Gubernur Bali Wayan Koster meminta Komisi II DPR dapat memperjuangkan usulan mengenai Rancangan Undang-Undang Provinsi Bali sehingga paling lambat pada 2022 sudah bisa dibahas dan masuk dalam program legislasi nasional.

"Melalui RUU tersebut, kami menginginkan Bali bisa dibangun sesuai potensinya. Kami tidak minta macam-macam dan tidak minta otsus, kami cukup diberikan 'payung' agar bisa mengembangkan daerah sesuai potensi yang dimiliki," kata Koster di Denpasar, Senin.

Koster saat menerima kunjungan kerja Komisi II DPR itu mengatakan pentingnya pembahasan RUU Provinsi Bali supaya Bali bisa terlepas dari UU yang mengatur sebelumnya yakni UU Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

"UU 64/1958 itu konsiderannya masih merujuk UUD Sementara 1950 dan negara kita masih berbentuk Republik Indonesia Serikat," ucapnya sembari mengatakan dalam UU tersebut, Bali bersama Provinsi NTB dan NTT termasuk dalam kawasan Sunda Kecil.

Oleh karena Bali belum diatur dengan UU tersendiri, ujar Koster, maka setiap membuat perda dan pergub harus merujuk pada UU 64 itu yang dinilai secara esensial sudah bertentangan sekali dengan prinsip ketatanegaraan Indonesia saat ini.

Baca juga: Wagub minta Baleg DPR percepat RUU Provinsi Bali

Dia pun melihat jika ada orang yang "nakal" dengan UU itu bisa berpotensi menimbulkan separatisme baru.

"Syukurnya tiga provinsi ini baik-baik semua, tidak ada yang nakal, tidak ada yang aneh-aneh," ucapnya.

Menurut Koster, seharusnya jangan sampai ada ruang sedikitpun bagi pihak-pihak tertentu yang menggunakan kesempatan karena ada kelemahan dalam UU 64/1958 itu.

Mantan anggota DPR tiga periode ini menegaskan dalam konsep RUU Provinsi Bali yang telah diajukan itu menitikberatkan supaya kearifan lokal Bali bisa tetap terjaga dan pembangunan di Pulau Dewata bisa dikelola dengan kekuatan sumber daya lokal yang ada.

Selain itu, tentunya dengan memastikan Pancasila tetap sebagai ideologi negara dan juga berdasarkan UUD 1945, NKRI, serta Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam kesempatan itu, Koster pun menyinggung mengenai sejumlah regulasi di kementerian yang menerjemahkan konsep NKRI itu bahwa semua tatanan harus sama, padahal potensi yang dimiliki setiap daerah berbeda-beda.

Baca juga: Pemprov Bali bicarakan pendapatan baru dari pelabelan produk ekspor

Ia mencontohkan penyeragaman itu terkait dengan harus adanya organisasi perangkat daerah/dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), padahal tidak semua daerah memiliki kekayaan tambang dan mineral.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR H Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan pihaknya telah menginventarisasi bahwa ada 20 provinsi yang memang harus disempurnakan undang-undangnya.

Di smemang perlu ada perubahan nomenklatur dari yang masih diatur dengan UUDS 1950 ke UUD 1945. "Dari 20 provinsi ini, yang paling banyak isunya adalah Provinsi Bali," ucapnya.

Ahmad Kurnia menambahkan, dengan perubahan UU Provinsi Bali, sekaligus merupakan momentum untuk memunculkan kekhasan daerah. Pihaknya juga sudah membuat definisi di Komisi II DPR ada perbedaan istilah "kekhususan dan kekhasan".

Dalam kunjungan tersebut, Komis II DPR juga menghimpun bahan atau masukan terkait dengan rekrutmen CPNS dan PPPK, evaluasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, serta masukan mengenai desain dan konsep pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.
 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021