Menulis prasasti di atas lempengan tembaga, perunggu, perak dan emas dengan menggunakan pengrupak, sejenis pisau berukuran kecil itu memerlukan ketekunan, kesabaran dan keahlian tersendiri, karena tidak semua orang Bali sanggup melakoni pekerjaan yang sangat rumit itu.
Pekerjaan yang sangat langka, termasuk menulis dan menggambar di atas daun lontar menggunakan pisau yang runcing pada bagian ujungnya hingga sekrang masih lestari di Bali yang diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Padahal tradisi menulis menggunakan pisau itu berasal dari India 3.000 tahun yang lalu di negara asalnya kini sudah punah, tutur Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Prof Dr I Gusti Made Sutjaja.
Tradisi menulis aksara hanacara atau carakan pada daun lontar yang telah diproses maupun menulis prasasti yang disakralkan di Bali hingga sekarang tetap lestari yang diperkirakan awalnya berasal dari India ribuan tahun yang silam.
Di antara ratusan penulis dan melukis di atas daun lontar, salah seorang di antaranya I Wayan Tusan (65), pria kelahiran Banjar Tinggah, Dusun Pande Sari, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, daerah ujung timur Pulau Bali.
Ayah empat putra dan dua putri itu menekuni bidang sastra daerah yang berawal dari menulis di atas daun lontar sejak tahun 1979.
Ia mengaku awalnya menulis huruf Bali berbahasa Jawa kuno di atas daun lontar cukup sulit dan berat, namun lama kelamaan akhirnya pintar dan piawai, kemudian beralih menulis prasasti di atas lempengan tembaga, perak, perunggu dan emas.
Meskipun pekerjaan itu cukup berat dan rumit, terpaksa dicobanya untuk memenuhi permintaan warga masyarakat tempatnya bermukim. Prasasti hasil kreativitas pria yang berpenampilan sederhana itu selanjutnya dikeramatkan oleh warga masyarakat melalui proses ritual keagamaan dan disimpan di Pura, tempat suci umat Hindu.
Sebuah prasasti berukuran 50 kali 30 sentimeter yang terbuat dari bahan tergolong keras itu dikerjakan sedikitnya selama enam bulan secara terus menerus seperti halnya prasasti di Pura Batur Kintamani, kabupaten Bangli.
Demikian pula prasasti Pura Purancak di kabupaten Jembrana, daerah ujung barat Pulau Bali, Pura Kawi di Ubud, kabupaten Gianyar, Pura Pande Kamasan di kabupaten Klungkung dan Pura Penataran Pande di Besakih kabupaten Karangasem.
Disiapkan Warga
Seluruh keperluan bahan untuk penulisan prasasti mulai dari lempengan tembaga, perak, perunggu dan emas sampai sarana ritual keagamaan disiapkan oleh warga yang memesannya.
Menulis prasasti tidak hanya meniru dari prasasti yang sudah ada, akibat hurufnya sudah kabur atau rusak sehingga tidak bisa dibaca, namun sering kali menyusun sendiri redaksionalnya sesuai permintaan masyarakat setempat.
Penulisan itu sering kali dilakukan langsung di Pura, di mana prasasti itu akan "disungsung" dikerjakan berbulan-bulan lamanya. Selama proses pengerjaan warga masyarakat ikut menjaganya baik siang maupun malam.
I Wayan Tusan mengaku tidak pernah menentukan ongkos yang harus dibayar warga masyarakat untuk menyelesaikan penggarapan sebuah prasasti.
Walaupun tidak pernah menentukan tarif, masyarakat umumnya sadar dan menghargai karya seni dan jerih payah. Penghargaan itu tidak mesti dengan uang, bisa ditunjukan dengan cara kekerabatan atau sekedar membawa kebutuhan pokok sehari-hari.
"Pekerjaan yang saya tekuni boleh dibilang sebagai kegiatan sosial kemasyarakatan, jauh dari dari unsur bisnis," tutur Wayan Tusan dengan menambahkan, untuk membuat sebuah prasasti di luar proses pengerjaan ternyata membutuhkan biaya cukup besar.
Biaya itu ditanggung secara swadaya oleh warga masyarakat setempat seperti halnya membangun atau memperbaiki fisik pura, sehingga masyarakat secara gotong royong mengumpulan iuran, tutur Wayan Tusan yang juga tim Juri Utsawa Dharma Gita (lomba pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu) tingkat Provinsi Bali.
Pria yang pernah menjadi Kelian Banjar Pande Sari selama 15 tahun periode 1966-1981 itu sedapat mungkin berusaha memenuhi setiap permintaan warga masyarakat Bali untuk penulisan lontas maupun prasasti.
Keahlian yang cukup langka dalam melestarikan sastra daerah itu berkat belajar sendiri dan keterampilan itu berusaha untuk ditularkan kepada putra-putrinya serta masyarakat sekitarnya dengan harapan, warisan seni budaya, khususnya penulisan lontar dapat dilestarikan di masa-masa mendatang.
Di India Punah
Prof Dr I Gusti Made Sutjaja yang pernah melakukan penelitian tentang bahasa daerah Bali di berbagai tempat transmigrasi yang dihuni penduduk asal Bali di Indonesia itu menyambut baik Festival Internasional Bahasa Bali (International Festival of Balinese Language-IFBL) yang melibatkan utusan mancanegara.
Kegiatan yang mengusung tema "Makuta Mandita" (memuliakan) aksara Bali melibatkan peserta dari sembilan negara, meliputi Australia, Belanda, Italia, Switzerland, Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Jepang dan India serta tuan rumah mulai 8 Nopember 2013.
Kegiatan internasional yang digagas dan dilaksanakan oleh maestro I Nyoman Gunarsa pendiri dan pemilik Museum Gunarsa di Semarapura, Kabupaten Klungkung itu dikemas dalam atraksi seni dan budaya.
Bahasa daerah dan aksara Bali yang hingga kini digunakan kelompok etnis di Pulau Dewata maupun tempat pemukiman baru orang Bali di berbagai daerah di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kerajaan Hindu di Jawa pada masa silam.
Ada kesamaan penggunaan aksara dan bahasa yang tercatat dalam banyak dokumentasi dari masa itu dalam perjalanan sejarah yang sangat panjang. Dokumentasi tersebut antara lain berupa prasasti, inskripsi dan tinggalan naskah yang ditulis dalam daun lontar atau bahan-bahan dari kayu atau bambu yang hingga kini masih bisa dibaca.
Tradisi menulis di atas daun lontar yang lebih dikenal dengan prasi berasal dari India sekitar 3000 tahun yang silam, namun di India sekarang kebiasaan menulis menggunakan pisau itu sudah punah.
Namun di Bali hal itu masih tetap lestari, seperti yang ditekuni kelompok perajin dan seniman penulis daun lontar di Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem maupun di desa-desa lainnya secara individu.
"Saya optimistis tradisi itu akan tetap lestari, diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, karena karya seniman berupa tulisan dan lukisan di atas daun lontar itu sebagai cendera mata yang sangat diminati wisatawan," ujar Prof Gusti Sutjaja. (WRA)
Menulis Gunakan Pengrupak di Bali Lestari
Rabu, 6 November 2013 7:39 WIB