"Teknisi dan tenaga ahli perawatan masih menjadi profesi langka di Indonesia," kata Presiden IAMSA, Richard Budihadianto, dalam acara Aviation MRO Indonesia 2014 Conference and Exhibition, di Jakarta, Selasa.
Menurut Budihadianto, kekurangan teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat juga dapat disebut sebagai isu utama industri perawatan pesawat.
Ia mengingatkan saat ini jumlah teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat di Indonesia diperkirakan di bawah 3.000 orang. Ada beberapa "pemain besar" perawatan dan pemeliharaan pesawat terbang sipil di Indonesia, di antaranya Garuda Maintenance Facility dan Merpati Maintenance Facility.
Dengan besaran pertumbuhan industri
penerbangan sipil sekitar 15 persen setahun (salah satu terbesar di
dunia), dunia penerbangan Tanah Air menjadi pasar sangat menjanjikan
untuk diseriusi sebagai salah satu kekuatan nasional.
Hingga
penghujung 2020 nanti, diperkirakan Indonesia ketambahan sekitar 500
pesawat terbang komersial baru, alias sekitar 14 persen dari seluruh
produksi Boeing B-737 series hingga saat ini (gabungan dari klasik,
-800ER/NG, -900ER/NG).
Padahal, ujar dia, kebutuhan industri perawatan pesawat untuk lima tahun ke depan mencapai 6.000 orang dengan asumsi kapasitas MRO (maintenance, report, overhaul) nasional meningkat menjadi 50-60 persen.
Apalagi, lanjutnya, potensi peningkatan pasar pesawat di Indonesia sangat besar karena pertumbuhan bisnis penerbangan rata-rata mencapai 20 persen.
Untuk itu, IAMSA menilai perlunya terobosan pemerintah dan pelaku industri MRO guna memenuhi kebutuhan teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat.
"Institusi pendidikan yang ada sekarang hanya mampu menghasilkan maksimal 600 orang teknisi," kata Richard.
Banyak bandara di berbagai daerah di Indonesia kelebihan kapasitas terutama karena melonjaknya pertumbuhan penumpang pesawat hingga mencapai 20 persen per tahun.
Direktur PT Nusantara Infrastructure, John Scott Younger, di Jakarta, Kamis (3/4), mengatakan, persoalan bandara dan kebandaraan menjadi salah satu masalah mendesak yang dihadapi Indonesia saat ini.
Ia menjabarkan, dari sisi kapasitas, hampir semua bandara mengalami kelebihan kapasitas akibat tidak mengikuti pertumbuhan industri penerbangan. Bandara Internasional Seokarno-Hatta, sebagai contoh, harus mampu melayani sekitar 54 juta pemakai jasa penerbangan dari kapasitas terpasang dia sekitar 20 juta orang pertahun saat dibangun pada 1986.
Untuk itu, ujar dia, diperlukan diskusi mendalam guna mengenali tantangan, peluang dan mencari solusi yang dapat diterapkan terkait permasalahan tersebut.
Apalagi di Indonesia saat ini memiliki 22 maskapai yang mengoperasikan pesawat komersil dan 35 maskapai yang mengoperasikan pesawat charter.
Sedangkan total maskapai melayani sekitar 400 penerbangan rute domestik dan internasional dan menghubungkan 121 kota di Indonesia dan 21 negara. (WDY)