Semarapura (Antara Bali) - Museum Seni Lukis Klasik Bali Nyoman Gunarsa (MSLKBNG) di Banda, Takmung, Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, mengembangkan taman taru permana sebagai langkah melestarikan jenis-jenis tanaman yang memiliki khasiat pengobatan tradisional.
"Sekarang ini memasuki musim penghujan, jadi tanaman koleksi museum lebih ditata dan mendapat perhatian agar tumbuh maksimal," ujar pendiri taman taru permana Indrawati Gunarsa di Semarapura, Kamis.
Keberadaan tanaman di lingkungan museum seluas lima hektare ini, diharapkan nanti bisa bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat sekitar. Yakni dipergunakan dalam upakara pada upacara keagamaan, dan khususnya dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan.
Mengenai pemupukan tanaman, lanjut Indrawati, hanya menggunakan pupuk organik. Terdiri atas humus tanaman, kotoran sapi dan kuda yang dipelihara di kawasan museum.
"Jika memungkinkan saya akan tata koleksi tanaman di museum agar tidak kalah dengan Monet Garden, hanya kadang-kadang terkendala waktu saja," ujar dia.
Ia menambahkan, ribuan tanaman yang menjadi koleksi museum, memang diperuntukkan untuk menunjang keberadaan Museum Usadha, yang diinginkan bisa menjadi alternatif berobat bagi masyarakat. Tujuannya agar tidak melupakan apa yang sudah menjadi warisan dari leluhur.
"Museum Usadha ini sudah lama direncanakan karena saya memang suka tanaman dan mengoleksi lebih dari 200 ramuan obat tradisional. Sejak tahun 1990-an, saya mulai mengumpulkan tanaman obat sebagai bahan baku obat-obatan tradisional," katanya.
Museum Usadha, dibangun atas dasar kecintaan pada tanaman dan ketidakasingan dengan tradisi mengkonsumsi jamu tradisional. Inilah yang menjadi latar belakang utama didirikannya Museum Usadha.
"Berdasar pada kecintaan pada tanaman, maka sudah lama saya mengumpulkan tanaman obat dari berbagai daerah. Negeri kita ini kaya dengan tanaman obat. Setiap jengkal tanah mengandung obat. Kekayaan Indonesia pada rempah-rempah yang membuat negeri kita diperebutkan penjajah," ucap dia.
Adapun tanaman yang sudah dibudidayakan mencakup brotowali, `piduh`, daun sembung, mahkota dewa, kumis kucing, kunyit putih, sambiloto, kelor lanang Dayak, temu mangga, `suweg`, kunyit gonseng dan ratusan jenis tanaman obat lainnya. Tanaman obat itu ditanam langsung di tanah dan dibiarkan bertumbuh secara alami.
Kegiatan mengumpulkan tanaman obat dari berbagai daerah dilakukan sebagai contoh pada masyarakat sekitarnya. Contoh agar masyarakat tidak mengabaikan tanaman obat yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan keseharian.
"Zaman ketika saya masih kecil di Temanggung, Jawa Tengah, keluarga saya sudah menanam tanaman obat yang sekarang disebut sebagai apotek hidup. Kegiatan menanam atau membuat obat sendiri dari tanaman di pekarangan, sudah tidak asing bagi saya. Sekarang harus dimasyarakatkan lagi apotek hidup, karena `local genius` mestinya diangkat," ujarnya.
Bahkan, tidak hanya tanaman obat keluarga, jenis buah-buahan langka pun menjadi koleksi yang sengaja ditanam untuk menghijaukan museum. Bibit tanaman buah langka itu sengaja dicari dari Kebun Raya Bogor atau sentra tanaman di berbagai daerah.
"Sudah tak terhitung sekarang jumlah tanaman buah langka itu. Buah-buahan yang menjadi favorit misalnya kepel yang merupakan tanaman sejak zaman Majapahit, juwet putih, sawo beludru dan wani dengan kualitas manis grade utama," katanya. (WDY)