"Musik adalah bahasa ruh. Ia membuka rahasia kehidupan, membawa perdamaian, dan menghapuskan perselisihan."
Begitulah Kahlil Gibran dalam mengartikulasikan musik yang kemudian banyak orang menyebut bahwa musik adalah bahasa universal umat manusia.
Personel The Beatless, John Lennon menyerukan perdamaian melalui tembang andalannya "Imagine" yang sampai sekarang masih akrab di telinga para penikmat musik.
Demikian pula dengan grup musik cadas asal Eropa, Scorpions, mendambakan perdamaian dunia melalui lagu "Wind of Change" yang sangat melegenda itu.
Michael Jackson pun turut menyampaikan pesan perdamaian dalam lagunya yang sangat populer "Heal The World".
Dalam video klip lagu yang dirilis pada 1991 itu, Raja Pop asal Amerika Serikat, yang meninggal pada 25 Juni 2014, tersebut membawa serta anak-anak kaum papa menyalakan lilin sambil berseru "Heal the world, make it a better place for you and for me and the entire human race."
Lalu di Indonesia ada grup kasidah asal Semarang, Jawa Tengah, Nasyida Ria, yang kondang pada tahun 1980-an dengan lagunya berjudul "Perdamaian".
Lagu itu pun kemudian dikemas secara apik oleh grup musik papan atas di Tanah Air, Gigi, dengan sentuhan tempo irama cepat dan terkesan "ngerock" agar lebih akrab di telinga kawula muda.
Mereka, para penyeru perdamaian itu hidup di era industrialisasi. Mereka penggerak utama industri musik. Kreativitas mereka tentu saja setimpal dengan imbalan materi yang didapatkannya.
Bagi mereka musik bukan kegemaran belaka, melainkan juga pundi-pundi harta. Entah itu royalti atau honor "manggung" di berbagai tempat.
Hal ini pula yang dirasakan oleh para mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Melalui "Wali Band", mereka tidak hanya menuangkan ide kreativitasnya akan kegemarannya memainkan alat musik dan bernyanyi, melainkan juga telah menjadi sandaran hidup.
Namun sebagai santri, mereka sadar bahwa popularitas dan limpahan materi yang didapatkannya bukan semata-mata dihasilkan oleh kreativitas dan kecerdasan emosionalnya.
"Ada `tangan` yang terlibat sehingga kami menganggap hal ini sebagai keajaiban," kata Apoy, penggagas terbentuknya "Wali Band" yang pandai mencipta lagu dan piawai memainkan gitar itu.
Alumnus pondok pesantren di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, itu tidak ingin kreativitasnya bersama Faang (vokal), Tomi (drum), dan Ovie (keyboard) selalu dikonversikan dengan nilai materi semata.
"Kami tidak ingin mengutamakan kepentingan bisnis karena di setiap kreativitas kami selalu ada unsur `barokatologi`," ujar Apoy, saat ditemui seusai "manggung" di Taoyuan Stadium Arena, Taiwan, Minggu (23/11) malam.
Barokatologi
Bagi mereka bekerja tanpa beramal bagaikan pohon tanpa buah. Oleh karena itu, mereka tak hanya mengandalkan kekuatan talenta lahiriah, melainkan juga kedekatan batin dengan Sang Pencipta.
"Barokatologi itulah yang menaungi kami," tutur pria kelahiran 8 Maret 1979 yang memiliki nama lengkap Aan Kurnia itu.
Istilah berkah atau "barokah" sangat lazim bagi anak-anak pesantren. Sikap taat kepada guru dan rendah diri (tawadhu) merupakan modal utama bagi anan-anak pesantren bila ilmu yang mereka dapatkan mengandung berkah.
Berkah dalam arti luas mengacu pada standar kualitas, bukan kuantitas. Oleh karena itu, barokatologi bagi Apoy dan kawan-kawan di "Wali Band" menjadi nafas di setiap hasil karya mereka.
Apalagi saat ini Apoy, Faang, Tomi, dan Ovie masih dalam tataran mencari jati diri sebagai remaja shaleh sekaligus "role model" bagi anak muda lainnya.
Metode dakwah yang dipelajari di bangku kuliah dan madrasah dipadukan dengan totalitas seni ala Bang Haji Rhoma Irama. Sehingga mereka memilih musik sebagai media yang sangat efektif dalam menyampaikan pesan positif kepada masyarakat.
Apoy tidak ingin larut dalam perbedaan mazhab bermusik. "Mau orang lain menyebut musik kami kampungan, melayu, atau dangdut, silakan! Asal musik kami tak dianggap aliran sesat," selorohnya.
Baginya, jenis musik apa pun, asalkan enak didengar maka tugas utamanya menyampaikan pesan kepada khalayak telah berhasil. "Zaman sekarang ini serba sulit, kenapa harus bikin lagu-lagu yang sulit?" ujarnya menanggapi penilaian berbagai pihak bahwa karya-karya Wali Band terkesan "easy come, easy going" itu.
Dengan lagu-lagu yang pilihan notasinya sederhana dan liriknya cenderung jenaka, seperti Cari Jodoh, Tobat Maksiat (Tomat), dan Nenekku Pahlawanku, sudah barang tentu "tidak berkelas" bagi sebagian penikmat musik.
Namun, lagu-lagu seperti itu yang saat ini digandrungi masyarakat. Bahkan tidak sedikit, lagu-lagu karya Apoy bersama Wali Band dinyanyikan dalam versi dangdut, sehingga menyentuh segala lapisan masyarakat.
Percaya akan berkah yang mereka sebut dengan istilah "barokatologi" itu, anak-anak Wali Band tidak lupa untuk beramal, setidaknya hingga tiga album yang dirilisnya sejak 2008.
Bahkan, sebagian dari hasil penjualan cakram padat, nada tunggu, dan "manggung" di berbagai tempat dari album keempatnya bertitel "Doain Ya Penonton" akan ditasarrufkan untuk pembangunan sekolah bagi-bagi anak-anak di Gaza, Palestina.
"Di sana ada rumah sakit Indonesia. Maka kami bercita-cita mendirikan sekolah Indonesia. Di sana namanya Rumah Sakit Indonesia bukan `Mustasyfa Indonesiyyah`. Nantinya sekolah itu juga diberi nama `Sekolah Indonesia` untuk anak-anak Gaza, bukan `Madrosah Indonesiyyah`," ucap Apoy.
Niat untuk mendirikan sekolah Indonesia di Gaza itu telah didahului dengan membentuk "Wali Care Foundation" sejak tiga tahun lalu.
Melalui yayasan itu, Wali Band telah menghimpun dan menyalurkan dana senilai Rp1,3 miliar untuk berbagai kegiatan sosial di Gaza dan Indonesia.
Menariknya, selain berasal dari donatur dan penggemar fanatiknya, dana tersebut juga dikumpulkan dari pemotongan 2,5 persen dari seluruh penghasilan personel Wali Band dan kru. Angka 2,5 persen itu dinisbatkan dengan standar zakat "maal" (harta).
Filosofi Barokatologi itu pula yang melandasi keinginan Joy Simson, pengusaha asal Indonesia di Taiwan, untuk menggelar konser gratis Wali Band.
Di Taoyuan Stadium Arena, Minggu (23/11) siang, penampilan Wali Band disaksikan sedikitnya 17 ribu pasang mata. Jauh melampaui angka penonton pada penampilan pertama pada 2012 yang hanya mencapai 12 ribu penonton. Penonton konser tahun ini dan dua tahun lalu sama-sama tidak dipungut biaya dan digelar di tempat yang sama.
"Tadinya kami ragu bisa mendatangkan penonton dalam jumlah yang sama dengan dua tahun lalu. Sempat terpikir untuk menghadirkan kelompok band fenomenal lainnya dari Indonesia," ujarnya mengenai konser berbiaya 4 juta dolar Taiwan itu.
Dalam konser itu, Joy selaku pengelola Tabloid Indo Suara yang terbit di Taiwan tersebut melihat bahwa Wali Band telah menginspirasi anak-anak muda Indonesia, termasuk mahasiswa dan tenaga kerja Indonesia di Taiwan.
"Sama dengan Wali, kami juga berpandangan bahwa memberikan hiburan kepada masyarakat juga harus disertai dengan unsur yang mendidik," ucap pria yang beristrikan warga negara Taiwan itu.
Menurut dia, Wali Band tidak hanya menyampaikan pesan kebaikan kepada pemeluk agama tertentu, melainkan juga umat manusia secara universal.
"Kebaikan tidak hanya diajarkan dalam Islam. Orang Taiwan pun sejatinya senang dengan hiburan tanpa harus buka-buka baju segala," tuturnya.
Selain Wali Band, konser musik yang digelar di lapangan terbuka yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Ibu Kota Taiwan di Taipei itu, Joy juga menghadirkan penyanyi dangdut Fitri Carlina dan Duo Anggrek.
Para penyanyi dangdut tersebut tampil dengan busana sopan untuk menghibur WNI yang haus akan musik pop khas Nusantara. (WDY)
Mengupas "Barokatologi" dalam Musik "Wali"
Selasa, 25 November 2014 9:24 WIB