Jakarta (Antara Bali) - Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS)
menyarankan agar Presiden Joko Widodo membatalkan Peraturan Presiden No
115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan
secara Ilegal karena dinilai bertentangan dengan undang-undang.
Ketua IIMS, Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh di Jakarta,
Senin mengatakan, Perpres No 115 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden
Joko Widodo pada 19 Oktober 2015, bertentangan dengan UU No 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 32 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (TNI), serta tidak sesuai dengan KUHAP.
Apalagi, kata dia, Presiden Joko Widodo sebelumnya juga sudah
memberikan arahan untuk fokus memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla)
RI sebagai satu-satunya institusi yang berwenang dan bertanggung jawab
di laut dengan mengubah nama menjadi Coast Guard sesuai Perpres No 178
Tahun 2014.
Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) ini menjelaskan,
pembentukan organisasi, pelaporan, dan masa tugas yang menempatkan
Menteri Kelautan sebagai Komandan Satuan Tugas dan Wakil Kepala Staf TNI
AL sebagai kepala pelaksana harian dengan kewenangan memegang komando
dan pengendalian terhadap kapal, pesawat udara, serta teknologi lainnya
dari TNI AL, adalah tidak sejalan dengan UU No 3 Tahun 2002.
Pada pasal 18 ayat (2) UU No 3 Tahun 2002 menyatakan, Panglima TNI
sebagai penyelenggara perencanaan strategi dan operasi militer,
pembinaan profesi dan kekuatan militer, serta memelihara kesiagaan
operasional.
Bernard menegaskan, penggunaan kekuatan TNI merupakan kewenangan
Panglima TNI sesuai pasal 19 ayat (1) UU No 34 Tahun 2004 yang
menyatakan tanggung jawab penggunaan kekuatan TNI berada pada Panglima
TNI, dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Selain itu, kata dia, patut dipahami bahwa Wakasal tidak memiliki
otoritas pelaksanaan komando dan pengendalian, karena otoritas itu ada
pada Panglima Armada atas perintah Panglima TNI.
Mantan Irjen TNI ini juga mengingatkan, bahwa perjuangan bangsa
Indonesia untuk menjaga keutuhan dan memelihara keamanan laut wilayah
dan laut di bawah yurisdiksinya merupakan sebuah perjalanan panjang,
dimulai dengan Deklarasi Juanda pada 1957 yang dicetuskan Perdana
Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja.
"Deklarasi Djuanda menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia
adalah laut sekitar, di antara dan di dalam wilayah NKRI, sehingga laut
harus dimaknai sebagai pemersatu, bukan pemisah antara satu pulau dengan
pulau lainnya," katanya.
Menurut dia, Deklarasi Djuanda ini diterima dunia internasional
dan ditetapkan sebagai konvensi hukum laut PBB ketiga, pada 1982, yang
diratifikasi dengan UU Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS
1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Guna mengoptimalkan penegakan hukum di laut, kata dia, pada 1972
dibentuklah Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan
surat keputusan bersama (SKB) 4 Menteri yakni Menhankam/Pangab, Menteri
Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung.
Namun dalam implementasinya, menurut dia, Barkorkamla tidak
berjalan optimal karena lembaga-lembaga lain yang memiliki kewenangan
penegakan hukum di laut tetap berjalan sendiri-sendiri. Bernard menambahkan, lahirnya UU No 34 Tahun 2014 tentang Kelautan
yang mengamanahkan pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang
bertanggungjawab langsung pada presiden RI.
Namun realitasnya, kata dia, belum juga diberlakukan sebagai
"single agency multi task" karena adanya ego sektoral dari intansi
terkait lainnya. Presiden Joko Widodo kemudian menerbitkan Perpres No 115 Tahun 2015. "Ironisnya Perpres tersebut bukannya memperkuat Bakamla, tapi malah membentuk Satgas," katanya. (WDY)
Bernard Sondakh Sarankan Presiden Batalkan Perpres Satgas PPII
Selasa, 3 November 2015 9:23 WIB