Jakarta (Antara Bali) - Langkah Komisi XI DPR RI yang memilih calon
anggota Badan Pengawas Keuangan (BPK) 2014--2019 melalui voting secara
tertutup dipertanyakan sejumlah kalangan.
"Dengan mengubah metode itu, tentu terjadi inkonsistensi dari
anggota DPR, ada apa di situ?" kata pengamat hukum negara Margarito
Kamis di Jakarta, Jumat.
Margarito mempertanyakan anggota Komisi XI DPR RI yang menjalankan
mekanisme pemilihan anggota BPK melalui sistem voting tertutup, padahal
sebelumnya dilakukan secara terbuka.
Pemilihan dengan model seperti itu, menurut Margarito, akan menjadi
pertanyaan publik karena DPR RI akan dianggap syarat terjadi
kepentingan politis.
Margarito juga menyatakan anggota Komisi XI DPR RI telah
meninggalkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam proses
pemilihan calon fungsionaris BPK itu.
Terkait dengan anggota BPK periode 2014--2019 dari unsur anggota
DPR, Margarito menyatakan proses tersebut menunjukkan terdapat kelemahan
pada UU BPK.
"Kami tidak membuat syarat yang menunjukkan bahwa anggota BPK harus
memiliki kapasitas yang seperti apa? Ini merupakan kelemahan UU BPK,"
ujar Margarito.
Margarito mengatakan bahwa kelemahan regulasi pemilihan anggota
BPK, yaitu tidak menguraikan kualitas calon harus memiliki kapasitas dan
rumusan syarat tertentu.
Margarito menekankan undang-undang yang mengatur pemilihan anggota
BPK harus direvisi dengan mencantum syarat mutlak seperti uji kompetensi
pada bidang intelektual, etik, teknis, dan keuangan.
Persoalan lainnya, Pasal 28 Huruf (e) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006 tentang BPK menyatakan anggota BPK dilarang menjadi anggota partai
politik.
Secara harfiah anggota BPK harus terbebaskan dari kepentingan
politik dalam mengawal pengelolaan keuangan negara dan daerah.
Sementara itu, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran
Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas sempat menegaskan agar
BPK tidak dijadikan sebagai lembaga untuk "loncat pagar" bagi anggota
DPR RI yang tidak terpilih.
Firdaus menyatakan pemerintah harus membuat aturan adanya masa
"iddah" minimal setahun tidak menduduki jabatan politik atau anggota DPR
saat mencalonkan diri menjadi calon fungsionaris BPK.
Sejumlah pihak mengkhawatirkan anggota partai politik yang menjadi
pimpinan BPK akan membawa kepentingan kelompok partainya.
Sebelumnya, anggota Komisi XI DPR RI telah memilih lima orang
anggota BPK periode 2014--2019 melalui dua kali voting pada hari Senin
(15/9).
Kelima calon fungsionaris BPK 2014--2019, yakni Rizal Jalil,
Achsanul Qosasi, Moermahadi Soerja Djanegara, Harry Azhar Azis, dan Eddy
Mulyadi Soepardi yang akan diserahkan kepada Badan Musyawarah (Bamus)
untuk diputuskan melalui rapat paripurna.
Sebanyak dua dari lima calon fungsionaris BPK itu tercatat sebagai
anggota partai politik, yakni Harry Azhar Azis (Partai Golkar) dan
Achsanul Qosasi (Partai Demokrat).
Ketua Komisi XIDPR RI Olly Dondokambey memastikan kelima nama itu
akan menjadi pimpinan BPK 2014--2019 sesuai dengan kriteria yang
diharapkan.
Meski terdapat calon dari unsur partai politik, Olly yakin kelima
orang itu akan bekerja profesional, independen, dan pemilihan sesuai
dengan undang-undang. (WDY)
Sistem Pemilihan Anggota BPK Secara Tertutup Dipertanyakan
Sabtu, 20 September 2014 6:20 WIB