Singaraja (Antara Bali) - Kalangan wakil rakyat dan pemerhati masalah sosial menilai pembangunan di kawasan Gerokgak, termasuk rencana membangun lapangan terbang di wilayah barat Kabupaten Buleleng, Bali itu, sarat kepentingan politik.
Berbagai bidang pembangunan di Gerokgak, termasuk rencana pembangun lapter bertaraf internasional, tak terlepas kepentingan elite untuk pengkondisian pemilihan kepala daerah pada 2012, kata Made Dasa, pemerhati masalah sosial yang juga ketua sebuah lembaga swadaya masyarakat di Singaraja, ibukota Kabupaten Buleleng, Senin.
Menurut dia, rencana pembangunan lapangan terbang (lapter) yang akan menjadi rencana induk (master plan) awal pembangunan di kawasan barat Buleleng itu, direncanakan memanfaatkan puluhan hektare lahan yang masih dalama status sengketa antara masyarakat dan pemerintah.
"Kemudian juga ada kajian analisis mengenai dampak lingkungan yang menyatakan sulitnya pembangunan lapter di Gerokgak, apalagi yang bertaraf internasional," ujar Dasa.
Mantan anggota ABRI/TNI itu juga menyebut, beberapa pertimbangan lain juga memberatkan kondisi pembangunan di kawasan Gerokgak, khususnya terkait gejolak yang saat ini terjadi di kalangan masyarakat Sumber Klampok.
Dasa mengatakan, status tanah negara yang masih melalui proses perebutan tiga pihak, akan menjadi dasar gejolak yang muncul dalam proses pembangunan tersebut.
Hal senada terkait sulitnya pelaksanaan pembangunan di kawasan barat itu juga diungkapkan Ketua DPRD Buleleng Dewa Nyoman Sukrawan saat ditemui wartawan.
Menurutnya, ada sejarah yang kini mulai memperlihatkan dampak sulit, terkait keberadaan tanah negara yang sampai saat ini masih belum ada solusi jalan tengahnya.
Keterangan Sukrawan dipertegas oleh Ketua Komisi A DPRD Buleleng Wayan Teren, yang mengaku ada alur birokrasi yang turut menghambat kelangsungan proses pembangunan di kawasan barat itu.
Badan Pertanahan Nasional juga sempat disurati oleh pihak Pemerintah Provinsi Bali agar tidak memberikan izin pengelolaan lahan kepada Pemkab Buleleng.
Alasannya, Pemkab Buleleng sempat menelantarkan kesempatan melaksanakan pembangunan di Gerokgak pada tahun 2003, ungkap Teren.
Bahkan, uang ganti rugi lahan dari APBD yang diberikan kepada pengelola tanah sebelumnya, seharusnya kembali dipertanyakan. Karena setelah dikeluarkan dana senilai lebih dari Rp600 juta, tidak ada realisasi pembangunan di kawasan Gerokgak.
Apalagi sekarang, masyarakat mengajukan permohonan izin kepemilikan. Pemkab dan Pemprov juga mengajukan izin pengelolaan lahan puluhan hektare di Gerokgak.
"Harus ada kepastian dulu terkait siapa yang diberikan hak atas tanah negara itu, baru bisa dirancang pembangunan yang dimungkinan, apakah untuk lapangan terbang atau bidang lain," ucap Wayan Teren.(*)