Denpasar (Antara Bali) - Nuansa religi yang menyatu dengan budaya masyarakatnya, menjadikan Bali sebagai tempat yang memberikan ketenteraman dan kedamaian.
Masyarakat Bali yang menjunjung tinggi etika dan estetika seakan tak pernah memedulikan hiruk-pikuk yang terjadi di luar sana.
Tidaklah mengherankan, jika di Pulau Seribu Pura itu jarang sekali ada unjuk rasa besar-besaran seperti di daerah lain, terutama daerah yang selama ini menjadi kantong-kantong pekerja.
Padahal Bali adalah daerah yang padat investasi, bahkan taman surga bagi pemilik modal asing yang menancapkan kuku-kukunya sebagai manifestasi atas penggabungan arsitektur modern-tradisional untuk menguras dalam-dalam isi kantong pelancong melalui kemewahan, kenyamanan, dan bentuk-bentuk hedonisme lainnya yang ditawarkan.
Industrialisasi yang tumbuh pesat sampai hilir itu sama sekali tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi masyarakat Bali.
Saking tidak terpengaruhnya, masyarakat seakan tak merasa tertindas oleh kebengisan investor dalam menguasai "Gumi Bali".
Fenomena seperti itu yang menjadikan konstelasi politik di Pulau Dewata "adem-adem saja".
Akan tetapi, bukan berarti mereka apatis. Fakta telah menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Provinsi Bali tanggal 15 Mei 2013 mencapai angka lebih dari 75 persen. Sebuah angka yang tak boleh dipandang sebelah mata dibandingkan dengan daerah lain di Nusantara ini.
Bertemunya Dua Kesatria
Dua sekawan yang telah memimpin Bali selama 2008-2013, Made Mangku Pastika-Anak Agung Ngurah Puspayoga, harus menghadapi kenyataan untuk berpisah.
Tidak saja berpisah. Keduanya juga harus bertarung dan saling mengalahkan sebagai tuntutan politik praktis.
Puspayoga yang dibesarkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggandeng Dewa Nyoman Sukrawan yang masih menjabat Ketua DPRD Kabupaten Buleleng dan masih ada hubungan kekerabatan dengan Megawati Soekarnoputri.
Pasangan ini harus berhadapan dengan Pastika yang bergandengan dengan Wakil Bupati Badung Ketut Sudikerta.
Puspayoga-Sukrawan yang menamakan dirinya sebagai PAS untuk mengulang kegemilangan pasangan Putu Agus Suradnyana-Nyoman Sutjidra dalam Pilkada Kabupaten Buleleng sangat percaya diri dengan satu kendaraan, PDIP.
Padahal rivalnya, Pasti-Kerta diusung Partai Golkar, Partai Demokrat, dan tujuh partai politik yang menggabungkan diri dalam Koalisi Bali Mandara.
Pertarungan sengit itu, pada akhirnya dimenangkan oleh Pasti-Kerta dengan selisih 996 suara atau setara satu RW.
Hasil itu seakan mengusik kejayaan PDIP di Bali yang selalu keluar sebagai pemenang dalam tiga kali pemilu terakhir.
Sebagian orang pun khawatir "Sang Banteng" yang terluka dan mengamuk atas kekalahan di kandangnya sendiri. Apalagi sebelum KPU setempat mengumumkan hasil final, massa PDIP berpesta pora atas kemenangan pasangan PAS dalam berbagai hasil hitung cepat (quick count).
"Memang banyak pihak yang mengkhawatirkan terjadi konflik horisontal atas hasil pilkada yang di luar dugaan itu," ujar Guru Besar Universitas Udayana Denpasar Prof Wayan Windia.
Namun kekhawatiran sejumlah pihak tidak terbukti. Banjir darah di Bali hanya sebatas mimpi buruk yang tak akan pernah terjadi dalam "kasunyatan".
Apalagi jika melihat figur Puspayoga yang sudah dua kali menjabat Wali Kota Denpasar dan satu periode Wakil Gubernur Bali mendampingi Pastika.
Pria berdarah biru kelahiran Puri Satria, Denpasar, pada 7 Juli 1965, itu adalah sosok yang rendah hati. Atas pandangan dan rasa tanggung jawabnya terhadap Bali, baginya itu tidak ada gunanya melakukan perlawanan dengan mengerahkan massa untuk menyikapi hasil pilkada.
"PAS yang kalah secara menyakitkan karena sedikitnya selisih suara justru mengakui keunggulan dan kemenangan lawan politiknya," kata Windia menggambarkan sikap kestaria Puspayoga.
Menurut mantan anggota DPR itu, proses rekonsiliasi Puspayoga dengan Pastika harus didorong oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menjaga "Ajeg Bali".
"Pulihnya kembali hubungan baik di antara kedua tokoh Bali akan menjadi modal dalam memacu pembangunan Bali ke depan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Harapan itu didasari atas alasan bahwa masyarakat Bali mewarisi seni budaya dan adat-istiadat yang sangat kental sehingga memberikan dampak positif dalam menyukseskan perhelatan demokrasi itu berjalan damai.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau Badan Pengawas Pemilu RI mengapresiasi penyelanggaraan Pilkada Bali.
Menurut dia, suksesnya penyelenggaraan Pilkada Bali tanpa menyisakan persoalan serius tak lepas dari perilaku masyarakatnya yang memegang teguh adat-istiadat.
Perilaku masyarakat yang tak mudah diprovokasi itu pula yang melatarbelakangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar pertemuan tahunan dengan sejumlah kepala negara melalui "Bali Democracy Forum".
Bali kini juga menjadi ajang pertaruhan akan sukses dan tidaknya penyelenggaraan Pemilu 2014. Menurut anggota Bawaslu RI, Nasrullah, kesuksesan Pilkada Bali bisa menjadi percontohan bagi daerah lain dan penyelenggara Pemilu 2014.
"Tentu kami tidak bisa tinggal diam kalau terjadi penyimpangan yang dilakukan penyelenggara demi terwujudnya integritas politik," katanya. (*/ADT)