Gurat wajah Jusuf Kalla sama sekali tidak menunjukkan kelelahan, meskipun baru menempuh perjalanan udara selama 30 jam lebih dari Jakarta ke Lima, dengan tiga kali transit di Guam, Honolulu, dan Acapulco.
"Gimana kabar kalian? Sudah makan?" sapa Wapres Kalla kepada sejumlah wartawan Indonesia di salah satu ruang "media conference" di Lima Convention Center sebagai tempat digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) Peru 2016, Sabtu (19/11) waktu setempat atau Minggu WIB.
Meskipun hanya dihadiri wakil presiden, perhatian para pemimpin ekonomi APEC tetap kepada Indonesia. Bahkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama bangkit dari tempat duduknya untuk mendatangi meja Jusuf Kalla dalam kesempatan jamuan makan malam di Ibu Kota Peru tersebut.
Obama menyapa Kalla dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ia pun berjanji akan datang lagi ke Indonesia setelah merampungkan tugas-tugasnya sebagai Presiden AS untuk periode keduanya itu bersama seluruh anggota keluarganya untuk bernostalgia sekaligus melepas lelah pascaberkuasa.
Kesempatan langka itu tidak disia-siakan Kalla. Tanpa sungkan-sungkan, Wapres menanyakan masa depan AS dan hubungannya dengan negara-negara di kawasan setelah Donald Trump dari Partai Republik bertahta di negara adidaya tersebut pada Februari tahun depan.
Lama berpikir, tak kunjung keluar jua jawaban dari mulut Obama. Kalla pun mengeluarkan pertanyaan lanjutan agar lebih mudah bagi Obama untuk menjawabnya.
"Kira-kira di atas 50 persen atau di bawahnya, kampanye Trump itu akan jadi kebijakannya kelak," tanya Kalla yang langsung mendapat respons Obama, "di bawah 50 persen."
Obama, sebagaimana ditirukan Kalla, meminta semua pemimpin ekonomi APEC agar tidak risau dengan kebijakan pengganti dari rival politiknya itu kelak.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan, resistensi Indonesia dalam hubungannya dengan AS tidak sebesar negara-negara lain, seperti China, Singapura, Jepang, atau mungkin Malaysia.
"Kita fokus saja pada perekonomian dalam negeri. Besarnya jumlah penduduk, itu menjadi kelebihan kita. Konsumen China, Singapura, Malaysia di AS sangat banyak. Beda dengan kita," kata Kalla.
Oleh sebab itu, apa pun yang terjadi di AS di bawah pemerintahan Trump nanti, Indonesia tidak banyak terpengaruh.
Namun Indonesia bagaimana pun harus tetap mengingatkan AS agar berkomitmen dalam perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik tanpa diskriminatif sebagaimana cita-cita para deklarator APEC di Bogor pada 1994 atau yang dikenal dengan rekomendasi "Bogor Goals".
Dalam pertemuan 22 tahun silam di Bogor, Jawa Barat, para pemimpin ekonomi APEC mendorong perdagangan dan investasi terbuka di Asia-Pasifik dimulai pada 2010 untuk negara ekonomi industri dan tahun 2020 untuk negara ekonomi berkembang.
Pada waktu itu anggota APEC hanya Australia, Brunei, Kanada, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, AS, China, Hong Kong, Taiwan, Meksiko, Papua Nugini, dan Chile.
Pada saat itu, motor ekonomi dunia hanya AS dan Jepang. Namun, sekarang ada China yang memainkan peranan itu sehingga terjadi pergeseran kekuatan di kawasan yang konon mengendalikan 60 persen ekonomi dunia.
Perang Dagang
"Bogor Goals" kembali menemukan momentum dalam KTT APEC di Peru yang dihadiri 21 pemimpin ekonomi itu, mengingat gejala perang dagang sudah mulai tampak di depan mata setelah Trump menebar ancaman.
Kalau Trump benar-benar menjalankan kebijakan sesuai dengan kampanyenya, maka bukan tidak mungkin kendali ekonomi global akan berpindah.
"Jadi ada dua alternatif, apakah AS pada posisinya yang mendominasi perekonomian ataukah negara-negara lain mengambil inisiati" kata Kalla.
China, tentu saja, menjadi satu-satunya negara yang paling siap menggantikan peran AS di kawasan. Setelah sempat menemui Trump beberapa waktu lalu, Presiden Xi Jin-ping bersafari ke negara-negara di Amerika Selatan.
Bahkan di Peru, bukan hanya Presiden Pedro Pablo Kuczynski yang ditemuinya sampai-sampai beberapa ruas jalan protokol menuju istana Plaza de Armas di Lima ditutup total selama dua jam lebih pada Senin (21/11) waktu setempat (Selasa WIB) di bawah pengamanan ekstra ketat, melainkan juga Presiden Xi mendapatkan kesempatan berbicara di depan parlemen setempat.
Presiden dari negara asing berbicara di depan parlemen negara lain merupakan peristiwa yang langka. Apalagi Plaza de Armas yang dikenal hingga mancanegara karena gaya bangunan klasiknya itu dinyatakan tertutup untuk umum juga fenomena tidak biasa.
Namun hal itu sebanding dengan kesadaran dunia internasional akan situasi dan kondisi perekonomian saat ini, situasi kalau saja AS tiba-tiba menjadi negara yang proteksionis seperti yang beberapa kali ditegaskan Trump dalam kampanyenya.
"Tidak ada pilihan lain, memang China lah yang nanti harus berperan," kata Sofyan Wanandi selaku koordinator Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla saat ditemui di Los Angeles, Selasa waktu AS (Rabu WIB), saat transit dalam perjalanan dari Lima menuju Jakarta itu.
Peran Indonesia pun tidak kalah pentingnya dalam situasi seperti itu. Saat negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam dirundung keresahan atas ancang-ancang AS keluar dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), Indonesia malah paling tenang.
Bukan saja Indonesia masih mempertimbangkan banyak hal atas ajakan bergabung dengan TPP itu, melainkan usulan Indonesia agar negara-negara anggota "Pacific Alliance", yakni Meksiko, Peru, Chile, dan Kamboja untuk meningkatkan hubungan dengan ASEAN mendapatkan sambutan hangat dari pemimpin ekonomi APEC.
"Kalau TPP tidak jadi, kenapa ASEAN dan 'Pacific Alliance' tidak bangun hubungan. Itu kan lebih baik daripada TPP," ujar Kalla.
Satu lagi yang tidak kalah pentingnya dari KTT APEC Peru 2016, yakni isu pembangunan perdesaan dan pengentasan kemiskinan (RDPA) yang dimasukkan dalam komunike bersama para pemimpin ekonomi tersebut.
RDPA tersebut mencakup pengembangan produk yang di dalamnya adalah produk-produk pertanian yang dapat menopang ketahanan pangan di kawasan.
"Bagaimana agar produk pangan itu bisa berkelanjutan. Nah, di sinilah butuh perhatian yang besar pada pembangunan wilayah perdesaan," demikian kata Kalla menanggapi kegusaran sejumlah pemimpin ekonomi APEC atas adanya ancaman terhadap ketahanan pangan pada masa mendatang. (WDY)
Indonesia, Penyeimbang Kekuatan Asia-Pasifik
Sabtu, 26 November 2016 7:52 WIB