Denpasar (Antara Bali) - Pengacara PT Penata Sarana Bali (PSB) Margono mengatakan pengendali dari kasus dugaan korupsi kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pengelolaan Parkir Bandara Ngurah Rai, Bali adalah mantan Direktur Utama PT Penata Sarana Bali (PSB) Ketut Chris Wisnu Sridana.
"Selama ini ia mengaku hanya sebagai pihak yang dikorbankan, namun sesungguhnya dialah (Chris Wisnu Sridana) otak dari kasus dugaan korupsi pengelolaan parkir di Bandara Ngurah Rai Bali," kata Margono, di Denpasar.
Saat ini, kata Margono, Chris Wisnu Sridana tengah berupaya membangun opini yang sesat dan akan menyesatkan banyak pihak karena ketidakjujurannya menyampaikan yang sebenarnya atas kasus dugaan korupsi parkir bandara Ngurah Rai Bali yang mana kejahatan itu direncanakan sejak awal.
"Pertama Chris berusaha membangun opini bahwa kasus dugaan korupsi parkir di Bandara Ngurah Rai Bali dilakukan oleh korporasi, dalam hal ini seolah-olah korupsi dilakukan oleh PT PSB. Kedua dia ingin melempar tanggung jawab dan membentuk opini bahwa dia hanya boneka a`tau korban," ujar Margono.
Dua opini yang tengah dibangun Chris selama ini, kata Margono tidak benar, sangat menyesatkan dan merugikan banyak pihak termasuk dirinya sendiri. Korupsi yang dilakukan, jelas dilakukan oleh oknum pribadi Chris Wisnu Sridana, dan bukan korupsi korporasi PT PSB karena uang hasil pungut parkir tidak sepenuhnya disetorkan ke PT Angkasa Pura I (AP) sebagaimana semestinya.
"Setiap harinya, Chris mengambil hingga 70 persen uang setoran parkir bandara yang dimasukkan ke rekening bank pribadinya atas nama Chris Sridana MBA di Bank BCA KCU Kuta norek 1461529629 sebesar Rp20-30 juta per hari.
Data rekening pribadi Chris tersebut telah dibongkar dan disita Kejaksaan Agung sebagai barang bukti. Setelah dicuri, uang setoran parkir yang masuk ke PAP I per harinya hanya sekitar Rp12 juta-an. Sehingga dari setoran itu, PT PSB hanya menerima sesuai kontrak kerja dengan AP upah pungut uang parkir 25 persen dari Rp12 juta yaitu Rp3 juta per hari.
Dikatakan logikanya itu tidak cukup untuk membayar gaji maupun operasional perusahaan. Sehingga kemudian Chris selaku Dirut menambahkan lagi Rp8 juta dari rekening di CIMB untuk mencukupi biaya-biaya operasional perusahaan. Itu merupakan bentuk korupsi atas nama pribadi, bukan korupsi korporasi (perusahaan) yang dilakukan PT PSB, tapi murni korupsi oknum pribadi Chris.
"Korupsi dilakukan oknum pribadi, bukan mewakili korporasi dalam hal ini PT PSB, itu semua atas nama pribadi. Opini yang dibangun Chris bahwa seolah-olah korupsi dilakukan oleh korporasi sangat menyesatkan," ujarnya.
Audit internal PT Angkasa Pura kemudian menemukan kerugian negara sebesar Rp28 miliar, akibat tindakan korupsi yang dilakukan oleh Chris akibat tidak disetor sepenuhnya hasil pungut uang parkir ke rekening AP I tetapi juga ke rekening pribadinya di BCA dan bahkan lebih besar disetor ke rekening pribadinya daripada ke AP I.
"Dakwaan jaksa di persidangan juga tidak menyebutkan PT PSB sebagai subyek hukum korupsi. Kasus dugaan korupsi parkir di Bandara Ngurah Rai bukan merupakan korupsi korporasi seperti opini yang sedang dibangun Chris," ujar Margono.
Opini kedua yang tengah dibangun Chris adalah melempar kesalahan yang dilakukannya kepada Komisaris PT PSB, Agung Prianta dan I Gusti Ngurah Yudana. Chris membuat opini seolah-olah dirinya hanya sebagai boneka, orang yang dikorbankan, yang dikendalikan oleh pengusaha kuat.
Hal itu tidak benar dan ini hanya upaya Chris untuk mendapatkan simpati masyarakat. Sebenarnya Chris sebagai Dirut sangat menentukan dan mengendalikan perusahaan disamping Chris juga sebagai pemegang 30 persen saham PT PSB.
Di lain pihak Chris bersama pihak lain tanpa sepengetahuan Pemegang Saham PT PSB mendirikan PT Penata Sarana Raya (PSR) yang mengelola beberapa Parkir Bandara di daerah lain, seperti Solo, Yogyakarta, Lombok, yang kini juga sedang dalam pemeriksaan pihak berwenang karena ada indikasi melakukan korupsi yang serupa seperti di Bandara Ngurah Rai.
Margono menambahkan disamping selaku pemegang saham mayoritas di PT PSR, Chris bersama istrinya juga Pemilik Saham 100 persen PT Penata Sarana Media (PSM) yang mengelola Iklan Outdoor di Bandara Ngurah Rai. PT PSM ini juga sedang dalam proses penyelidikan oleh Pihak berwenang.
Mengamati sepak terjang Chris ini cukup menjadi bukti bahwa Chris bukanlah korban atau orang yang dikorbankan, tetapi aktor utama. Dari beberapa sumber menyatakan keprihatinan dan sangat disesalkan kepribadian Chris bisa berubah seperti ini," katanya.
"Chris menyalahi tata kelola perusahaan yang baik sejak tahun 2001 tidak ada RUPS. Chris menyalahkan para komisaris karena tidak ada RUPS, padahal dia sebagai Dirutlah yang seharusnya memiliki kewajiban menyelenggarakan RUPS, namun Chris tidak pernah melakukannya," ujarnya.
Margono lebih lanjut mengatakan ini dilakukan secara "by desain", dengan tidak adanya RUPS, maka Chris tidak bisa dikontrol, 10 tahun dia tidak bisa dikontrol dalam menjalankan usaha PT PSB.
"Dalam hukum UU PT, peran komisaris sangat terbatas, 'day to day' bisnis dilaksanakan oleh direktur. Chris melempar kesalahan pada komisaris, padahal dalam UU PT, penyelenggara RUPS adalah direktur, sementara komisaris hanya berperan dalam pengawasan dan memberi nasehat terhadap direktur," kata Margono.
Sebelumnya diberitakan, tim Satuan Petugas (Satgas) Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama Tim Kejari Denpasar berhasil menangkap tersangka kasus korupsi pengelolaan dana parkir Bandara Ngurah Rai, Bali, yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Bidang Pidana Khusus (Gedung Bundar) Kejagung.(*)