Jakarta
(Antara Bali) - Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan rencana
memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ke
dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai tindakan
yang inkonstitusional.
"Pasal itu sudah pernah dinyatakan
inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2006 yang
menyidangkan perkara Nomor 013/PUU-IV/2006," kata Hendardi melalui pesan
tertulis diterima di Jakarta, Selasa.
Hendardi mengatakan norma yang sudah dibatalkan MK tidak boleh diambil kembali menjadi sebuah norma dalam undang-undang baru.
"Bila
dipaksakan dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum sekaligus
pelanggaran terhadap konstitusi Undang-Undang Dasar 1945," tuturnya.
Menurut
Hendardi, keinginan untuk menghidupkan kembali pasal tersebut merupakan
bentuk ketidakpatuhan terhadap konstitusi. Hal itu menunjukkan
ketidakpahaman pemerintah terhadap praktik ketatanegaraan Indonesia
Pemerintah
mengusulkan revisi Undang-Undang KUHP kepada DPR. Pembahasan revisi
undang-undang itu sedang dibahas Komisi III bersama dengan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dalam rancangan undang-undang
tersebut, pemerintah mengajukan 786 pasal. Pasal 263 Ayat (1)
menyebutkan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV bagi setiap orang yang menghina presiden atau
wakil presiden di muka umum.
Sedangkan Pasal 264 menyebutkan
setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman
penghinaan tersebut sehingga terdengar oleh umum dapat dipidana dengan
hukuman yang sama. (WDY)
Setara: Pasal Penghinaan Presiden Inkonstitusional
Selasa, 4 Agustus 2015 14:50 WIB