Catatan Redaksi
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi
muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan
masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma
tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif
menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan
mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah
rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu
mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa
depan.
Sri Darma lantas berdiskusi kembali dengan kawan-kawannya untuk mencari kata sepakat. Terbentuklah sebuah kelompok belajar yang beranggotakan Faisal, Sukris Muriatun, Kurnia Nata Atmaja, Gede Ariastina, Ida Bagus Indra Putra, Gede Kurniawan, Runa Sunadi, serta Wijaya Saputra. Bersama merekalah Sri Darma kerapkali menghabiskan waktunya. Ketika sedang tidak ada jadwal kuliah, mereka justru punya acara sendiri untuk menyibukkan diri, yaitu dengan berorganisasi dan belajar bersama.
"Saya dan kawan-kawan juga senang berorganisasi untuk belajar mencari uang. Berorganisasi juga bisa mengajarkan cara bernegosiasi dan berkomunikasi. Saya dan kawan-kawan sering mengadakan berbagai kegiatan di kampus dan mencari sponsor untuk mendukung kegiatan itu. Hampir setiap tiga bulan sekali pasti saya dan kawan lainnya membuat berbagai event."
Demikianlah, sejak memasuki semester IV, Sri Darma dan kawan-kawannya memanfaatkan waktu luang tidak dengan kegiatan hura-hura, melainkan lebih ke hal-hal yang berbau pendidikan. Semua itu memberikan mereka energi untuk mewakili Universitas Udayana mengikuti perlombaan membuat robot yang diselenggarakan oleh universitas-universitas besar di Jawa, seperti ITB maupun ITS.
Tidaklah mudah membuat sebuah robot, sekalipun oleh orang-orang yang sudah belajar elektro. Perlu persiapan yang matang, mulai dari penemuan ide sampai dengan proses pengerjaannya. Tak cukup itu saja, diperlukan pula modal yang jumlahnya cukup besar. Karena itu demi bisa mengikuti lomba, mereka harus mencari sponsor dan kekurangannya ditutupi dengan patungan. Cara itu terpaksa dilakukan, sebab sekalipun kesertaan mereka dalam perlombaan itu membawa nama lembaga, namun tidak ada dukungan dalam bentuk apapun dari pihak kampus.
Bukan hanya masalah permodalan, mereka juga mengupayakan sendiri literatur yang dibutuhkan untuk membuat robot.
"Kami berusaha sendiri. Mencari buku sendiri. Mencari modul cara perakitan juga sendiri. Alat-alatpun kami beli dengan uang hasil dari patungan sama kawan-kawan. Sekalipun dosen di kampus tidak memberi bimbingan, tapi kami tetap bersemangat akan berangkat mengikuti perlombaan dan mewakili Teknik Elektro Udayana."
Kegigihan dan semangat pantang menyerah yang ditampilkan Sri Darma dan kawan-kawan membuahkan hasil, setidaknya terciptalah sebuah robot yang pantas disertakan dalam sebuah perlombaan. Namun gelar juara masih jauh dari harapan. Mereka tidak menyesal, sebab bukan itu tujuan utama mengikuti lomba. Melainkan ingin menunjukkan kalau mahasiswa Teknik Elektro Udayana juga mampu bersaing dengan mahasiswa-mahasiswa dari perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Suatu hal yang membuat mereka bangga, temuan bersama itu sejatinya bisa digunakan dan bermanfaat bagi masyarakat. Unsur itulah yang membesarkan semangat mengikuti lomba. Temuan mereka itu berbentuk robot kincir angin untuk kepentingan rumah tangga. Permasalahan yang ingin diangkat melalui robot tersebut adalah bagaimana memanfaatkan air laut dan angin untuk memunculkan pembangkit tenaga listrik hemat biaya. Cara kerjanya, robot tersebut diletakkan di atas rumah untuk menangkap hembusan angin yang kencang. Konsepnya terdengar sangat sempurna, apalagi ditambah dengan ramah lingkungan karena tenaga yang dimanfaatkan berasal dari alam. Namun di tengah kesempurnaan itu, terselip sedikit kekurangan yang menjadikan temuan mereka kalah bersaing dengan yang dari universitas lain. Itu karena temuan mereka nantinya akan dihambat oleh kondisi riil di masyarakat, sebab masalahnya daya listrik yang diperolehnya hanya 500 volt amper. Sedangkan umumnya aktivitas rumah tangga membutuhkan sekitar 1300 volt amper.
Sekalipun daya listrik yang dihasilkan masih jauh dari rata-rata kebutuhan rumah tangga, namun mereka bangga sebab temuan itu akan menjadi studi awal oleh mahasiswa generasi berikutnya. Temuan itu bisa dijadikan sebagai pijakan untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik di masa yang akan datang. Lebih jauh lagi, keberanian mereka dalam pembuatan robot di tingkat nasional akan dijadikan acuan dan panutan oleh generasi berikutnya. Harapan mereka terwujud, sebab di kemudian hari, para juniornya meneruskan jalan yang telah dirintis, sehingga keberadaan Jurusan Teknik Elektro Universitas Udayana mulai dikenal, sekalipun hasil temuannya masih kalah dari penemuan mahasiswa-mahasiswa kampus ternama di Jawa.
Selain telah membuka jalan bagi para juniornya untuk berani mengikuti perlombaan pembuatan robot di tingkat nasional, secara pribadi, Sri Darma mengakui memperoleh manfaat yang luar biasa dari perlombaan yang diikutinya bersama dengan kelompoknya itu. Manfaat tersebut adalah pentingnya arti sebuah inovasi dan invensi.
Kedua konsep itulah yang diterapkan seorang mahasiswa dari Universitas Brawijaya, sehingga dia berhasil memenangkan perlombaan tersebut. Mahasiswa Universitas Brawijaya tersebut adalah kawan sekelasnya ketika di SMAN 1 Denpasar. Namanya I Putu Ardana.
Putu Ardana berhasil menciptakan sebuah alat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat berupa antena pesawat televisi. Kualitas antena yang dihasilkan jauh di atas yang sudah umum dijual dipasaran. Istilah kasarnya, sampai tidak ada lagi "semut-semut" yang tampak di layar kaca televisi jika sudah menggunakan antena hasil temuan Ardana. Itulah sebabnya penemuannya segera dipatenkan dan ada investor yang memproduksinya secara massal dengan merk dagang Antena Kabeh.
Keberhasilan Ardana menciptakan antena Kabeh merupakan cambuk bagi Sri Darma untuk semakin maju dalam pendidikan. Dia menjadi semakin gigih memperjuangkan prestasi belajar di tengah keterbatasan fasilitas perkuliahan. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah membeli berbagai macam buku, berbahasa Indonesia maupun Inggris di Kota Malang. Tidak hanya sekali. Setiap enam bulani, Sri Darma selalu pergi ke Malang untuk mengunjungi adiknya, Nyoman Sri Subawa, yang kuliah di Universitas Brawijaya. Sekaligus pula membeli buku.
Di Malang, ada sebuah toko yang menjual beragam jenis buku. Namanya Toko Buku Uranus. Keistimewaan toko buku ini, karena selalu memberikan diskon yang berlaku untuk semua buku. Buku yang disasar Sri Darma terutama tentang Teknik Elektro, yang sama sekali belum pernah dijelaskan oleh para dosen di kampus. Keseriusannya membaca buku-buku yang dibelinya itu membuahkan hasil, seperti terlihat dari nilai-nilai ujiannya yang selalu meraih nilai sempurna, yaitu A. Ini membuat dosennya bingung sekaligus terkejut bagaimana Sri Darma bisa menjawab pertanyaan dengan sebagus itu. Sang dosen rupanya belum mengetahui kunci keberhasilan Sri Darma terletak pada keseriusannya belajar secara mandiri.
Keseriusan Sri Darma belajar secara mandiri, boleh juga disebut sebagai caranya bangkit dari keterpurukan, sebab sebelumnya dia boleh dikatakan telah mengalami kegagalan. Peristiwa itu terjadi saat dia masih duduk di semester tiga, tanpa pernah diduga Indeks Prestasinya terjun bebas ke angka 1,7. Dari tujuh mata kuliah yang diambilnya, ada tiga mata kuliah yang dinyatakan tidak lulus. Sedangkan empat mata kuliah lainnya lulus, tapi dengan nilai sekedarnya, C. Pantas saja kalau dikatakan semester tiga merupakan masa yang terburuk dalam sejarah perjalanan akademik Sri Darma. Pasti ada faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Faktor itu tidak ada kaitannya dengan kesibukan berorganisasi, melainkan karena terlena pacaran. Itulah masa pertama kalinya Sri Darma mengenal dan merasakan indahnya bunga-bunga asmara dengan seorang gadis idaman.
Anjloknya prestasi Sri Darma terdengar di telinga ayahnya. Dia didudukkan di kursi. Raut muka marah tampak di wajahnya. Namun sesaat kemudian sang ayah merangkulnya. Dia dinasehati untuk segera bangkit. Tidak boleh terlalu lama meratapi kegagalan. Kegagalan tidak layak diratapi melainkan harus dihadapi demi sebuah kebaikan. Tak cukup hanya dengan semangat, sang ayah juga mengajari sedikit tentang bagaimana seharusnya menghargai sebuah kehidupan yang sudah digariskan Sang Pencipta. Salah satu bentuk pengajaran yang dilakukan oleh ayahnya adalah disiplin dalam penggunaan uang.
Ajaran mengenai cara-cara penggunaan uang sudah sering didengar oleh Sri Darma dari mulut ayahnya. Dulu ketika masih di SMP dan SMA, sang ayah membatasi uang sakunya. Ternyata saat kuliah juga tidak ada perbedaannya. Hanya 130 ribu rupiah setiap bulannya. Uang sejumlah itu cukup untuk memenuhi gaya hidup anak kuliahan. Harus membeli bensin, apalagi saat itu dia sudah membawa mobil. Setelah terpotong untuk membeli bensin, masih harus memikirkan untuk mentraktir pacar saat berkencan. Tidak mungkin pergi berkencan dengan dompet kosong. Kondisi anak muda yang seperti ini sudah terbaca sebelumnya oleh sang ayah. Namun tetap saja tak ada niatan dari ayahnya untuk menaikkan uang saku.(*)
Menembus Batas, Professor Sri Darma di Era Global dan Digital (16)
Rabu, 14 Desember 2016 16:10 WIB