Denpasar (Antara Bali) - Aneka jenis kearifan lokal dan kegiatan ritual yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun hingga sekarang merupakan penghormatan dan pemuliaan terhadap kesucian air.
Air (tirta) sampai sekarang tetap terjaga serta dilaksanakan dengan baik seperti halnya sistem pengelolaan dan pemanfaatan air yang adil dalam organisasi pengairan tradisional bidang pertanian subak.
Daerah aliran sungai, pantai, dan tempat-tempat yang memiliki sumber mata air di daerah pegunungan hingga dataran rendah diyakini masyarakat Bali sebagai tempat yang sakral, sekaligus didirikan bangunan suci untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi yang telah melimpahkan air untuk kemakmuran hidup semua mahluk.
Di tempat suci itu pula, umat manusia melantunkan doa setiap saat agar air mengalir sepanjang zaman, sehingga tercipta kehidupan semua mahluk tidak terganggu, tutur Dosen Fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi.
Alumnus program pascasarjana Universitas Udayana itu mengatakan bahwa, dengan tersedianya air dalam jumlah yang memadai untuk kehidupan manusia maupun hewan dan tumbuh-tumbuhnya termasuk tanaman padi dan palawija akan mampu menghindari layu sebelum berkembang, atau punah sebelum waktunya.
Untuk menjaga kelangsungan hidup semua mahluk di alam semesta, air harus tetap mengalir sesuai hukum alam yang mengaturnya. Ruang dan tempat untuk air mengalir harus tetap terpelihara.
Leluhur orang Bali telah mewariskan dan tertanam suatu keyakinan bahwa memelihara siklus air berarti menjaga kemakmuran kehidupan, memelihara kedamaian hati, dan ketentraman pikiran, sehingga air sering disebut sebagai pembersih atau sumber kemakmuran ( tirta sanjiwani dan amrta sanjiwani).
Kearifan lokal yang diwariskan orang Bali untuk menjaga serta mengelola sumber mata air, aliran air, dan manfaat air dalam kehidupan sehari-hari dilakoni dalam ikatan sosial desa pekraman (adat).
Tindakan nyata (skala) maupun yang tidak kelihatan (niskala) dalam menjaga kelangsungan air terakumulasi dalam konsep "Tri Hita Karana" yang melandasi kehidupan desa adat (pakraman) di Bali.
"Tri Hita Karana" hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungannya, tiga unsur yang saling berhubungan secara harmonis yang diyakini menjadi penyebab terwujudnya kebahagiaan hidup,
Jaga Keseimbangan
Dr Sumadi yang juga Ketua Komunitas Pengkajian Agama, Budaya dan Pariwisata
Bali menambahkan, keberadaan air tidak bisa dipisahkan dan berfungsi strategis untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan unsur-unsur "Tri Hita Karana".
Mitologi mengutif isi Lontar Sri Purwana-Tattwa. Dikisahkan, para dewata di kahyangan (sorga) tidak bisa tenang melihat keadaan siklus air yang tidak sempurna di jagat raya.
Suatu saat tampak Hyang Siwa gelisah menyaksikan dunia gonjang-ganjing karena air tidak mengalir. Bumi tidak bisa menghasilkan apa-apa, sehingga kehidupan semua mahluk terancam punah. Hyang Siwa kemudian mengutus Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Iswara untuk menyelamatkan jagat raya beserta isinya dari bahaya kurang sempurnanya siklus air.
Dewa Brahma melesat masuk ke dalam bumi, menjadi Naga Anantabhoga. Dari tubuhnya tumbuhlah pepohonan, daunnya hijau lebat menyejukkan. Bunganya semerbak, buahnya tak terhitung.
Dari pepohonan yang tumbuh dari Ananthaboga itulah manusia bisa hidup, memetik kapas, memperoleh sandang, membuat papan. Kelaparan di bumi sontak berubah jadi kemakmuran. Ananthaboga memang berarti sandang, pangan, dan papan (bhoga) yang tiada habis-habisnya (ananta).
Mahluk atau manusia yang hidup tidak pernah kekurangan pangan, sandang, dan papan karena telah menjaga alam lingkungan bumi dengan baik. Demikian pula Dewa Wisnu bergerak cepat membuat air mengalir.
Dia masuk ke dalam air, menjadi Naga Basuki. Tak terbayang besar dan panjangnya. Layaknya aliran air, kepala Naga Basuki ada di lautan, badannya di sungai, dan ekornya bertengger di puncak gunung.
Dari ekornya yang di gunung inilah Batara Wisnu menghidupi dunia seisinya dengan air yang mengucur deras. Dengan ekornya, Dewa Wisnu mengalirkan air seperti mengucur dari langit, kemudian jatuh ke bumi menyusup ke dalam tanah mensuplai kebutuhan makanan bagi Naga Anantabhoga yang menciptakan berbagai jenis tumbuhan dan mahluk hidup.
Ke Tempat Rendah
Air mengalir ke tempat rendah, muncul berupa mata air, kemudian air mengalir ke sungai, menggenangi sawah, membasahi ladang. Gunung yang semula kering kerontang pun berubah menjadi gembur.
Dengan air itu Dewa Wisnu menyediakan makanan, menghidupi alam raya hingga sejahtera. Basuki memang berarti sejahtera, bahagia, mahluk atau manusia yang hidup bahagia karena telah berhasil mengelola sumber air dengan baik dan benar.
Sementara Dewa Iswara menyusup di udara. Di sini Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka yang bersayap lebar. Sayapnya terus mengibas-ngibas sehingga tercipta desiran angin atau udara yang diperlukan oleh semua mahluk dan tumbuhan untuk bernafas.
Berkat kibasan sayap Naga Taksaka inilah isi alam bernapas, menghirup udara segar yang tak habis-habisnya. Tiupan angin itupula pula bisa memperlancar dan mempercepat siklus aliran air, sehingga sangat membantu Naga Basuki dalam mendistribusikan air ke seluruh pelosok bumi dan mahluk yang memerlukan air.
Taksaka memang bisa diartikan atmosfer, langit yang bersih bebas polusi udara. Mahluk atau manusia yang tidak berbuat mencemari udara dan berhasil menjaga atmosfeer dengan baik, maka siklus air di jagat raya akan berjalan dengan baik, hidup pun akhirnya bahagia.
Simbolisasi ketiga naga penjaga mata air di Bali hingga sekarang bisa disaksikan di Pura Goa Raja, salah satu komplek pura di lingkungan Pura Besakih, Kabupaten Karangasem.
Di komplek pura itu terdapat sebuah goa yang terowongannya diyakini tembus di Pura Goa Lawah, sebuah Pura di tepi pantai di wilayah Kabupaten Klungkung. Di dalam goa terdapat tiga buah patung naga, masing-masing sebagai perwujudan Naga Basuki, Naga Anantabhoga, dan Naga Taksaka.
Di samping itu, juga terdapat sumber mata air yang sering digunakan untuk keperluan ritual. Terowongan goa yang tembus di Pura Goa Lawah ini diyakini sebagai simbol Naga Basuki.
Bentuk rasa puja dan puji syukur, kegembiraan, dan perayaan atas keberhasilan para dewata menjaga siklus air, kemudian melimpahkan berkah kemakmuran kepada semua mahluk di jagat raya, terlihat pada perayaan hari raya Galungan, hari kemenangan atas kebaikan (Dharma) melawan Adharma di Bali.
Orang Bali, selain mempersembahkan berbagai sesajen di tempat-tempat suci, juga membuat penjor yang dipancangkan di depan rumah, sehingga pada hari raya Galungan tampak penjor berjejer di sepanjang jalan di seluruh pelosok Pulau Dewata.
Penjor tidak hanya dibuat saat hari raya Galungan, namun juga pada hari-hari tertentu berkaitan dengan Piodalan (hari suci) di Pura atau tempat-tempat suci lainnya.
Penjor yang terbuat dari bambu yang dihias dan dilengkapi dengan Sanggah Penjor (tempat sesajen) merupakan simbol penghormatan dan perwujudan dari Naga Basuki, Naga Anantabhoga, dan Naga Taksaka yang terus menerus menjaga kesempurnaan siklus air di jagat raya.
Dengan persembahan sesajen, para naga yang sesungguhnya perwujudan para dewata itu, akan terus menjaga harmoni siklus air, sehingga tetap terjaminnya kemakmuran semua mahluk di jagat raya.
Jika diperhatikan, bentuk Penjor itu memang mirip wujud seekor naga, ekornya menjulang tinggi ke langit dan mulutnya menganga mengunyah makanan. Dengan terjaganya siklus mata air, semua umat manusia berhasil menancapkan penjor dalam diri, maka semua mahluk di alam semesta ini akan berlimpah makanan, hidup makmur murah pangan, sandang, dan papan.
Akan tetapi menancapkan penjor dalam diri memang tidak mudah, terlebih saat ini di tengah arus deras globalisasi yang hampir menenggelamkan manusia pada gaya hidup yang berlebihan serta industrialis dan kapitalis, tutur Ketut Sumadi. (*/ADT)