Oleh I Komang Suparta
Denpasar, 30/9 (Antara) - Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) secara konsisten menolak draf RUU Kerukunan Antarumat Beragama, karena dianggap sebagai bentuk kriminalisasi pemeluk agama.
"UU Kerukunan Umat Beragama atau apa pun namanya, merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pemeluknya. Makanya UU ini dipastikan akan ditolak Konferensi KWI," kata Romo Johannes Hariyanto dari KWI, saat ditemui pada acara "Konferensi Internasional Asian Journey" di Kuta, Bali, Rabu.
Menurut dia, alasannya adalah agama dan kebebasan beragama tidak bisa dijadikan produk UU karena agama itu adalah keputusan orang perorang untuk menghayatinya.
"Agama itu keyakinan. Keyakinan itu tidak bisa kelihatan, hanya bisa dihayati dan diamalkan. Bagaimana mungkin negara mengatur penghayatan dan pengamalan keagamaan seseorang. Kalau itu terjadi maka negara sebenarnya telah mengkriminalisasi pemeluknya yang sebenarnya negara harus melindungi," ujarnya.
Bila UU ini diterapkan, kata dia, maka negaralah yang menentukan kebenaran sebuah agama.
"Pertanyaannya, apakah bisa negara menentukan sebuah agama itu benar atau salah? Ini benar-benar bentuk kriminalisasi negara terhadap pemeluk agama yang sebenarnya harus dilindungi," ujarnya.
Terlebih, kata Romo Johannes, draf RUU Kerukunan Umat Beragama sangat minim meminta masukan dari seluruh elemen terkait. Draf itu hanya disusun oleh sekelompok agama tertentu. Akibatnya, definisi agama juga menjadi tidak jelas. Kalau menggunakan defenisi agama yang memiliki kepercayaan akan Tuhan yang satu (monoteis), memiliki wahyu, memiliki kitab suci, memiliki nabi, maka habislah agama lain di Indonesia.
Karena definisi itu hanya bisa diterapkan kepada agama Islam dan Kristen. Ini lagi-lagi kriminalisasi agama. Draf itu belum disosialisasikan secara masif kepada seluruh agama di Indonesia.
"Jangan sampai diam-diam RUU ini kemudian diundangkan menjadi UU. Maka negara ini telah membuat kebohongan publik," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, KWI secara tegas dan berkomitmen menolak UU tersebut karena dinilai menindas pemeluknya. Diskursus yang berkembang di KWI saat ini secara mutlak akan menolak UU tersebut dan bahkan sudah menyusun naskah tandingan yang lebih netral, lebih normal.
Berbagai diskusi yang berkembangan dikatakan bahwa hukum itu adalah hasil sebuah ajaran kebudayaan yang dihidupi. Hukum itu melindungi yang lemah dan membatasi kekuasaan yang kuat. Sementara agama itu punya rumusan yang berbeda. UU itu kontra produktif, melawan konsepnya sendiri.
Sementara Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama Eusabius Binsasi menjelaskan, pemerintah merasa perlu agar ada UU Perlindungan Umat Beragama. Ini untuk mengatur hidup antara umat beragama.
"Kehidupan beragama itu memang urusan pribadi, tetapi penghayatan seseorang akan agamanya tidak bisa melanggar hak orang lain," ujarnya.
Ia menjelaskan jika draf RUU Kerukunan Umat Beragama sudah ada. Kajian dan naskah akademisnya dibuat berdasarkan peraturan bersama Mendagri dan Menag yang dirumuskan oleh lembaga-lembag agama. Di Indonesia itu orang bisa menentukan kebenaran sebuah agama.
"Draf itu sudah dikirim ke seluruh tokoh, lembaga, institusi keagamaan untuk menerima berbagai masukan sebelumnya disahkan menjadi UU. Namun hingga kini draf tersebut masih dalam tahap perdebatan dan belum mencapai kata sepakat," katanya. (WDY)