Denpasar (Antara Bali) - Pengamat dan pelaku seni budaya Bali, Kadek Suartaya, SS Kar, MSi menilai, pementasan seni kebyar sebagai "balih-balihan" melengkapi kegiatan ritual di tempat suci (pura) sering kali mempersembahkan sajian tari Tarunajaya.
"Salah satu kesenian klasik, namun tetap mempesona itu memiliki ekspresi estetik yang disajikan dalam gelora yang menggugah," kata Kadek Suartaya yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, lebih-lebih dalam kegiatan Pesta Kesenian Bali (PKB), aktivitas seni tahunan di Pulau Dewata sejumlah grup seni pertunjukan yang secara khusus menyuguhkan tari kreasi atau seni kebyar.
Pesta kesenian tersebut banyak yang menjadikan tari Tarunajaya sebagai nomor pamungkas yang mampu memukau penonton. Padahal tari yang dibalut dengan busana perada meriah itu mungkin sudah berkali-kali disaksikan para penonton.
Kadek Suartaya menambahkan, cikal bakal munculnya tari Tarunajaya didahului oleh hadirnya tari Kebyar Legong.
I Wayan Paraupan atau Pan Wandres, seorang seniman dari Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali Utara menciptakan sebuah tarian yang dibawakan oleh dua orang penari pada 1915.
Elemen-elemen yang dijadikan konstruksi tari yang berdurasi panjang itu merupakan kombinasi tari Baris, Jauk, dan Legong. Tari tersebut sejak awal diiringi dengan gong Kebyar, gamelan yang kini hampir dimiliki oleh setiap banjar atau desa di Bali.
I Gede Manik, bersama pasangannya, Mangku Ongka, adalah penari pertama dari tari Kebyar Legong. Pada 1925, Gede Manik menunjukkan jati dirinya sebagai seorang kreator tari.
Berorientasi dari tari Kebyar Legong yang sering dibawakannya, Gede Manik menggagas karya tari Kebyar Legong versi lain, lebih pendek durasinya namun tetap menunjukkan karakteristik tari yang dinamis.
"Tari yang bernuansa gelora taruna nan heroik yang belum diberinya nama itu--saat disaksikan pertama kali oleh Presiden Soekarno--diberi nama Tarunajaya. Manik menerima dengan bangga," ujar Kadek Suartaya. (WDY)