Denpasar (Antara Bali) - Umat Hindu di Bali menggelar kegiatan ritual Tumpek Wayang dengan mempersembahkan rangkaian janur (banten) kombinasi bunga, kue dan buah-buahan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang umumnya dilakukan di tempat suci keluarga masing-masing (merajan), Sabtu
"Namun bagi seniman dalang wayang kulit, atau keluarga yang mewarisi seperangkat wayang kulit dari leluhurnya menggelar kegiatan ritual secara khusus," kata Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar, Dr I Ketut Sumadi.
Ia mengatakan, demikian pula orang yang lahir bertepatan dengan Tumpek Wayang sehingga hari ini otonan yang jatuh dua kali dalam setahun atau sejenis hari ulang tahun itu sebaiknya jika memungkinkan disertai dengan pementasan wayang kulit.
"Adanya prosesi ritual yang disebut Tumpek Wayang, hari baik dalam kelender Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual yang bermakna untuk menghormati wayang kulit agar tetap mempunyai taksu (kharisma), sesuai watak dalam pementasan," ujar Ketut Sumadi.
Bagi keluarga yang ekonominya mampu, setiap rangkaian ritual itu diiringi dengan pementasan kesenian yang tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Masyarakat Bali hingga kini masih mempercayai bahwa orang yang lahir bertepatan pada hari Tumpek Wayang atau hari keramat. Untuk menjadikan yang bersangkutan kembali mempunyai keseimbangan lahir dan batin, maka pada saat hari ulang tahun, yang di Bali lumrah disebut "Otonan" itu wajib dibuatkan ritual otonan dan dimeriahkan dengan pementasan wayang kulit,
Hal itu bukan berarti hari-hari lain tidak perlu mementaskan wayang kulit, karena pementasan seni tradisional itu erat kaitan dengan kelengkapan ritual keagamaan yang dilaksanakan di Pura maupun oleh masing-masing warga masyarkat setempat.
Ketut Sumadi menjelaskan, selain lewat prosesi ritual Tumpek Wayang, leluhur orang Bali sejak dini telah mengajarkan prilaku nyata sejak usia dini. Hanya saja, cara atau metode masih bersifat tidak transfaran dan penuh misteri (mekulit), sehingga untuk mengupasnya diperlukan ketajaman intuisi dan intelektual tersendiri.
Para orang tua zaman dulu seperti sengaja tidak mau memberi penjelasan secara rinci, karena mereka takut metode itu disalahgunakan atau bisa mengurangi nilai sakralitasnya, khususnya yang berkaitan dengan bidang kesenian, nilai-nilai pendidikan , karakter yang terkandung dalam ritual Tumpek Wayang.
Hal itu diimplementasikan dengan membentuk sekaa (grup) penari dan penabuh yang semua aktivitas mereka berolah seni berlangsung di balai banjar dan mendapat pengayoman dari warga banjar dengan baik.
Setiap banjar (dusun) di Bali memiliki grup kesenian yang anggotanya anak-anak dan orang dewasa. Sehingga setiap banjar sepertinya berlomba mementaskan kepiawaiannya menari dan menabuh, baik dalam rangka pementasan (ngayah) di pura saat piodalan maupun pada hari-hari tertentu seperti pada hari raya Galungan dan Kuningan, ujar Ketut Sumadi. (WDY)