita yang kini telah memasuki usia ke-84 tahun itu pun mulai berinvestasi di layar televisi di ruang-ruang publik, seperti stasiun kereta api, rumah sakit, dan gedung perkantoran.

"Layar ini sangat berguna pada masa pandemi sebagai sarana edukasi untuk menggugah kesadaran akan COVID-19 dan norma-norma baru yang harus kita jalankan," kata Dirut ANTARA itu dalam KTT yang dihadiri sekitar 200 orang dari kalangan pemimpin media di ASEAN, Tiongkok (Cina), Korea Selatan, Jepang, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Latin.

Ya, aspek penting saat krisis maupun situasi berubah, bukanlah pada perubahan itu sendiri, melainkan bagaimana mengelola perubahan itu. Untuk itulah, ANTARA melakukan perubahan sistem redaksional dengan melakukan konvergensi berbasis TI (teknologi informasi), kemudian ANTARA juga bersinergi dengan negara untuk mengedukasi masyarakat melawan medsos melalui peran early warning system dalam menyelamatkan negara dari "teror" digitalisasi yang anarkis.


Baca juga: Video Tentang ANTARA Biro Bali
 

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021